(Mencari Nalar Pluralisme)
Oleh : H. zuhri[1]
Pendahuluan
Membaca Gus Dur dapat dilakukan dari
dua sisi. Pertama dari sisi subjek pembacanya. Sisi ini terdiri
dari ; (a) pembaca subjektif, pembaca ini biasanya ada di dalam komunitas
Gus Dur-ian, (b) pembaca ilmiah dan
objektif. pembaca ini berada di luar objek yang dibaca, (c) pembaca subjektif
yang antipati terhadap Gus Dur, dan (d) pembaca simpatik terhadap Gus Dur,
tetapi sekedar simpatik yang belum dapat
keluar dari sekedar simpatik dan rasa kagumnya semata. Berbagai tipe
pembaca ini memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Dari sisi kelebihan
tentu tidak perlu dikupas di sini karena mudah untuk diidentifikasi. Sisi
kelemahan penting dideskripsikan guna perbaikan. Kelemahan kelompok pertama dapat
memberikan efek pada kemungkinan lahirnya mitologi Gus Dur. Bagi kelompok kedua,
realitas dan rasionalitas atas Gus Dur ternyata tidak cukup untuk sekedar
dilihat dari perspektif ilmiah. Sedangkan kelompok ketiga, hilangnya objek yang diantipati
atau bahkan dimusuhi mengakibatkan emosi yang tidak tersampaikan. Sedangkan bagi
simpatisan, kemungkinan tetap sekedar
menjadi simpatik meski beralih ke simpatik sejarah.
Kedua, dari sisi objek pembacanya yaitu Gus Dur sendiri.
Sekarang, Gus Dur telah menjadi sebuah petanda, teks, dan/atau
sejarah.
Baik petanda, teks, dan/atau sejarah, ketiganya membutuhkan alat pembaca yaitu tafsir
atau hermenutika agar mendapatkan sebuah pemahaman. Sebagai petanda, Gus selalu menjadi sebuah
simbol bagi para pembacanya untuk sebuah tanda-tanda tertentu seperti,
kerukunan, kearifan, bapak bangsa, pluralisme, atau bahkan mungkin otoritarianisme.
Sebagai teks, Gus Dur akan selalu menjadi rangkaian kata-kalimat yang
tersusun dan mengalir tidak ada henti
dengan problematika internalnya yang khas. Sebagai sejarah, Gus Dur akan
menjadi rangkaian nalar kolektif-imajinatif yang dapat menginspirasi.
Ketika dua sisi di atas dapat
diketahui, persolaannya, sampai kapan ‘pembacaan’ atas Gus Dur itu ada ? jangan-jangan setelah nyewu ‘pembacaan’ Gus Dur sudah tidak ada lagi?
Asumsi ini sah saja karena mungkin ada
yang berpendapat, ngapain sih kok repot-repot ‘membaca’ Gus Dur ? Ketokohan
dan kebesaran Gus Dur mungkin akan menjadikan energi tersendiri untuk
membacanya. Tetapi, sejarah harus berjalan dan bahkan melindas anak cucu
sejarah sendiri demi sejarah masa depan yang akan menjadi kepastian. Penulis
tidak tahu apakah catatan kaki di bawah ini bagian dari energi kebesaran Gus
Dur atau sebaliknya; kepastian sejarah yang akan pelan-pelan melupakannya.
Silahkan menilai sendiri.
Babak-babak Kehidupan
I
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk
belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi
Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun
dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum
sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris.
Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah
ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah
dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji
pada K.H. Ma’sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia
ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin
mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai
Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan
beberapa buku dalam bahasa Inggris. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai
dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai
Komunis-memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’. Pada saat yang
sama, Gus Dur mulai mengenal Das Kapital-nya Karl Marx,
filsafat Plato, dan masih banyak lainnya.[2]
(sepenggal biografi Gus Dur dari berbagai sumber)
II
CETHAK-cethok-cethak-cethok,
grrredek…. Lelaki berperawakan tambun itu tampak asyik duduk di salah satu meja
redaksi yang berkantor di Proyek Senen, Jakarta Pusat, pada suatu Jumat. Pria
berkacamata minus—saking tebalnya sampai kayak stoples—itu sedang asyik
memencet-mencet tombol mesin ketik di meja Syu’bah Asa, redaktur kolom majalah Tempo pada 1970-an.
