Our Partners

Gunakan GSunni Mesin Pecari Aswaja, agar tidak tersesat di situs2 wahabi.. klik sini..

PCINU Maroko

get this widget here

Resources

Catwidget2

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget1

Pages

Catwidget4

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget3

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Selasa, 15 November 2011

Latar belakang berdirinya NU

Nahdlatul ulama’, di singkat NU, artinya kebangkitan ulama’. Sebuah organisasi yang di dirikan oleh para ulama’ pada tanggal 31 Januari 1926 M/ 16 Rojab 1344 H di Surabaya.
Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia islam kala itu. Salah satu faktor pendorong lahirnya NU adalah karena adanya tantangan yang bernama globalisasi yang terjadi dalam dua hal :
  • Globalisasi Wahabi, pada tahun 1924, Syarief Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni di taklukkan oleh abdul aziz bin saud yang beraliran Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan melarang semua bentuk amaliyah keagamaan kaum sunni, yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun di Tanah Arab, dan akan menggantinya dengan model Wahabi. Pengamalan agama dengan sistem bermadzhab, tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain sebagainya, akan segera di larang.
  • Globalisasi imperialisme fisik konvensional yang di Indonesia di lakukan oleh Belanda, Inggris, dan Jepang, sebagaimana juga terjadi di belahan bumi Afrika, Asia, Amerika Latin, dan negeri-negeri lain yang di jajah bangsa Eropa.
Tentang globalisasi Wahabi, dengan berbagai variannya, Raja Ibnu Saud juga ingin melebarkan pengaruh kekuasaannya ke seluruh dunia Islam. Dengan dalih demi kejayaan islam, ia berencana meneruskan kekhilafahan Islam yang terputus di Turki pasca runtuhnya Daulah Usmaniyyah. Untuk itu dia berencana menggelar Muktamar/kongres Khilafah di kota suci Makkah, sebagai penerus Khilafah yang terputus itu. Gerakan wahabi, seperti terjelma dalam diri Syaikh Ahmad Soorkati, KH Ahmad Dahlan, dan perintis-perintis awal pemurnian ajaran agama dengan segala perbedaan masing-masing, mulai muncul perlombaan dengan keislaman pesantren yang bercorak tasawwuf, bertarekat dan bermazdhab.
Seluruh negara Islam akan di undang untuk menghadiri muktamar/kongres tersebut, termasuk Indonesia. Awalnya, utusan yang di rekomendasikan adalah HOS Cokroaminoto (SI), KH. Mas Mansur (Muhammadiyyah) dan KH. Wahab Hasbullah (pesantren). Namun, rupanya ada permainan licik di antara kelompok yang mengusung para calon utusan Indonesia. Dengan alasan Kyai Wahab tidak mewakili organisasi resmi, maka namanya di coret dari daftar calon utusan.         Peristiwa itu menyadarkan para ulama’ pengasuh pesantren akan pentingnya sebuah organisasi. Sekaligus menyisakan sakit hati yang mendalam, karena tidak ada lagi yang bisa di titipi sikap keberatan akan sikap Raja Ibnu Saud yang merubah model beragama di Makkah. Para Ulama’ pesantren sangat tidak bisa menerima kebijakan raja  yang anti kebebasan bermadzhab, anti maulid nabi, anti ziaroh makam, dan lain sebagainya. Bahkan santer terdengar berita makam Nabi Muhammad SAW pun berencana akan di gusur.
Bagi para kyai pesantren, pembaharuan adalah suatu kaharusan. KH. Hasyim Asy’ari juga tidak mempersoalkan dan bisa menerima gagasan kaum modernis untuk menghimbau umat Islam kembali pada ajaran Islam “murni”. Namun Kyai Hasyim tidak bisa menerima pemikiran mereka yang meminta ummat Islam melepaskan  diri dari sistem bermadzhab. Di samping itu, karena ide pembaharuan di lakukan dengan cara melecehkan, merendahkan, dan membodoh-bodohkan, maka para ulama’ pesantren menolaknya. Bagi mereka, pembaharuan tetap di butuhkan, namun tidak dengan meninggalkan khazanah keilmuan yang sudah ada dan masih relevan. Karena latar belakang yang mendesak itulah, akhirnya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ didirikan. Oleh karena itu, di putuskanlah bahwa NU akan mengirim Komite Hijaz ke Arab Saudi untuk bernegosiasi agar praktik-praktik keberagamaan bermadzhab tidak di hapus di Haromain. Menurut KH Abdul Wahid Hasyim, Ini adalah salah satu keputusan para ulama’ dalam rapatnya di Surabaya pada 31 Januari 1926, di samping keputusan mencetuskan NU (Aboebakar,1957:471) yang bercorak Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Tentang imperialisme fisik konvensional, hal itu di tandai dengan kehadiran fisik militer dan pemerintah imperialis di bumi Nusantara, yang membuat sengsara dan memiskinkan masyarakat pedesaan dan seluruh masyarakat nusantara pada umumnya. Strategi dan perjuangan kelompok pesantren dalam menghadapi imperialisme fisik konvensional ini tidaklah mudah, sehingga perlu wadah organisasi yang solid dan dari situlah akhirnya para kyai yang melakukan rapat di Surabaya bersepakat untuk mendirikan organisasi yang kemudian di sebut Nahdlatul ‘Ulama. Peran NU dalam menghadapi imperialisme fisik ini telah di tunjukkan dengan mengeluarkan Resolusi Jihad melawan penjajah dalam rapat para ulama di Surabaya pada 22 Oktober 1945.
