Our Partners

Gunakan GSunni Mesin Pecari Aswaja, agar tidak tersesat di situs2 wahabi.. klik sini..

PCINU Maroko

get this widget here

Resources

Catwidget2

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget1

Pages

Catwidget4

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget3

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Selasa, 15 November 2011

Renungan ke-NU-an

Oleh: Ahmad Syaifuddin (Kader Muda IPNU Kota Yogyakarta)
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sebuah jam’iyyah diniyyah yang menganut paham ahlussunnah wal jama’ah. Di dalam bidang fiqh, NU menganut madzhab fiqh yang empat, yaitu madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik ibn Anas, Imam Muhammad ibn  Idris asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Namun, di dalam perkembangannya, mayoritas warga Nahdliyyin menganut paham Syafi’iyyah di bidang fiqh karena fleksibilitas dan ketelitian beliau di dalam metode istinbath al-ahkam. Selanjutnya, di dalam bidang teologi, NU menganut paham Asy’ariyyah yang dinisbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari dan Maturidiyyah yang dinisbatkan oleh Abu Mansur al-Maturidi. Selain itu, di bidang tasawuf, NU menganut paham Imam Al-Ghazali dan Imam Abu Junaid al-Baghdadi. Begitulah system taqlid diwajibkan di dalam NU bukan untuk membodohkan ummat, tetapi justru sebagai sebuah sikap kehati-hatian di dalam mengikuti Al Quran dan Sunnah sehingga pengimplementasian amaliyah-amaliyah dan ibadah-ibadah Islam tidak akan melenceng dari Al Quran dan Sunnah.
Sebagai organisasi islam yang bersifat cultural, tidak mengherankan jika NU memiliki basis pendukung sebanyak empat puluh juta jiwa di seluruh Indonesia (data tahun 2000, kemungkinan saat ini lebih dari empat puluh juta jiwa dan data tahun 2009 didapat oleh Suaidi Asyari, memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU) yang kemudian menjadikan NU sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia dan mampu mengalahkan ormas Islam yang telah berkembang sebelumnya. Paham NU telah mengakar sangat kuat, sampai-sampai orang awam saja dapat menjadi keanggotaan NU secara cultural. Banyaknya basis pendukung juga tidak disebabkan oleh kelebihan NU sebagai organisasi masyarakat Islam yang bersifat cultural saja, tetapi juga disebabkan oleh model istinbath al-ahkam dan corak fiqh ala ahlussunnah wal jama’ah (dengan berbagai metode ijtihad, seperti Ijma’, Qiyas, Istihsan, Masalihul Mursalah, ‘Urf, Istishab, dan sebagainya) yang direpresentasikan oleh NU sangat fleksibel tanpa meninggalkan nilai-nilai pokok ajaran Islam dan tanpa meninggalkan dan mengesampingkan dalil-dalil dari Al Quran dan Sunnah.
Fleksibilitas pemikiran NU ini selanjutnya berefek pada fleksibilitas sikap para warga Nahdliyyin, khususnya terhadap perbedaan pemikiran atau pendapat dan mengenai adanya tradisi-tradisi. NU tidak kemudian melawan pemikiran-pemikiran yang bertolak belakang dengan NU, tetapi NU justru memberikan ruang toleransi bagi mereka. Selain itu, NU tidak memberantas habis tradisi yang berkembang di masyarakat, namun dengan kecerdasan para kyai NU telah berhasil melakukan akulturasi dan asimilasi tradisi sehingga tradisi yang asalnya tidak sesuai dengan ajaran Islam, perlahan bermetamorfosa menjadi tradisi yang sesuai dengan ajaran Islam meskipun tetap menimbulkan kontroversi dan kontradiksi pada sejumlah kalangan. Prinsip aswaja juga selalu dijunjung tinggi oleh NU di dalam sikapnya terhadap segala sesuatu yang berkembang di dalam masyarakat, yaitu tawazun (seimbang dalam segala hal, termasuk penggunaan dalil naqli dan dalil ‘aqli), tasamuh(mengembangkan toleransi), tawassuth (sikap tengah, tidak ekstrem kanan dan juga tidak ekstrem kiri), dan istidal (tegak lurus, artinya konsistensi antara pikiran, ucapan, dan perbuatan).
NU juga merupakan representasi dari kalangan pesantren Indonesia yang pernah mencatatkan dirinya dengan tinta emas karena keberhasilannya di dalam ikut serta memprotes tindakan Raja Ibnu Saud untuk membongkar makam Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau serta keinginan Raja Ibnu Saud mewajibkan seluruh ummat Islam terutama yang beribadah haji untuk memeluk paham Wahhabi (suatu paham puritan yang dinisbatkan kepada Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab). Walhasil, Raja Ibnu Saud membatalkan rencananya untuk membongkar makam Nabi Muhamamd SAW dan beberapa sahabat serta kebebasan bermadzhab dijaminkan kepada para pemeluk Islam meskipun di Mekkah telah diputuskan paham resmi Negara adalah Wahhabi. Sebagai representasi dari kalangan pesantren, tentu saja NU juga memiliki banyak sekali kelebihan. Para kyai dan santri yang senantiasa belajar mengaji dan mengkaji, telah membuat mereka menjadi pribadi yang faqih‘alim, bermanfaat bagi agama dan Negara. Selain itu, sifat-sifatnya yang zuhudqana’ah, suka bersusah payah (prihatin—bahasa Jawa), taqwa, telah membuat beberapa dari mereka memiliki karamah dan kelebihan dibandingkan dengan manusia biasa. Sehingga suatu hal yang mengherankan ketika banyak pihak yang menyangsikan dan menyepelekan kyai hanya karena sifat tidak baik dari sebagian kecil kyai saja.
Satu hal yang juga tidak kalah penting, semua Habib (keturunan Nabi) di Indonesia misalnya Habib Syeikh ibn Abdul Qadir Assegaf dan Habib Munzir al-Musawa (masih banyak lagi para habib yang lain) telah menjadikan pribadi mereka sebagai pembela paham ahlussunnah wal jama’ah ala NU. Bahkan Kyai Haji Habib Muhammad Luthfi Ali Bin Yahya menjabat sebagai Rais ‘Am Jam’iyyah Ahli Thariqat Al Mu’tabarah al Nahdliyah dan Rais Syuriah PBNU. Kelebihan ini bahkan tidak dimiliki oleh ormas Islam yang lain di Indonesia. Sebuah penghormatan yang sangat besar karena keturunan Nabi Muhammad SAW menjadi bagian dari NU.
Namun, sebagai organisasi islam yang bersifat structural, NU justru memiliki banyak kelemahan. Beberapa kelemahan tersebut dapat saya identifikasikan sebagai berikut :
1. Sepinya kegiatan di berbagai ranting atau cabang atau wilayah.
Di beberapa daerah, kegiatan yang dibawah structural NU kurang progresif dan cenderung sepi. Hal inilah yang kemudian membuat beberapa kalangan menyebut NU sebagai The Silence Majority(mayoritas yang hanya diam). Hal ini jelas merugikan NU sebagai organisasi Islam yang dibangun dengan tujuan salah satunya menegakkan agama Islam khususnya amalan-amalan ahlussunnah wal jama’ah dan juga menyejahterakan ummat. Sebagai organisasi yang terbesar, jangan sampai NU hanya mempunyai kegiatan yang menguntungkan pihak NU sendiri, NU harus progresif mengadakan kegiatan yang outputnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat luas secara umum dan masyarakat sekitar secara khusus. Tidak hanya kuantitas kegiatan yang menjadi sasaran di dalam menyusun program kerja, tetapi kualitas kegiatan juga penting. Kegiatan yang diadakan harus bersifat tepat sasaran, tepat guna, dan tepat tujuan. Mempertahankan kegiatan yang sudah menjadi tradisi memang baik, tetapi mengadakan inovasi kegiatan akan lebih baik. Ketika jaman semakin membuat tingkat kesulitan mencapai kesejahteraan hidup semakin tinggi dan juga berefek kepada tergadainya iman dan aqidah, kegiatan-kegiatan yang tidak hanya kegiatan keagamaan, misalnya kegiatan seminar, training, pelatihan, kursus, membuka klinik, koperasi, dan sebagainya, sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang diadakan seperti ini sebenarnya tinggal mengadopsi konsep Fiqh Sosial yang dicetuskan oleh DR HC KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (Rais Am Syuriah PBNU) dan kemudian mengimplementasikannya dengan berbagai teknik dan metode yang disesuaikan dengan sasaran dan kebutuhan sehingga memiliki output yang maksimal. Kegiatan seperti ini juga harus menyebar baik di setiap tingkatan maupun di setiap daerah. Kemampuan berpikir inovatif dan peka terhadap kebutuhan ummat tentu saja tidak cukup dan harus diimbangi dengan skill pengelolaan organisasi yang tentunya sangat dibutuhkan dan harus ada di setiap jajaran structural NU.