Tak lama berselang, si empunya meja, Syu’bah, datang dari salat Jumat di Masjid Istiqlal. Ia langsung menghampiri lelaki yang di kalangan awak redaksi kala itu akrab dipanggil Cak Dur ini. Syu’bah dan Abdurrahman Wahid, nama lengkap Cak Dur, yang oleh kalangan luas kerap disapa Gus Dur, berbincang-bincang sebentar. Lalu Syu’bah meninggalkan mejanya dengan senyum terkembang.
Bambang Bujono, salah satu redaktur di Majalah Tempo saat itu, bertanya, ”Mas, kenapa Anda senyam-senyum dari tadi?” Sambil menundukkan kepala, Syu’bah berbisik, ”Dia (Gus Dur) kelihatannya terlalu asyik mengetik kolom sampai lupa tidak Jumatan.” ”Mana mungkin,” kata Bambang Bujono, yang biasa disapa Bambu, ”Bukankah dia kemari justru kalau hendak Jumatan? Kolomnya saja sudah hampir selesai.”[3]
Tak lama berselang, si empunya meja, Syu’bah, datang dari salat Jumat di Masjid Istiqlal. Ia langsung menghampiri lelaki yang di kalangan awak redaksi kala itu akrab dipanggil Cak Dur ini. Syu’bah dan Abdurrahman Wahid, nama lengkap Cak Dur, yang oleh kalangan luas kerap disapa Gus Dur, berbincang-bincang sebentar. Lalu Syu’bah meninggalkan mejanya dengan senyum terkembang.
Bambang Bujono, salah satu redaktur di Majalah Tempo saat itu, bertanya, ”Mas, kenapa Anda senyam-senyum dari tadi?” Sambil menundukkan kepala, Syu’bah berbisik, ”Dia (Gus Dur) kelihatannya terlalu asyik mengetik kolom sampai lupa tidak Jumatan.” ”Mana mungkin,” kata Bambang Bujono, yang biasa disapa Bambu, ”Bukankah dia kemari justru kalau hendak Jumatan? Kolomnya saja sudah hampir selesai.”[3]
“Majalah tempo
berulang tahun ke 41” diunduh dari www.tempo.co pada 26
September 2012.
III
Jika ada orang yang bisa mendengarkan pidato atau mendengarkan orang
ngobrol padahal dia tidur, itu orang yang luar biasa. Apalagi sudah mendengkur,
tetap mendengar pula. Adakah orang yang diberi kemampuan seperti itu?
Ada, tapi saya tak menemukan lebih dari satu. Dia adalah Presiden Indonesia yang
keempat di republik yang berbudaya ini: Abdurrahman Wahid. Dengan beribu-ribu
maaf--nuwun sewu--saya harus menyebutkan junjungan saya yang sudah lama berada
di sisi Tuhan ini. Saya akrab dengan beliau, tentu saja ketika beliau belum
menjadi Presiden. Maklum, pada 1980-an, saat beliau menulis kolom untuk Majalah
Tempo, saya yang menyediakan mesin ketik dan kertas.
Suatu ketika--ini
sudah tahun 1990-an--beliau ikut di mobil saya bersama Wahyu Muryadi dalam
perjalanan ke Ciganjur. Mulanya kami asyik ngobrol bertiga. Tiba-tiba Gus Dur
tidur dan mendengkur, saya dan Wahyu menghentikan obrolan. “Junjungan kita
capek, biar istirahat, kita tutup diskusi,” kata Wahyu. Eh, tiba-tiba Gus Dur
berhenti mendengkur, “Sampean ngomong saja terus, nanti saya jawab.” Kami
terbahak, dan Gus Dur mengaku mendengar apa yang kami obrolkan. [4]
Putu Setia, Pidato&Tidur diunduh dari www.tempo.co. pada 26 September 2012
IV
Perkembangan sejarah setelah itu menunjukkan bahwa agama
Islam tidak berkurang peranannya dalam kehidupan bangsa, walaupun beberapa kali
usaha merubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berhasil digagalkan,
seperti dalam Dewan Konstituante di tahun 1956-1959. Demikian juga beberapa
kali pemberontakan bersenjata terhadap NKRI dapat digagalkan seperti DI-TII dan
APRA (Bandung 1950). Ini tidak berarti Islam dibatasi ruang geraknya dalam
negara, seperti terbukti dari kiprah yang dilakukan oleh Al-Azhar di Kairo.
