Our Partners

Gunakan GSunni Mesin Pecari Aswaja, agar tidak tersesat di situs2 wahabi.. klik sini..

PCINU Maroko

get this widget here

Resources

Catwidget2

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget1

Pages

Catwidget4

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget3

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Sabtu, 12 November 2011

Fleksibilitas pemikiran NU

oleh kader muda PCI NU Maroko*
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sebuah jam’iyyah diniyyah yang menganut paham ahlussunnah wal jama’ah. Di dalam bidang fiqh, NU menganut madzhab fiqh yang empat, yaitu madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik ibn Anas, Imam Muhammad ibn  Idris asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Namun, di dalam perkembangannya, mayoritas warga Nahdliyyin menganut paham Syafi’iyyah di bidang fiqh karena fleksibilitas dan ketelitian beliau di dalam metode istinbath al-ahkam. Selanjutnya, di dalam bidang teologi, NU menganut paham Asy’ariyyah yang dinisbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari dan Maturidiyyah yang dinisbatkan oleh Abu Mansur al-Maturidi. Selain itu, di bidang tasawuf, NU menganut paham Imam Al-Ghazali dan Imam Abu Junaid al-Baghdadi. Begitulah system taqlid diwajibkan di dalam NU bukan untuk membodohkan ummat, tetapi justru sebagai sebuah sikap kehati-hatian di dalam mengikuti Al Quran dan Sunnah sehingga pengimplementasian amaliyah-amaliyah dan ibadah-ibadah Islam tidak akan melenceng dari Al Quran dan Sunnah.
Sebagai organisasi islam yang bersifat cultural, tidak mengherankan jika NU memiliki basis pendukung lebih dari 51 juta jiwa yang kemudian menjadikan NU sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia dan mampu mengalahkan ormas Islam yang telah berkembang sebelumnya. Paham NU telah mengakar sangat kuat, sampai-sampai orang awam saja dapat menjadi keanggotaan NU secara cultural. Banyaknya basis pendukung juga tidak disebabkan oleh kelebihan NU sebagai organisasi masyarakat Islam yang bersifat cultural saja, tetapi juga disebabkan oleh model istinbath al-ahkam dan corak fiqh ala ahlussunnah wal jama’ah (dengan berbagai metode ijtihad, seperti Ijma’, Qiyas, Istihsan, Masalihul Mursalah, ‘Urf, Istishab, dan sebagainya) yang direpresentasikan oleh NU sangat fleksibel tanpa meninggalkan nilai-nilai pokok ajaran Islam dan tanpa meninggalkan dan mengesampingkan dalil-dalil dari Al Quran dan Sunnah.

Fleksibilitas pemikiran NU ini selanjutnya berefek pada fleksibilitas sikap para warga Nahdliyyin, khususnya terhadap perbedaan pemikiran atau pendapat dan mengenai adanya tradisi-tradisi. NU tidak kemudian melawan pemikiran-pemikiran yang bertolak belakang dengan NU, tetapi NU justru memberikan ruang toleransi bagi mereka. Selain itu, NU tidak memberantas habis tradisi yang berkembang di masyarakat, namun dengan kecerdasan para kyai NU telah berhasil melakukan akulturasi dan asimilasi tradisi sehingga tradisi yang asalnya tidak sesuai dengan ajaran Islam, perlahan bermetamorfosa menjadi tradisi yang sesuai dengan ajaran Islam meskipun tetap menimbulkan kontroversi dan kontradiksi pada sejumlah kalangan. Prinsip aswaja juga selalu dijunjung tinggi oleh NU di dalam sikapnya terhadap segala sesuatu yang berkembang di dalam masyarakat, yaitu tawazun (seimbang dalam segala hal, termasuk penggunaan dalil naqli dan dalil ‘aqli), tasamuh(mengembangkan toleransi), tawassuth (sikap tengah, tidak ekstrem kanan dan juga tidak ekstrem kiri), dan istidal (tegak lurus, artinya konsistensi antara pikiran, ucapan, dan perbuatan).

NU juga merupakan representasi dari kalangan pesantren Indonesia yang pernah mencatatkan dirinya dengan tinta emas karena keberhasilannya di dalam ikut serta memprotes tindakan Raja Ibnu Saud untuk membongkar makam Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau serta keinginan Raja Ibnu Saud mewajibkan seluruh ummat Islam terutama yang beribadah haji untuk memeluk paham Wahhabi (suatu paham puritan yang dinisbatkan kepada Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab). Walhasil, Raja Ibnu Saud membatalkan rencananya untuk membongkar makam Nabi Muhamamd SAW dan beberapa sahabat serta kebebasan bermadzhab dijaminkan kepada para pemeluk Islam meskipun di Mekkah telah diputuskan paham resmi Negara adalah Wahhabi. Sebagai representasi dari kalangan pesantren, tentu saja NU juga memiliki banyak sekali kelebihan. Para kyai dan santri yang senantiasa belajar mengaji dan mengkaji, telah membuat mereka menjadi pribadi yang faqih‘alim, bermanfaat bagi agama dan Negara. Selain itu, sifat-sifatnya yang zuhudqana’ah, suka bersusah payah (prihatin—bahasa Jawa), taqwa, telah membuat beberapa dari mereka memiliki karamah dan kelebihan dibandingkan dengan manusia biasa. Sehingga suatu hal yang mengherankan ketika banyak pihak yang menyangsikan dan menyepelekan kyai hanya karena sifat tidak baik dari sebagian kecil kyai saja.
Satu hal yang juga tidak kalah penting, semua Habib (keturunan Nabi) di Indonesia misalnya Habib Syeikh ibn Abdul Qadir Assegaf dan Habib Munzir al-Musawa (masih banyak lagi para habib yang lain) telah menjadikan pribadi mereka sebagai pembela paham ahlussunnah wal jama’ah ala NU.

Comments :

0 komentar to “Fleksibilitas pemikiran NU”