2. Semakin besar jumlah anggota suatu kelompok, semakin tidak kohesif (kompak, lekat, solid).
Data tahun 2009 menunjukkan bahwa sebanyak lima puluh satu juta jiwa muslim dan santri Indonesia berafiliasi dengan NU, baik secara cultural maupun secara structural. Hal ini menjadi kelebihan yang dimiliki oleh NU yang menjadikan NU sebagai organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, tetapi di sisi lain juga menimbulkan efek negative yang lain. Efek tersebut adalah sulitnya mengelola keanggotaan yang sangat banyak. Di dalam hukum kohesivitas psikologi social, semakin besar jumlah anggota suatu kelompok akan mengakibatkan kurangnya kohesivitas para anggota kelompok tersebut. Beberapa kalangan juga menilai bahwa NU kurang serius di dalam mengelola keanggotaan warganya. Di pihak lain, banyak terdapat para anggota structural NU yang juga kurang memahami manajemen organisasi yang baik yang juga akan mengakibatkan kurang solidnya barisan NU secara structural. Banyak pertemuan di berbagai tingkatan dan daerah secara rutin dengan agenda membahas masalah terkini ummat untuk dicarikan solusinya mungkin akan dapat menjadi sebuah solusi untuk permasalahan kohesivitas ini. Selain itu, di sisi lain para anggota structural NU juga harus belajar mengenai manajemen organisasi yang baik, bagaimana menyolidkan warga NU, bagaimana menghadapi masalah ummat, bagaimana ketika ada gesekan atau tantangan dari luar datang, dan sebagainya. Barangkali tantangan dari kaum radikalis—puritan yang semakin tinggi menjadi hikmah bagi NU untuk semakin menyolidkan barisan dan tidak lengah sedikitpun di dalam memperjuangkan Islam Sunni dan Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia.
3. System taqlid mengharuskan para kyai NU menuntun para warga Nahdliyyin yang awam.
Warga NU sangat bervariasi, termasuk salah satunya mengenai tingkat pemahaman terhadap Islam secara umum dan ahlussunnah wal jama’ah secara khusus. Ada yang sangat pandai dan paham, tetapi ada juga yang tidak paham sama sekali atau taqlid buta. Hal ini jika dibiarkan secara terus menerus, bisa saja akan merugikan. Di sini saya tidak bermaksud mengharuskan setiap warga NU untuk berijtihad, tetapi setidaknya ada usaha dari setiap warga NU terutama yang awam untuk belajar mengenai keilmuan dan kemadzhaban serta ahlussunah wal jama’ah sehingga semakin mantap di dalam beramaliyyah. Begitu juga sebaliknya, dibutuhkan peran aktif dari para kyai terutama di tingkat pedesaan untuk istiqamah di dalam memberikan kajian-kajian yang tidak hanya bersifat akhlaq dan aqidah, tetapi juga kajian fiqh, paling tidak disesuaikan dengan sasaran sehingga warga yang awam mampu memahami amaliyyah-amaliyyah mereka meskipun tidak secara detail, namun akan lebih baik jika para warga mampu untuk memahami sampai detail. Memberikan dan menyerahkan permasalahan kepada yang bukan ahlinya merupakan perbuatan yang tidak terpuji, namun membiarkan ummat di dalam keawaman juga bukan tindakan yang bijaksana. Busyairi Harits, seorang tokoh dari PWNU Jawa Tengah memiliki konsep Gerakan Kiai Kampung untuk memberikan solusi agar ummat khususnya di daerah pedesaan tidak awam mengenai masalah keagamaan dan peribadatan serta dapat mencapai kesejahteraan.
4. Kontekstualisasi hukum membuat banyak orang terpengaruh paham skripturalis atau tekstualis.
Corak pemikiran NU adalah mengkontekskan hukum Islam tanpa meninggalkan nilai-nilai atau hukum-hukum yang terdapat di dalam Al Quran dan Sunnah sebagai sumber utama di dalam penggalian hukum (istinbath al-ahkam) dan juga sebagai dalil utama. Hal ini sebagai konsekuensi dari prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah yang peka terhadap kemashlahatan ummat dan moderat, salah satunya terhadap budaya. Arti moderat bukan berarti mengijinkan berkembangnya budaya begitu saja tanpa penyaringan atau filter. Arti moderat di sini adalah tetap menghargai adanya budaya tersebut dengan berupaya mengadakan akulturasi dan asimiliasi dengan budaya Islam. Sehingga, budaya-budaya yang menjadi amalan-amalan warga Nahdliyyin atau Syafi’iyyah di Indoensia dan diklaim bid’ah dlalalah tersebut sudah tidak lagi memakai nilai Hindu, Budha, dan kejawen, tetapi justru diganti dengan nilai-nilai keIslaman, misalkan menghilangkan unsure kesyirikan, mengisi acara dengan doa dan sesuatu yang bermanfaat. Kontekstualisasi hukum seperti ini membutuhkan kecerdasan, kepahaman, ketelitian, dan kehati-hatian yang sangat dalam pada kalangan kyai karena yang dihadapi tidak hanya masalah duniawi saja, tetapi masalah keagamaan yang diperlukan ijtihad meskipun tidak berupa ijtihad muthlaq. Di dalam hadits Rasulullah SAW bersabda kesalahan ijtihad saja tetap diberi pahala satu, lalu mengapa masih ada pihak-pihak yang mengeklaim sesat dan salah padahal NU dan Syafi’iyyah belum tentu salah dan mereka belum tentu benar? Kontekstuaslisasi hukum ini juga kemudian berefek kepada sulitnya memahami hasil dari kontekstualisasi hukum tersebut, sehingga memberikan peluang ketidakpahaman kalangan awam yang kemudian banyak kalangan awam yang mudah terpengaruh oleh gerakan radikalis—puritan yang cenderung tekstual dan skripturalis di dalam memahami hukum-hukum di dalam Al Quran dan Sunnah. Hal ini yang kemudian membutuhkan upaya keras dari kalangan cendekiawan NU dan warga NU yang duduk di jajaran structural NU untuk senantiasa mengawal dan membentengi para warga yang masih awam agar tidak terseret dan tidak terpengaruh oleh gerakan-gerakan semacam itu yang justru mengancam keutuhan ummat dan ukhuwah islamiyyah.
5. Banyak para kaum muda NU terlibat ke dalam pemikir yang bebas (neo Mu’tazilah).