Siapapun tidak dapat menyangkal bangsa Indonesia adalah memiliki jumlah terbesar
kaum muslimin. Ini berbeda dari bangsa- bangsa lain, Indonesia justru memiliki
jumlah yang sangat besar kaum “muslimin statistik” atau lebih di kenal dengan
sebutan “muslim abangan”. Walaupun demikian, kaum muslim yang taat beragama
dengan nama “kaum santri” masih merupakan minoritas. Karena itu, alangkah tidak
bijaksananya sikap ingin memaksakan NI atas diri mereka. Lalu, bagaimana dengan
ayat kitab suci al-Qurân yang di sebutkan diatas? Jawabnya, kalau tidak ada NI
untuk menegakkan hukum agama maka masyarakatlah yang berkewajiban. Dalam hal
ini, berlaku juga sebuah kenyataan sejarah yang telah berjalan 1000 tahun
lamanya yaitu penafsiran ulang (re-interprensi) atas hukum agama yang ada.
Dahulu kita berkeberatan terhadap celana dan dasi, karena itu adalah pakaian
orang-orang non-muslim. Sebuah diktum mengemukakan, “Barang siapa menyerupai
sesuatu kaum ia adalah sebagian dari mereka” (man tasyâbaha bi qaumin
fahuwa min hum). [---] Karena itu,
kita lalu mengerti mengapa para wakil berbagai gerakan Islam dalam Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
memutuskan untuk menghilangkan Piagam Jakarta dari UUD 1945. Mereka inilah yang
berpandangan jauh, dapat melihat bersungguhnya kaum muslim menegakkan ajaranajaran
agama mereka tanpa bersandar kepada negara. Dengan demikian, mereka menghidupi
baik agama maupun negara. Sikap inilah yang secara gigih dipertahankan
Nahdlatul Ulama (NU), sehingga agama Islam terus berkembang dan hidup di negeri kita.[5]
Abdurrahman Wahid, Islamku,
Islam Kita, Islam Anda, (Jakarta: Demokrasi Project, 2011), hlm. 107.
V
Ketika
DPR memutuskan untuk mengeluarkan memorandum kedua pada akhir April 2001
reputasi Gus Dur telah mencapai tingakt
paling rendah secara nasional. Sementara disepakati oleh hamper semua
orang bahwa masa kepresidenan Gus Dur memang mengecewakan. Sebenarnya tidaklah
mudah untuk menilai sejauhmana hal ini disebabkan oleh kelemahan pribadi Gus Dur
dan sejauhmana orang secara
realistis menaruh harapan besar terhadap dirinya mengingat bahwa peralihan di
Indonesia dari pemerintahan otoriter yang ditopang oleh tentara ke demokrasi merupakaan suatu hal yang sulit.
Saya meyakini bahwa pada akhirnya nanti
sejarah akan memberikan penilaian yang lebih baik terhadap Gus Dur
daripada apa yang dilakukan oleh kaum
elit Indonesia dan media internasional dalam bulan-bulan sebelum DPR
mengeluarkan dua memorandum yang
mengecamnya. Sebagaimana halnya dengan tokoh-tokoh masyarakat, khususnya
pemimpin politik, terdapat banyak aspek mengenai watak Gus Dur yang membuat
orang merasa frustasi dan bingung. Tidak mudah bagi kita untuk mengetahui apakah kita harus melihatnya sebagai tokoh
yang pada dasarnya mempunyai kekurangan dan
mengecewakan; dan yang memberikan banyak janji tetapi tidak dapat
memenuhi janji-janjinya; atau apakah kita harus
bermuarah hati dan mengakui bahwa ia memang melakukan perjuangan yang
sulit dan bahwa prestasi-prestasinya tidak dapat diperolehnya dengan cara yang
mudah.[6]
Greg Barton,
Biografi Gus Dur: The Authorized
Biography of Abdrurahman Wahid,
pent. Lie Huwa, (Yogyakarta, LKiS, 2002), hlm. 483.