Pendiri resminya adalah Hadrotusy Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Sedangkan yang bertindak sebagai arsitek dan motor penggerak adalah KH. Wahab Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Kyai Wahab adalah salah seorang murid utama Kyai Hasyim yang lincah, enerjik dan banyak akal.
A. Garis-Garis Besar Pemikiran dan Visi Misi NU
Organisasi Nahdlatul ‘Ulama didirikan dengan tujuan untuk melestarikan, mengembangkan dn mengamalkan ajaran Islam, dengan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam : Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ (kesepakatan ulama’), dan Al-Qiyas (analogi), dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumbernya di atas, NU mengikuti paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan madzhab :
  1. Dalam bidang akidah, NU mengikuti paham Ahlussunnah Wal Jama’ah yang di pelopori oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
  2. Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan (madzhab) Imam Abu Hanifah an-Nu’man (Imam Hanafi), Imam Malik Bin Annas (Imam Maliki), Imam Muhammad Bin Idris as-Syafi’i (Imam Syafi’i), dan Imam Ahmad Bin Hanbal (Imam Hanbali)
  3. Dalam bidang Tasawwuf mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghozali, serta imam-imam lain
Bahkan dalam anggaran dasar yang pertama tahun 1927 dinyatakan bahwa organisasi NU bertujuan untuk memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada salah satu madzhab empat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan kala itu antara lain :
  1. Memperkuat persatuan ulama’ yang masih setia kepada madzhab
  2. Memberikan bimbingan tentang jenis-jenis kitab yang diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam
  3. Penyebaran ajaran Islam yang sesuai dengan tuntunan madzhab empat
  4. Memperluas jumlah madrasah dan memperbaiki organisasinya
  5. Membantu pembangunan masjid-masjid, langgar/musholla, dan pondok pesantren
  6. Membantu anak-anak yatim-piatu dan fakir-miskin
Dalam perkembangannya, NU dalam keputusan Muktamar di Donohudan, Boyolali tahun 2004 di sebutkan :
Tujuan Nahdlatul ‘Ulama didirikan adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menurut salah satu madzhab empat untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat.
Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana di atas, maka NU melaksanakan usaha-usaha sebagaimana berikut :
  1. Di bidang Agama, mengupayakan terlaksananya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menurut salah satu madzhab empat dalam masyarakat dengan melaksanakan dakwah Islamiyah dan amar ma’ruf nahi munkar
  2. Di bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan, mengupayakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengejaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam untuk membina umat agar menjadi muslim yang takwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, serta berguna bagi agama, bangsa dan negara.
  3. Di bidang sosial, mengupayakan terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi rakyar Indonesia
  4. Di bidang ekonomi, mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi unuk pemerataan kesempatan berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan kembangnya ekonomi kerakyatan
  5. Mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak guna terwujudnya Khoiro Ummah
B. Sikap Kemasyarakatan NU
Dalam pendekatan dakwahnya, NU lebih banyak menggunakan dakwah model walisongo, yaitu menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat dan tidak mengandalkan kekerasan. Budaya yang bersala dari suatu daerah, ketika isalam belum datang – bila tidak bertentangan dengan agama – akan terus di kembangkan dan di lestarikan. Sementara budaya yang jelas bertentangan di tinggalkan. Karena identiknya gaya dakwah walisongo itu, nama walisongo melekat erat dalam jam’iyyah NU, di masukkan dalam bentuk bintang sembilan dalam lambang NU. Sebutan bintang sembilan pun melekat erat pada Nahdlatul ‘Ulama.
Secara gaaris besar, pendekatan kemasyarakatan NU dapat di kategorikan menjadi tiga bagian :
  1. Tawassuth dan I’tidal, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk pendekatan dengan Tathorruf (ekstrim)
  2. 2. Tasammuh yaitu sikap toleran yang berintikan penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat
  3. 3. Tawazzun yaitu sikap seimbang dalam berkhidmat demi terciptanya keserasian hubungan antara sesama ummat manusia dan antara manusia dengan Allah SWT
Karena prinsip dakwahnya yang model Walisongo itu, NU di kenal sebagai pelopor kelompok Islam moderat. Kehadirannya bisa di terima oleh semua kelompok masyarakat. Bahkan sering berperan sebagai perekat bangsa.

Comments :

0 komentar to “Latar belakang berdirinya NU”