Pemikiran akan terus berkembang karena sifat pikiran dan ilmu pengetahuan yang dinamis. Perkembangan pemikiran seperti ini mampu memberikan efek positif di dalam kehidupan untuk tujuan kesejahteraan ummat. Namun, di sisi lain ketika terdapat kesulitan di dalam kehidupan yang membutuhkan tingkat dinamis dan fleksibiltas pemikiran yang tinggi, akan justru mengakibatkan liarnya pemikiran yang mungkin dapat keluar dari ketentuan syara’. Seperti yang telah tercatat oleh sejarah bahwa Islam pernah berjaya di tangan kaum Mu’tazilah yang pandai berdebat dengan teknik rasionalitas yang tinggi dan kemampuan filsafat yang hebat untuk menghadapi kaum zindiq yang menggerogoti Islam dari dalam. Namun, di sisi lain, mereka justru telah melampaui batas di dalam menggunakan akal dan pikiran mereka sehingga mereka diberangus oleh mantan pengikutnya sendiri, Abu Hasan al-Asy’ari yang telah taubat dari paham Mu’tazilah yang dianutnya selama 40 tahun, dan beliau telah menancapkan paham Asy’ariyyah menggantikan paham Mu’tazilah. Periode saat ini banyak muncul pemikiran liberal yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai pemikiran liar dan liberal yang menyalahi syara’. Beberapa dari kalangan yang disebut sebagai neo-Mu‘tazilah oleh beberapa pihak yang tidak setuju dengan mereka, justru menganut paham NU meskipun secara structural tidak masuk di dalam kepengurusan NU. Terlepas apakah cara berpikir mereka benar atau bahkan salah, keberadaan pemikiran tersebut terbukti menodai kalangan NU sendiri, bahkan tidak jarang kalangan kyai berselisih pendapat dengan kaum muda NU yang liberal. Selain itu, terdapat beberapa mahasiswa NU yang tergabung dalam PMII suatu universitas sering mengadakan diskusi membahas mengenai teologi dan doktrin-doktrin yang membuat mereka berfilsafat tanpa arah dan tujuan yang jelas dan kemudian menjadikan mereka mempermainkan Tuhan dengan setiap tindakannya. Hal ini selain dapat menghilangkan nilai-nilai hukum Islam, juga dapat mengancam ukhuwah di tubuh NU sendiri. Jelas efek semacam ini sangat merugikan bagi NU sendiri. Sehingga kalangan kyai atau Syuriah atau Mustasyar harus dapat bertindak secara tegas dan tepat di dalam menghadapi kasus seperti ini. Islam memang agama rahmat untuk seluruh alam, namun bukan berarti universalitas dan fleksibilitas hukumnya meninggalkan nilai-nilai yang dibawanya sendiri.
6. Sikap toleransi yang kemudian disalahartikan menyebabkan sikap toleransi yang berlebihan.
Salah satu prinsip dari Ahlussunnah wal Jama’ah adalah prinsip tasamuh yang diartikan sebagai sikap toleransi dan menghargai perbedaan. Mungkin saja sikap pluralisme tumbuh dari sikap toleransi ini, yang kemudian menimbulkan polemic dan kontroversi dari tingkat ulama sampai tingkat akademis. Ada salah satu fenomena yang menurut saya kurang tepat dari segi aqidah, misalkan ketika Yenny Wahid (putri Alloh Yarham KH Abdurrahman Wahid) menginstruksikan kepada Barisan Ansor Serba Guna (BANSER) untuk ikut menjaga keamanan dan ketertiban perayaan Paskah. Dari segi toleransi ummat beragama jelas ini adalah sikap yang menguntungkan karena dapat menimbulkan good image dari kalangan non-Islam terhadap kalangan Islam. Namun, dari segi aqidah, bisa-bisa sikap semacam ini melunturkan aqidah seseorang. Menjaga ketertiban dan keamanan peringatan keagamaan agama lain memang kewajiban setiap warga, namun bukankah POLRI yang seharusnya berada di garda terdepan karena itu memang tugas POLRI? Bukankah ketika ikut menjaga peribadatan mereka juga berarti mengakui kegiatan peribadatan mereka yang pada akhirnya berefek kepada kepercayaan secara tidak langsung terhadap Tuhan mereka? Toleransi bukan selalu harus terlibat secara langsung, membiarkan mereka beribadah dan tidak bersikap anarkis serta provokatif pun sudah termasuk sikap toleransi. Toleransi memang membutuhkan pertimbangan kemashlahatan ummat, tetapi juga bukan berarti membuat aqidah kita menjadi luntur.
7. Motivasi menulis warga Nahdliyyin rendah.
NU merupakan sebuah organisasi yang didominasi oleh kalangan santri dan kyai. Hampir seluruh waktu di setiap harinya dipakai santri untuk mengaji kitab kuning kepada para kyainya. Selain itu, santri juga dituntut menegakkan sembahyang-sembahyang sunnah sehingga bisa dikatakan waktu 24 jam dalam sehari kurang bagi santri dan kyai. Betapa sibuknya mereka untuk mencapai kemuliaan akhirat dan untuk mencari bekal menyejahterakan ummat kelak ketika sudah keluar dari pondok. Kesibukan ini ternyata memiliki sedikit (jika tidak mau dikatakan banyak) efek yang kurang baik bagi santri, yaitu kurangnya (bukan tidak adanya) motivasi untuk menulis. Menulis adalah sebuah pekerjaan yang sangat mulia juga selain mengaji. Hadlratusy Syaikh Kyai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari (sebagai pendiri dan Rais Akbar NU) saja rajin menulis yang membuat beliau menghasilkan karya sebanyak 20 kitab. Apalagi para santri dan warga NU, harus mencontoh keteladanan beliau. Menulis ini juga akan menimbulkan dampak positif bagi NU sendiri, yaitu sebagai sarana membentengi diri dari hantaman kalangan radikalis—puritan yang notabene rajin menulis namun ketika diadakan dialog terbuka secara ilmiah justru tidak pernah menyanggupi. Banyak media massa yang didominasi oleh kalangan radikalis—puritan yang menjadikannya sebagai alat untuk menyebarkan pahamnya. Buku merupakan salah satu media yang paling ekonomis dan dapat menyebar luas sehingga untuk menghadapinya juga dibutuhkan usaha sebanding. Salah satu upaya untuk menumbuhkan minat menulis ini sebenarnya sudah dilaksanakan oleh NU sendiri yaitu melalui pelatihan yang diadakan oleh lembaga NU yang bernama Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM). Namun, upaya ini sepertinya kurang progresif di berbagai daerah. Upaya seperti training dan pelatihan menulis harus diupayakan secara kontinyu dan berkualitas di berbagai tingkatan dan daerah. Tidak hanya mengembangkan kemampuan menulis, tetapi juga mengembangkan keilmuan terkait konten atau materi mengenai apa yang ditulis, misalkan keilmuan fiqh, hadits, Al Quran, tafsir, dan sebagainya. Para kyai pun juga dituntut untuk memotivasi para santrinya agar memiliki gairah berkarya.
8. Pengkaderan yang kurang progresif di beberapa daerah.
Sebagai organisasi secara structural, NU kurang dapat mengendalikan keanggotannya. Hal ini berakibat pada pengkaderan yang kurang rapi dan kurang optimal. Banyaknya anggota dan kader secara structural belum tentu menjamin kelangsungan NU sendiri. Selain kuantitas, kualitas kader juga sangat penting. Karena itu, harus ada upaya pengkaderan secara serius dan kontinyu. Misalkan, pengkaderan IPNU, IPPNU, GP Ansor dan Banser-nya, Fatayat NU, harus dilaksanakan sesuai dengan program kerja dan konsep yang telah dicanangkan oleh NU, seperti Pelatihan Kader Muda (Lakmud) untuk pengkaderan IPNU dan IPPNU. Tidak hanya itu, teknik acara dan konten acara juga harus diperhatikan. Materi-materi yang diberikan harus berkualitas, misalkan materi tentang manajemen organisasi, aswaja, keNUan, networking, kohesivitas, pendidikan karakter dan mental, dan sebagainya. Dari situ, tentu saja dibutuhkan peran kalangan senior di dalam mengadakan kegiatan tersebut. Pengkaderan yang berkualitas akan melahirkan kader yang tidak hanya berkualitas, tetapi juga militan dan loyal. Kader yang militant dan loyal akan mengakibatkan kohesivitas yang tinggi di antara para kader NU. Pada akhirnya, NU akan menjadi organisasi yang kuat dan kokoh, tidak mudah goyah dengan terpaan badai dan tantangan serta akan dapat memecahkan permasalahan ummat.
9. Jangan hanya berNU secara cultural, tetapi juga secara akademisi.