VI
أستغفر الله رب البرايا أستغفر الله من الحلطايا
رب زدني علما نافعا ووفقني عملا صالحا
يا رسول الله سلام عليك يارافع الشان والدرج
عطفة ياجيرة العالم ياأهيل الجود والكرم
Kang aran soleh bagus atine
Kerono mapan seri ngelmune
Laku thoriqot lan ma’rifate
Ugo hakekot manjing rasane 2 X
Uripe ayem rumongso aman
Dununge roso tondo yen iman
Sabar narimo najan pas pasan
Kabeh tinakdir saking pengeran 2X
Kang anglakoni sakabehane
Allah kang ngangkat drajate
Senajan ashor toto dhohire
Ananging mulyo maqom drajate 2X [7] *)
Kerono mapan seri ngelmune
Laku thoriqot lan ma’rifate
Ugo hakekot manjing rasane 2 X
Uripe ayem rumongso aman
Dununge roso tondo yen iman
Sabar narimo najan pas pasan
Kabeh tinakdir saking pengeran 2X
Kang anglakoni sakabehane
Allah kang ngangkat drajate
Senajan ashor toto dhohire
Ananging mulyo maqom drajate 2X [7] *)
Penutup
Membongkar genealogi pluralitas Gus Dur,
itulah yang mungkin tepat untuk membaca kemana sesungguhnya arah keenam babak catatan
kaki di atas. Di sisi ini pluraitasnya mulai terbangun sejak dini sampai kata-kata dalam
syair tanpa waton. Pluralitas yang serupa ruang tanpa titik pembatas. Gagasan
pluralitas juga dapat dibaca dalam diri Gus Dur dalam melihat realitas. Konsep
realitas terlentang tanpa sekat. Baginya realitas tidak dibentuk atau
dipaksakan keberadaannya. Realitas
justru tersinergikan dan menjadi bagian dari kekuatan. Pluralitas
konstruksi psikologis dan pengetahuan, konstruksi sosial, realitas dan konsep
menjadi bagian dari gagasan-gagasan
pluralisme yang bertumpuk. Untuk itu, sebaiknya jika pembacaan dimulai dengan
setahap demi setahap, dan tulisan ini mencoba melakukannya.
Wallahu ‘alam bi al-shawab
Padepokan Khadijah –Rabat, 28 September 2012
Daftar Pustaka
Ankersmit, F.R. Refleksi
tentang Sejarah, pent. Dick Hartoko, Jakarta: Gramedia, 1985.
Barton, Greg. Biografi
Gus Dur: The Authorized Biography
of Abdrurahman Wahid, pent. Lie
Huwa, Yogyakarta, LKiS, 2002.
Corbin, Hanry (ed), al-Muallafat al-Falsafiyyah
al-Shufiyyah li Syahb al-Din al-Suhrawardi, jilid. II, Bairut: Mansyurat
al-Jumal, 2012.
Russell, Bertrand. The Problems of Philosophy, Oxford:
Oxford University Press, 1959.
Syafi’I, Muhammad bin Idris, Diwan
al-Imam al-Syafi’i, Bairut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 2003
Piaget, Jean. Psychology and
Intelligence, London: Routledge, 2001.
Wahid, Abdurrahman. Islamku, Islam Kita, Islam Anda, Jakarta: Demokrasi Project, 2011.
Putu Setia, Pidato&Tidur diunduh dari www.tempo.co. pada 26 September
2012
“Majalah tempo berulang tahun ke 41”
diunduh dari www.tempo.co pada 26 September 2012.
goenawanmohamad.com/tag/fukuyama/ diunduh 26
September 2012.
[1]Penulis adalah dosen tetap di program studi Aqidah dan
Filsafat dan Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Makalah ini disampaikan dalam Forum Diskusi Peringatan Seribu Hari Gus
Dur, PCINU Maroko, Kanitra pada 29 September 2012.