Sebagai jam’iyyah diniyyah, tidak cukup ketika hanya mengaku dan melaksanakan amaliyyah-amaliyyah NU saja. Tetapi diperlukan upaya untuk paling tidak memahami amaliyyah-amaliyyah tersebut sesuai kadar kemampuan sehingga akan semakin mantap di dalam beramaliyyah. Tidak hanya itu, peningkatan pendidikan juga harus menjadi perhatian khusus NU. Pendidikan merupakan permasalahan urgen dan sampai sekarang masih menjadi permasalahan yang terus diperbincangkan. Pandai di dalam keilmuan agama merupakan tingkatan yang mulia, namun pandai di dalam keilmuan umum juga tidak bisa dianggap remeh. Keilmuan agama dan umum sangat bermanfaat guna mencapai kesejahteraan dunia dan kahirat (sa’adatuddarain). Permasalahan kekinian tidak cukup diselesaikan dengan hanya beribadah dan berdoa saja, tetapi juga dengan upaya yang membutuhkan kecerdasan dan pengembangan pemikiran dan keilmuan guna memecahkan permasalahan ummat, khususnya yang bersifat duniawi. Efek selanjutnya, kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan dapat diminalisir dan dihilangkan yang selanjutnya mengakibatkan kesejahteraan ummat. Arah perjuangan di dalam mengentaskan dan memecahkan berbagai masalah tersebut harus sejalan dengan Qanun Asasy Nahdlatul Ulama (yang dipidatokan oleh Rais Akbar NU pada Muktamar I NU, Hadlratusy Syaikh Kyai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari yang sekaligus menjadi Anggaran Dasar NU), Khiththah Nahdliyyah(yang dirumuskan oleh Kyai Haji Achmad Shiddiq yang menjadi Rais Am PBNU masa jabatan 1984—1991), dan Mabadi’ Khairu Ummat. Sehingga sebagai warga NU, khususnya santri, harus mampu menjadi kalangan terpelajar sebelum akhirnya melakukan upaya pengentasan kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan ummat demi mencapainya kesejahteraan ummat dan kejayaan Islam.
10. Para warga Nahdliyyin diharapkan aktif untuk menyumbangkan segala sesuatu kepada NU.
Sebagai warga yang bersedia diafiliasikan dengan NU, seharusnya memiliki komitmen tinggi untuk berkorban kepada NU. Berkorban banyak caranya. Berkorban juga sebaiknya dilaksanakan dengan maksimal tanpa menafikan kemampuan dan kadar diri masing-masing. Bagi para warga Nahliyyin yang duduk di jajaran structural NU, sebaiknya melengkapi keterampilan diri dengan keterampilan manajemen organisasi di samping keterampilan keilmuan dan interpersonal. Bagi para warga Nahdliyyin yang memiliki kelebihan harta diharapkan bersedia menyisihkan sebagian hartanya untuk NU, misalkan membangun gedung NU tingkat Majelis Wakil Cabang atau Cabang atau Wilayah, agar di setiap kegiatannya NU mampu mengaktualisasikan dirinya dengan baik tanpa terkendala fasilitas. Selain itu bisa juga menyumbangkan hartanya untuk kegaiatan-kegaiatan NU sebagai donator. Bagi para warga Nahdliyyin yang memiliki kelebihan di bidang pemikiran, diharapkan bersedia menyumbangkan pemikiran dalam hal apapun untuk kemajuan NU dan kemashlahatan ummat, misalkan pemikiran mengenai hal-hal kekinian, pemikiran mengenai konsep kegiatan yang inovatif, dan sebagainya. Bagi para warga Nahdliyyin yang memiliki kemampuan menulis, diharapkan bersedia menuliskan setiap pemikirannya dan mempublikasikannya kepada masyarakat NU dan umum sehingga mampu mencerahkan tidak hanya NU saja tetapi juga masyarakat umum. Bagi warga Nahdliyyin yang memiliki kelebihan di dalam hal kepandaian atau kefaqihan, maka diharapkan mampu mencerahkan dan mencerdaskan ummat dengan ilmunya. Tentunya sikap-sikap seperti harus disertai dengan pengimplementasian prinsip-prinsip ahlussunnah wal jama’ah dengan baik.
11.  NU harus merapikan strukturalnya.
Sebuah tantangan yang berat untuk organisasi sebesar NU di dalam mengelola keanggotaan dan organisasinya. Dibutuhkan skill dan kemampuan mengenai keilmuan manajemen organisasi untuk mengelola organisasi besar dengan baik. NU yang juga bercorak structural jangan hanya mengandalkan basis strukturalnya. Anggota NU sudah banyak tanpa pengelolaan dengan baik karena sudah melekatnya tradisi ahlussunnah wal jama’ah yang berkembang di Indonesia. Hal ini akan sangat baik jika disertai pengelolaan organsasi dengan kualitas yang tinggi yang akan membuat organsasi menjadi sangat rapi. Efeknya, keangotaan akan jelas dan kinerja akan semakin produktif. Sebagai salah satu contohnya, program dari PBNU yang membuat KARTANU (Kartu Tanda Anggota NU), baik untuk warga NU secara structural maupun secara cultural. Program ini tentunya sangat berkualitas karena dengan adanya KARTANU ini, maka seluruh anggota dan warga NU akan tercatat di databaseNU. Jika keanggotaan jelas, maka PBNU tidak akan kesulitan untuk berinteraksi dengan para warganya dan juga tidak akan mengalami hambatan jika warganya membutuhkan pertolongan. Kelebihan yang lain dari KARTANU ini tidak hanya berfungsi sebagai kartu tanda anggota saja, tetapi juga sebagai kartu asuransi dan kartu pra bayar. Namun, sayangnya upaya PBNU ini tidak diimbangi dengan respon yang reaktif dari jajaran structural dibawahnya yang seharusnya membantu PBNU di dalam mengkoordinasi warga NU untuk membuat KARTANU tersebut, misalkan oleh PWNU dan PCNU, sehingga program yang berkualitas ini kurang terpublikasi dan terealisasi dengan baik. Upaya yang lain untuk merapikan structural NU adalah dengan cara memasang nameboard NU dan badan otonom-badan otonom (banom) NU di setiap ranting (desa) atau majelis wakil cabang (kecamatan) atau cabang (kabupaten) atau wilayah (propinsi), sehingga akan jelas bahwa di daerah tersebut merupakan basis pendukung NU. Pemasangan nameboard NU dan banom-banomnya ini merupakan tanggung jawab dari jajaran structural NU misalkan PCNU. Pemasangan nameboard NU dan banom-banomnya ini juga tidak dapat dilakukan “asal dipasang”, tetapi harus berada di tempat yang strategis, atau jika dimungkinkan dipasang di kantor NU dan banom-banomnya. Hal ini akan memudahkan akses para warga NU jika membutuhkan bantuan dari NU dan mengadakan kegiatan keNUan. Selain upaya tersebut, merapikan organisasi juga tidak hanya merapikan secara structural, tetapi juga merpikan program kerja dan realisasinya sehingga program kerja dapat terlaksana dengan baik dan dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat.
12. NU harus bertindak tegas kepada para warganya yang melenceng dari prinsip dan ajaran aswaja.
Ketika saya jalan-jalan di sebuah toko buku, terdapat buku yang sangat kontroversi, yaitu Mahrus Ali yang mengaku Mantan Kiai NU dan buku yang diterbitkan oleh penerbit yang sama yang berjudul “MWC NU Menggugat Aqidah Sesat NU”. Hal ini sangat disayangkan karena mengancam ukhuwah NU secara khusus dan ukhuwah islamiyyah secara umum. Diperlukan ketegasan yang nyata dari jajaran structural NU yang lebih tinggi untuk menindaklanjuti para warganya yang mengancam ukhuwah terlebih lagi beberapa oknum warga NU yang bertindak provokatif dan meninggalkan prinsip-prinsip aswaja. Hal ini jelas dibutuhkan untuk menumbuhkan persepsi bahwa NU merupakan organisasi yang tidak hanya besar, tetapi juga tanggap dan tegas secara cerdas. Respon-respon untuk tindakan semacam ini tidak cukup dengan menulis buku-buku counter yang banyak tetapi juga dengan sikap dan tindakan seperti yang sudah dilakukan oleh beberapa jajaran cultural dan sturktural NU misalnya dengan memberikan pengajian kefiqhan dan debat ilmiah secara terbuka. Namun, upaya ini harus dilakukan secara merata dan menyeluruh di setiap tingkatan dan daerah NU. Tentu saja hal ini membutuhkan tidak hanya keilmuan semata, tetapi juga motivasi dan keberanian yang tinggi tanpa mengancam ukhuwah dan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip aswaja.
13. Perbaikan akhlaq dan pergaulan di kalangan pelajar dan kaum muda NU.
Ketika era semakin berkembang pesat, tidak hanya teknologi saja yang mengglobal, tetapi juga karakteristik berpikir dan budaya dari tempat asal tekonologi tersebut. Hal ini memungkinkan terjadinya gerusan budaya local dan local wisdom Indonesia yang banyak sesuai dengan prinsip aswaja. Pada akhirnya, etika bersikap dan bergaul akan semakin menipis dan pudar. Fenomena seperti ini merupakan fenomena yang sangat ironis mengingat NU tidak hanya bergerak di bidang pendidikan dan keagamaan saja tetapi juga bergerak di bidang akhlaq dan etika. Banyak para kaum muda dan pelajar NU di berbagai daerah yang kehilangan etika dan mencerminkan rendahnya akhlaq yang disebabkan oleh gaya hidup yang semakin modern. Fenomena semacam ini perlu mendapatkan perhatian khusus dari NU, terutama kalangan structural NU. Pondok yang tersebar luas dan merata di berbagai pedesaan perlu dimaksimalkan lagi untuk memberikan perannya di dalam memperbaiki akhlaq masyarakat. Peran kyai juga lebih ditonjolkan lagi mengingat karakter kyai yang tidak hanya pandai mengaji, tetapi juga bijak dan berakhlaq mulia yang harus dijadikan tauladan di setiap daerah. Oleh karena itu, diperlukan peran aktif dari para kyai dan santri untuk tetap mempertahankan etika dan akhlaq yang mulia di tengah arus globalisasi ini. Selain itu, saya pernah menemui karakter santri yang “memudahkan” (jawa : nggampangke) ibadah dengan dalil Alloh Maha Tahu. Hal ini kurang bijak jika dilakukan oleh santri yang notabene merupakan kalangan yang tidak hanya tahu tetapi juga paham mengenai keagamaan dan ibadah (meskipun tidak bijak juga jika dilakukan oleh orang biasa non santri). Mengetahui dan memahami secara mendalam seharusnya lebih membuat diri seorang santri semakin rajin dan tidaknggampangke masalah keagamaan dan ibadah. Apalagi santri menjadi role model kaum terpelajar dan harus bisa menjadi contoh bagi masyarakat.
14. NU harus mengelola kegiatan-kegiatan dengan baik di setiap tingkatan.
Sebagai sebuah organisasi yang besar, NU membutuhkan orang-orang dengan skill manajemen organisasi yang tinggi. Tidak hanya dibutuhkan di dalam merapikan dan menyolidkan jajaran structural NU, tetapi juga untuk mengelola kegiatan dan program kerja dengan baik. Kegiatan yang merupakan realisasi program kerja harus dikelola oleh NU dengan baik agar kegaiatan tersebut terkendali dan terarah sehingga efek positif dapat dirasakan oleh semua kalangan yang membutuhkan. Pada setiap kegiatan dan organisasi, juga dibutuhkan tingkat koordinasi dan komunikasi yang tinggi, apalagi pada organisasi sebesar NU. Kegaiatan-kegiatan yang diadakan juga harus dikoordinasikan dan dikomunikasikan tidak hanya dengan structural NU setempat, tetapi juga dengan structural NU yang lebih tinggi. Hal ini bukan hanya sekedar bentuk pertanggungjawaban kepada structural NU yang lebih tinggi, tetapi juga memungkinkan pengawasan dari structural NU yang lebih tinggi sehingga kegiatan yang diadakan akan semakin berkualitas. Jika koordinasi kurang, maka jajaran structural NU yang lebih tinggi akan tidak mengetahui structural NU yang lebih rendah mana saja yang program kerjanya terlaksana dengan baik dan structural NU yang lebih rendah mana saja yang program kerjanya tidak terlaksana, sehingga jajaran structural NU yang lebih tinggi harus menegur dan mengetahui permasalahan yang terjadi yang menyebabkan program kerja dapat terlaksana dengan baik dan tidak terlaksana. Di sinilah peran structural NU yang lebih tinggi tersebut untuk membantu jajaran structural NU yang lebih rendah di dalam kegiatan salah satunya, sehingga kegiatan-kegaiatan NU akan berkualitas dan NU tidak akan diklaim sebagai The Silence Majority. Selain itu, jangan sampai juga organisasi sebesar NU memiliki orsi kegiatan yang berefek pada diri sendiri lebih besar daripada kegiatan yang berefek pada masyarakat luas. Jangan sampai juga terlena atas keberhasilan masa lalu yang akan membuat warga NU sekarang membanggakan nenek moyangnya dan tidak lagi berkarya.
15. Membangkitkan semangat untuk senantiasa memperkokoh NU.
Semangat dan motivasi diperlukan untuk setiap sesuatu yang membutuhkan perjuangan di dalam mencapai goal(tujuan). Semangat di dalam mempertahankan NU dapat dilakuakn dengan berbagai cara sesuai kadar kemampuan masing-masing warga NU. Yang jelas, jangan sampai organisasi sebesar NU kehilangan semangat terutama semangat memperkokoh NU dan semangat senantiasa berjuang untuk kemashlahatan ummat. Semangat ini bisa dibangun dengan berbagai macam cara. Misalnya dengan membaca buku-buku keNUan yang berisi profil para tokoh NU dan keberhasilan-keberhasilan NU sehingga memotivasi untuk selalu berkarya lewat NU. Selain itu, peka terhadap realitas juga akan menimbulkan semangat dan motivasi, seperti misalnya melihat realitas bahwa aswaja dan NU semakin tergerus oleh kalangan radikalis—puritan yang gigih menyuarakan visi dan misinya memurnikan agama Islam serta mengkafirkan ummat Islam yang tidak sepandangan dengan mereka, melihat realitas bahwa ternyata masalah kebodohan, keterbelakangan, kesejahteraan, pendidikan, akhlaq, ekonomi, dan sebagainya masih menjadi masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan khusus. Semangat dan motivasi keNUan juga dapat ditumbuhkan ketika pelatihan kader dan reorganisasi yang disisipkan di setiap materi yang diberikan. Namun, menimbulkan semangat dan motivasi tanpa menjaganya merupakan tindakan yang kurang berkualitas sehingga menjaga motivasi dan semangat juga merupakan suatu hal yang tidak kalah penting dari memunculkan semangat dan motivasi itu sendiri.
16. Mengadakan relasi dengan penerbit ternama untuk menerbitkan buku-buku keNUan.
Relasi dengan penerbit terutama penerbit yang bonafide dan ternama merupakan sebuah langkah penting di dalam mempublikasikan dan mendistribusikan pemikiran-pemikiran, gagasan-gagasan, dan karya-karya warga NU. Terutama sekarang NU dihadapkan dengan pertarungan media dengan kaum radikalis—puritan yang mendominasi media, terutama buku dan penerbit. Penerbit yang menjadi relasi juga jangan sampai hanya memikirkan untung—rugi, tetapi juga mempertimbangkan pengorbanan terhadap NU sehingga personal approachdibutuhkan di dalam hal ini. Sehingga, buku-buku keNUan, ke-aswaja-an, dan kemadzhaban Syafi’i  dapat diterbitkan secara luas dan merata serta dicetak berulang kali.
17. Perkuat aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan madzhab Syafi’iyyah.
Tidak semua kalangan santri atau warga Indonesia yang memiliki amaliyyah-amaliyyah seperti NU bersedia diafiliasikan dengan NU karena NU merupakan organisasi, sedangkan amaliyyah-amaliyyah tersebut tidak terikat organisasi, tetapi terikat oleh madzhab. Sehingga kalangan madzhab secara umum dan kalangan Syafi’iyyah secara khusus, yang tidak tergabung ke dalam NU, juga perlu memperkuat aqidah ahlussunnah wal jama’ah dan pengetahuan tentang kemadzhaban sehingga tidak mudah terpengaruh dan memiliki benteng pertahanan yang kuat dari serangan kalangan radikalis—puritan.
Dibutuhkan ijin dari Alloh SWT, doa dari ummat, dan upaya dari seluruh Aswaja dan NU di Indonesia untuk teap melestarikan amaliyyah-amaliyyah Aswaja dan madzhab yang berdasarkan Al Quran dan Sunnah. Insya Alloh, dengan itu semua, semoga NU, Ahlussunnah wal Jama’ah, dan madzhab (terutama madzhab Syafi’i) akan terus bercahaya dan menancap kuat di hati, pikiran, dan sikap para warganya yang setia. Jangan sampai kebathilan yang terorganisir dapat mengalahkan kebenaran dan kebaikan yang tidak terorganisir. Bravo NU!! Bravo Aswaja!! Bravo Syafi’iyyah!! Allâhu Akbar!!

Latar belakang berdirinya NU

Nahdlatul ulama’, di singkat NU, artinya kebangkitan ulama’. Sebuah organisasi yang di dirikan oleh para ulama’ pada tanggal 31 Januari 1926 M/ 16 Rojab 1344 H di Surabaya.
Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia islam kala itu. Salah satu faktor pendorong lahirnya NU adalah karena adanya tantangan yang bernama globalisasi yang terjadi dalam dua hal :
  • Globalisasi Wahabi, pada tahun 1924, Syarief Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni di taklukkan oleh abdul aziz bin saud yang beraliran Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan melarang semua bentuk amaliyah keagamaan kaum sunni, yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun di Tanah Arab, dan akan menggantinya dengan model Wahabi. Pengamalan agama dengan sistem bermadzhab, tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain sebagainya, akan segera di larang.
  • Globalisasi imperialisme fisik konvensional yang di Indonesia di lakukan oleh Belanda, Inggris, dan Jepang, sebagaimana juga terjadi di belahan bumi Afrika, Asia, Amerika Latin, dan negeri-negeri lain yang di jajah bangsa Eropa.
Tentang globalisasi Wahabi, dengan berbagai variannya, Raja Ibnu Saud juga ingin melebarkan pengaruh kekuasaannya ke seluruh dunia Islam. Dengan dalih demi kejayaan islam, ia berencana meneruskan kekhilafahan Islam yang terputus di Turki pasca runtuhnya Daulah Usmaniyyah. Untuk itu dia berencana menggelar Muktamar/kongres Khilafah di kota suci Makkah, sebagai penerus Khilafah yang terputus itu. Gerakan wahabi, seperti terjelma dalam diri Syaikh Ahmad Soorkati, KH Ahmad Dahlan, dan perintis-perintis awal pemurnian ajaran agama dengan segala perbedaan masing-masing, mulai muncul perlombaan dengan keislaman pesantren yang bercorak tasawwuf, bertarekat dan bermazdhab.
Seluruh negara Islam akan di undang untuk menghadiri muktamar/kongres tersebut, termasuk Indonesia. Awalnya, utusan yang di rekomendasikan adalah HOS Cokroaminoto (SI), KH. Mas Mansur (Muhammadiyyah) dan KH. Wahab Hasbullah (pesantren). Namun, rupanya ada permainan licik di antara kelompok yang mengusung para calon utusan Indonesia. Dengan alasan Kyai Wahab tidak mewakili organisasi resmi, maka namanya di coret dari daftar calon utusan.         Peristiwa itu menyadarkan para ulama’ pengasuh pesantren akan pentingnya sebuah organisasi. Sekaligus menyisakan sakit hati yang mendalam, karena tidak ada lagi yang bisa di titipi sikap keberatan akan sikap Raja Ibnu Saud yang merubah model beragama di Makkah. Para Ulama’ pesantren sangat tidak bisa menerima kebijakan raja  yang anti kebebasan bermadzhab, anti maulid nabi, anti ziaroh makam, dan lain sebagainya. Bahkan santer terdengar berita makam Nabi Muhammad SAW pun berencana akan di gusur.
Bagi para kyai pesantren, pembaharuan adalah suatu kaharusan. KH. Hasyim Asy’ari juga tidak mempersoalkan dan bisa menerima gagasan kaum modernis untuk menghimbau umat Islam kembali pada ajaran Islam “murni”. Namun Kyai Hasyim tidak bisa menerima pemikiran mereka yang meminta ummat Islam melepaskan  diri dari sistem bermadzhab. Di samping itu, karena ide pembaharuan di lakukan dengan cara melecehkan, merendahkan, dan membodoh-bodohkan, maka para ulama’ pesantren menolaknya. Bagi mereka, pembaharuan tetap di butuhkan, namun tidak dengan meninggalkan khazanah keilmuan yang sudah ada dan masih relevan. Karena latar belakang yang mendesak itulah, akhirnya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ didirikan. Oleh karena itu, di putuskanlah bahwa NU akan mengirim Komite Hijaz ke Arab Saudi untuk bernegosiasi agar praktik-praktik keberagamaan bermadzhab tidak di hapus di Haromain. Menurut KH Abdul Wahid Hasyim, Ini adalah salah satu keputusan para ulama’ dalam rapatnya di Surabaya pada 31 Januari 1926, di samping keputusan mencetuskan NU (Aboebakar,1957:471) yang bercorak Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Tentang imperialisme fisik konvensional, hal itu di tandai dengan kehadiran fisik militer dan pemerintah imperialis di bumi Nusantara, yang membuat sengsara dan memiskinkan masyarakat pedesaan dan seluruh masyarakat nusantara pada umumnya. Strategi dan perjuangan kelompok pesantren dalam menghadapi imperialisme fisik konvensional ini tidaklah mudah, sehingga perlu wadah organisasi yang solid dan dari situlah akhirnya para kyai yang melakukan rapat di Surabaya bersepakat untuk mendirikan organisasi yang kemudian di sebut Nahdlatul ‘Ulama. Peran NU dalam menghadapi imperialisme fisik ini telah di tunjukkan dengan mengeluarkan Resolusi Jihad melawan penjajah dalam rapat para ulama di Surabaya pada 22 Oktober 1945.
Pendiri resminya adalah Hadrotusy Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Sedangkan yang bertindak sebagai arsitek dan motor penggerak adalah KH. Wahab Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Kyai Wahab adalah salah seorang murid utama Kyai Hasyim yang lincah, enerjik dan banyak akal.
A. Garis-Garis Besar Pemikiran dan Visi Misi NU
Organisasi Nahdlatul ‘Ulama didirikan dengan tujuan untuk melestarikan, mengembangkan dn mengamalkan ajaran Islam, dengan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam : Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ (kesepakatan ulama’), dan Al-Qiyas (analogi), dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumbernya di atas, NU mengikuti paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan madzhab :
  1. Dalam bidang akidah, NU mengikuti paham Ahlussunnah Wal Jama’ah yang di pelopori oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
  2. Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan (madzhab) Imam Abu Hanifah an-Nu’man (Imam Hanafi), Imam Malik Bin Annas (Imam Maliki), Imam Muhammad Bin Idris as-Syafi’i (Imam Syafi’i), dan Imam Ahmad Bin Hanbal (Imam Hanbali)
  3. Dalam bidang Tasawwuf mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghozali, serta imam-imam lain
Bahkan dalam anggaran dasar yang pertama tahun 1927 dinyatakan bahwa organisasi NU bertujuan untuk memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada salah satu madzhab empat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan kala itu antara lain :
  1. Memperkuat persatuan ulama’ yang masih setia kepada madzhab
  2. Memberikan bimbingan tentang jenis-jenis kitab yang diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam
  3. Penyebaran ajaran Islam yang sesuai dengan tuntunan madzhab empat
  4. Memperluas jumlah madrasah dan memperbaiki organisasinya
  5. Membantu pembangunan masjid-masjid, langgar/musholla, dan pondok pesantren
  6. Membantu anak-anak yatim-piatu dan fakir-miskin
Dalam perkembangannya, NU dalam keputusan Muktamar di Donohudan, Boyolali tahun 2004 di sebutkan :
Tujuan Nahdlatul ‘Ulama didirikan adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menurut salah satu madzhab empat untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat.
Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana di atas, maka NU melaksanakan usaha-usaha sebagaimana berikut :
  1. Di bidang Agama, mengupayakan terlaksananya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menurut salah satu madzhab empat dalam masyarakat dengan melaksanakan dakwah Islamiyah dan amar ma’ruf nahi munkar
  2. Di bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan, mengupayakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengejaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam untuk membina umat agar menjadi muslim yang takwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, serta berguna bagi agama, bangsa dan negara.
  3. Di bidang sosial, mengupayakan terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi rakyar Indonesia
  4. Di bidang ekonomi, mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi unuk pemerataan kesempatan berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan kembangnya ekonomi kerakyatan
  5. Mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak guna terwujudnya Khoiro Ummah
B. Sikap Kemasyarakatan NU
Dalam pendekatan dakwahnya, NU lebih banyak menggunakan dakwah model walisongo, yaitu menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat dan tidak mengandalkan kekerasan. Budaya yang bersala dari suatu daerah, ketika isalam belum datang – bila tidak bertentangan dengan agama – akan terus di kembangkan dan di lestarikan. Sementara budaya yang jelas bertentangan di tinggalkan. Karena identiknya gaya dakwah walisongo itu, nama walisongo melekat erat dalam jam’iyyah NU, di masukkan dalam bentuk bintang sembilan dalam lambang NU. Sebutan bintang sembilan pun melekat erat pada Nahdlatul ‘Ulama.
Secara gaaris besar, pendekatan kemasyarakatan NU dapat di kategorikan menjadi tiga bagian :
  1. Tawassuth dan I’tidal, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk pendekatan dengan Tathorruf (ekstrim)
  2. 2. Tasammuh yaitu sikap toleran yang berintikan penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat
  3. 3. Tawazzun yaitu sikap seimbang dalam berkhidmat demi terciptanya keserasian hubungan antara sesama ummat manusia dan antara manusia dengan Allah SWT
Karena prinsip dakwahnya yang model Walisongo itu, NU di kenal sebagai pelopor kelompok Islam moderat. Kehadirannya bisa di terima oleh semua kelompok masyarakat. Bahkan sering berperan sebagai perekat bangsa.

Sebuah renungan bagi bangsa Indonesia

Sebuah Renungan Bagi Bangsa Indonesia

Oleh: Kusnadi El-Ghezwa*


Sudah 66 tahun indonesia merdeka. Sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 bangsa Indonesia tampak telah berteguh hati untuk mengisi karunia ilahi tersebut dengan memakmurkan negeri, mencerdaskan bangsa dan mendamaikan dunia. Sebuah idelitas yang amat luhur. Hari setelah 66 tahun terlewati, memang banyak hal yang dicapai, tetapi tidak kalah banyak pula hal yang terlewati.

Realitas sejarah Indonesia kemaren hari hingga hari ini masih menunjukan secara nyata betapa Indonesia masih (dan sedang ) dihadapkan pada aral melintang yang  bukan alang kepalang dalam mewujudkan idealitas luhur tersebut. Ancaman, gangguan, hambatan dan tantatangan datang dari segala penjuru dari dalam maupun luar negeri. Pembrontakan politis dari para separatis yang tidak betah tinggal di NKRI, perilaku korup dan kolusif, terjebak hutang global dan seterusnya pembangunan tidak lagi murni demi idealitas luhur. Sebuah era tinggal kandas yang dulu digembar-gemborkan, malah akhirnya menjadi era ’’tinggal kandas’’ seiring dengan ambruknya tahta sang raja orde baru.

Dalam sejarah manusia, berbagai kehancuran peradaban di muka bumi sudah begitu
banyak terjadi. Inti dari kehancuran peradaban atau bangsa, adalah kehancuran iman dan kehancuran akhlak, maka secara otomatis pula akan terjadi pembangkangan terhadap aturan-aturan yang telah ada.

Sebagai misal, Kaum ‘Ad, telah dihancurkan  karena berlaku takabbur dan merasa paling berkuasa dan paling kuat. Mereka merasa tidak ada lagi yang dapat mengalahkan mereka, sehingga mereka berkata: “Siapa yang lebih hebat kekuatannya dari kami?”. Begitu juga kehancuran yang menimpa Fir’aun, Namrudz, dan sebagainya.Kehancuran dan kejatuhan berbagai kaum, negeri, bangsa, dan peradaban, inilah yang sepatutnya direnungkan secara mendalam dan sungguh-sungguh oleh bangsa Indonesia, khususnya para ulama dan cendekiawan.

Apakah gejala-gejala kehancuran suatu negeri atau peradaban seperti yang disebutkan dalam al-Quran dan pernah terjadi dalam sejarah manusia sudah ditemukan dalam wilayah peradaban Indonesia? Kalau gejala-gejala itu sudah ada, bagaimana cara menghindarkannya?  Dalam melakukan upaya perubahan umat yang mendasar,Imam al-Ghazali lebih menfokuskan pada upaya mengatasi masalah kondisi umat yang layak menerima kekalahan. Di sinilah, al-Ghazali mencoba mencari faktor dasar kelemahan umat dan berusaha mengatasinya, ketimbang menuding-nuding musuh.

Menurut al-Ghazali, masalah yang paling besar adalah rusaknya pemikiran dan diri kaum tersebut yang berkaitan dengan aqidah dan kemasyarakatan. Al-Ghazali tidak menolak perubahan pada aspek politik dan militer, tetapi yang dia tekankan adalah perubahan yang lebih mendasar, yaitu perubahan pemikiran, akhlak, dan perubahan diri manusia itu sendiri. Untuk itu, al-Ghazali melakukan perubahan dimulai dari dirinya sendiri dahulu, kemudian baru mengubah orang lain.

Melalui kitab-kitab yang ditulisnya setelah merenungkan kondisi umat secara mendalam, al-Ghazali sampai pada kesimpulan bahwa yang harus dibenahi pertama dari umat adalah masalah keilmuan dan keulamaan. 

Sebagai penutup penulis berharap semoga Tuhan senantiasa memberikan pertolongan atas cobaan yang telah diberikan pada bangsa tercinta ini.


*Penulis adalah Mahasiswa S1 Universitas Imam Nafie, Maroko.

Senin, 14 November 2011

Kota Rabat

oleh devisi Keilmuan dan Informasi PCI NU Maroko*



Kota Rabat
Rabat ibu kota kerajaan maroko, terletak di pinggir pantai samudra atlantik dan di aliri sungai Bouregreg yang tidak pernah kering sepanjang tahun. Kota Rabat di dirikan oleh Raja Abdel Moumin pada tahun 1152, selanjutnya diperluas dan mengalami masa keemasannya di zaman raja Yaqoub al-Mansour ( keduanya dari dinasti Mouahidien). Pada tahun 1610, kota Rabat menjadi salah satu kota penampungan bagi Arab-Moslem yang meninggalkan Andalus di Spanyol. Kota ini banyak menyimpan berbagai bangunan bersejarah dan selalu di kunjungi oleh para wisatwan.

  1. Kasbah des Oudayas.
Kasbah des Oudayas Galerie photoKasabah adalah benteng yang di bangun oleh Raja Moulay Ismail dari Dinasti Alaoui (1672-1694) didirikan di temopat strategis menghadap kelaut Atlantik, guna mengawasi ancaman serangan laut dari Spanyol. Kasbah berfungsi sebagai penyimapan barang bersejarah yang sangat bernilai. Ditemui pula taman kuno yang masih terawatbaik hingga sekarang. Para wisatawan bisa melepaskan lelah sambil memandang ke laut lepas di kafe Kasabah. Tidak jauh dari Kasabah, terdapat pasar kuno Oudayas yang menjual barang souvenir dan artisanat khas Maroko.

B. Tour Hassan.

Tidak jauh dari Kasbah des Oudayas terdapat peninggalan bersejarah Tour Hassan. Baguan tersebut adalah mesjid yang di bangun oleh Raja Yaqoub Al-Mansour pada abad 12. mesjid tersebut mengalami kerusakan akibat gempa bumiyang terjadi pada tahun 1755. dari lokasi Tour Hassan di dataran tinggi, dapat terlihat pemandangan indah dan hamparan sungai Bouregreg dan samudera Atlantik. Di tempat yang sama di makamkan Raja mohammed V dan Raja Hassan II.

  1. Bab Chellah.
Tempat bersejarah dan wisata lainnya yang bisa dikunjungi di kota Rabat, antara lain, Bab Chellah ( Pintu/ Benteng Chellah). Sebuah kota tua yang didirikan oleh Roma yang kemudian di teruskan di bawah pemerintahan Arab.saat ini, beneteng Chellah hanya di menjadi peninggalan sejarah yang banyak dikunjungi wisatawan dan di tempati oleh jumlah luar biasa burung pelican. Gelembumng burung pelican ini berkembang biak terutama di musim semi. Selain pohon yang merindangi Benteng Chellah, burung-burung pelican tersebut juga menjadikan menara tua sebagai sarangnya.

  1. Corniche Rabat
Pilihan tempat wisata yang juga menarik dikunjungi di kota Rabat adalah  Corniche rabat. Seperti halnya kebanyakan kota-kota di pinggiran pantai,Rabat juga menghiasi dirinya dengan Corniche (kotapantai) yang menghubungkan dengankota Sale. Kerjasam ayng di lakukan kerajaan Maroko dengan beberapa Negara teluk, di antaranya UNI Emirat Arab(UEA) untuk membangun Kornich Rabat, menjadikan sepanjang pantai Rabat begitu indah dengan perangakat fasilitas kota modern.

  1. Jalan Soekarno
Bagi warga Indonesia yang berkunjung ke Maroko, tentu tidak akan melewatkan berpose di depan Rue Soekarno/ Zankat Soekarno (Jalan Soekarno). Tepat di depan Bank Al Maghreb, nama presiden pertamaIndonesia, Ir Soekarno tertulis sebagai nama jalan. Kerajaaan Maroko sangat berhutang budi kepada Soekarno dan bangsa Indonesia untuk keluar dari penjajahan tahun 1945, berikut Konfrensi Asia Afrika pada tahun 1955 dan kunjungan presiden Soekarno pada 2 mei 1960 yang terhitung sebagai kunjungan kepresidenan pertama untuk kerajaan Marokosetelah kemerdekaannya pada tahun1956. selain nama jalan Soekarno, di Rabat juga terdapat jalan Indonesia dan Bandung.

Kota Casablanca

Oeh devisi Keilmuan dan Informasi PCI NU Maroko*


Kota  Casablanca

Didirikan oleh saudagar Spanyol 1575 di lokasi sebuah desa abad 12 yang di sebut Anfa, tempat singgah bagi para perampok yang menyerang kapal-kapal yang datang dari pantai utara Maroko. Tak satupun yang tersisa dari kota perampok itu karena di hancurkan bangsa Portugal(1468). Setelah mereka kembali 1515, Casa Branca atau Casablanca di manfaatkan sebgai pelabuhan kota dagang penting.
Setelah gempa bumi mengahncurkannya (1755), sultan Alawi membangunnya lagi. Dengan cepat para pemukim Prancis pindah ke dalamkota dan menjadi mayoritas penduduknya (sekitar 1907). Mereka membangun kembali pelabuhannya sebagai pelabuhan Maroko, medorong cepatnya kemajuan perdagangan yang menggelembungkan jumlah penduduknya hingga 3,5 juta pada tahun1990, di bandingkan dengan 10.000 jiwa pada tahun 1890. sebagai pusat  kota Casablanca, masih tersisa jalan-jalan sempit dan rumah-rumah bata yang terkesan dingin terletak di bagian dlalam tembokkota aslinya. Di luarnya ada pemukiman warga Perancis, Casablanca yang luasnya menyakup 35 mil (90 km) dan  di tunjang pelabuhannya Byang sibuk  merupakan ibu kota bisnis dan ekonomi Maroko, juga sebagai tempat bank dan hotel mewah nasional maupun internasional bernarkas yang menghasilkan lebih dari separuh transaksi perbankan dan produksi industri nasioanal berlangsung di kota Casablanca.
Beberapa tempat yang bisa di kunjungi dan di nikmati oleh para wisatawan di antaranya:

  1. Masjid Hassan II (Dua)

masjid Raja Hassan II, sebuah masjid nyang relative baru dan menjadi salah satu masjid kebanggaan wargaCasablanca dan Maroko secara umum. Bagaimana tidak, masjid yang di bangun atas prakarsa Raja Hassan II dengan anggaran dan hasil sumbangsih dari sebagian besar komunita muslim Maroko dan lokasinya yang di atas permukaan laut, menjadi masjid hassan II yang terbesar di Maroko dan terbesar ketiga di dunia. Masjid Hassan II menjadi masjid kedua di Maroko yang terbuka bagi pengunjung non-muslim dengan pengaturan jadual yang telah ditetapkan. Keunikan, keindahan dan kekhasan fitur interior atap dengan menara khas Maroko yang tinggi, menjadikan masjid Hassan II begitu megah dan bamyak si kunjungi para wisatawan.

  1. Kota lama Casablanca.

Old Medina Casablanca, terletak sebelah utara Kantor Nations Unies adalah sebuah kota kecil dengan benteng tradisional di bagian kota Casablanca. Jika anda berkunjung ke CasablancaOld Medina Casablanca layak di kunjungi.





C. Casablanca Corniche
Casablanca Corniche, sebagai area pantai yang membentan dari ujung barat Masjid Hassan II menjadi daya tarik tersendiri bagi kota Casablanca. Kawasan yang pada masa Raja Hasaan II hanya diisi resor dan restorant, saat ini berkembang dan di sulap menjadi line hotel pinggir lautBoulevard de la Cornichetidak ketinggalan lengkap dengan klub malam yang meghidupkan suasana malam-malam kota Casablanca. Di sepanjang jalan kawasa Casablanca Corniche banyak tersedia Cafe dan restorant  makanan siap saji yang sebagiannya menyerupai kemegahan ota New Jersey Amerika Serikat. Sebuah gedung bioskop baru gaya Barat juga dapat di temukan di Casablanca Corniche. Pilihan terbaik untuk menimati suasana Casablanca Corniche dengan turun ke jalan dan beristirahat di salah satu kafe yang berjejer dengan pemandangan laut yang indah.

  1. Mushalla Sidi Abderrahman.
Mushalla Sidi Abderrahman di bangun di atas batu lepas pantai Casablanca, mushalla hanya dapat di akses dan di kunj ungi pada saat air surut dan terlarang  untuk non-muslims. Namun demikian, semua pengunjugn di persilahkan menikmati kawasan kecil sekitar mushalla untuk menangkap pemandangan dinding putih yang indah sebelum akhirnya meninggalkan Casablanca Cornice.

  1. Mahkama du Pacha.
Mhkama du Pacha adalah sebuah bangunan Hispanik-Moor yang terdiri lebih dari 60 kamar hiasan dengan langit-langit kayu berukir halus. Bangunan ini di huiasi  dengan pagar besi tempa yang rumit serta lantai keramik yang indah. Meskipun untuk masuk ke bangunan ini dengan gratis, pengunjung tidak mudah bisa menemukan Mahkama du Pacha, oleh karenanya perlu Guide untuk mencapai kesana.

  1. Casablanca Twin Tower.
Casablanca Twin towers selesai di bangun pada tahun1999. Saat ini Casablanca Centre menjadi bangunan paling representative dari Casablanca sebagai kota modern, giat dan penuh aktifitas. Dua menara setinggi155 meter yang menjadi inti mega proyek Maroko ini,terinspirasi oleh model arsitektur tradisional Arab, baik volume dan komposisi fasadnya, 5 lantai pertama sebagai perkantoran, apartemen dan toko-toko, selebihnya sebagai terraces,  bar dan restorant yang menempati lantai atas.Casablanca twin towers ini dilengkapi tiga basement untuk parkir.

PCINU MAROKO

PCINU MAROKO

Followers