[2]Pemikiran pluralis Gus Dur dibangun dari
sebuah proses panjang, proses konstruksi pemikiran, dan konstruksi sosial yang saling menopang.
Untuk memahami gagasan ini dapat dilihat dari teori sosial dan perkembangan kognisi Piaget,
misalnya. Sementara dalam konteks yang
sama, konsep pluralistic value of
epistemology dapat menjadi metode
untuk memahamj bagaimana akar epstemologis Gus Dur. Bacaan lebih lanjut dapat
ditemukan dalam Jean Piaget, Psychology
and Intelligence, (London: Routledge, 2001). Sementara dalam konteks
pluralisme epistemic ini dapat dibaca misalnya dari Henk we de Regst (ed) Scientific
Understanding : Philosophical Perspective, (Pittsburgh ; Pittsburgh University
Press, 2009) hlm. 3. Tentang konsep eksplanans,
eksplanandum, dan subjek. Hal yang serupa dan dapat dijadikan
inspirasi adalah Adonis (Ahmad
Said), al-Tsabit wa al-Mutahawil:
yabhatsu fi al-Ibda’ wa al-Itba inda al-Arab, (Demaskus, ). Kerakusan membaca yang dilakukan oleh Gus
Dur mengakibatkan matanya rusak, namun usaha itu tidak sia-sia karena Allah
sudah menjanjikan kemuliaan bagi orang
yang suka membaca. Allah berfirman dalam QS. 96;3. اقرأ وربك الأكرم . Dari Gus Dur tentang
sepenggal waktu di atas tampak sekali bagaimana sketsa yang rumit untuk dibaca dan pola-pola bersilang
tanpa aturan tetapi membentuk sebuah mozaik yang indah dilihat dan dipahami. Namun,
tetap harus ingat salah satu tulisan tulisan Gunawan Muhammad, “bumi adalah
bumi, ia bukan surga. Ketidak-sempurnaan,
bahkan cacat, berlangsung terus, berselang-seling dengan saat-saat yang
mengagumkan “. Lihat
http://goenawanmohamad.com/tag/fukuyama/ diunduh 26
September 2012.
[3]Sikap keberagamaan,
kepribadian, dan intelektulitas seseorang, bagaimana harus membacanya? Apakah kepribadian dan intelektualitas harus diukur oleh sikap
keberagamaan? Persoalan yang rumit pula
sekaligus sedikit menyerempet ke
masalah-masalah sensitif. Beberapa hal
yang harus diiurai, apakah agama menjadi enentu tunggal atas baik uruknya seserang? Begitu juga dengan
intelektualitas, apakah ia punya kewenangan secara mutlak untuk merumuskan
sebuah konsepsi? Begitu juga dengan peribadi dan kepribadian seseorang apakah
dengan kepribadiannya mnentukan kebabasannya. Semua pertanyaan di atas tidak
dapat memberi jawaban secara mutlak dan
universal. Setiap perspektif akan selalu berangkat dari sudut pandangan dan itu
merupakan jawaban bukan sebuah solusi. Jawaban akan selalu banyak tetapi solusi
yang akan dilakukan adalah tetap satu; yaitu satu pilihan jawaban. Kealpaan
shalat jumat Gus Dur adalah sebuah kealpaan. Lupa, itulah solusi dan pilihan
jawaban yang mungkin tidak puas dan memang tidak memuaskan. Kalau ingin
mendapatkan kepuasan jangan mengambil solusi karena solusi hanyalah sebuah pilihan
tetapi ambilah jawaban karena
jawaban tidak akan tunggal dan jawaban akan memberi berbagai perspektif. Dari
Gus Dur kita tidak akan pernah mendapatkan solusi tetapi justru sebuah
jawaban-jawaban. Bertrand Russell
menulis, “Philosophy is to be studied, not for the sake of any definite answers
to its questions since no definite answers can, as a rule, be known to be true,
but rather for the sake of the questions themselves. ; because these questions
enlarge our conception of what is possible, enrich our intellectual imagination
and diminish the dogmatic assurance which closes the mind against speculation;
but above all because, through the greatness of the universe which philosophy
contemplates, the mind also is rendered great, and becomes capable of that
union with the universe which constitutes its highest good”. Bertrand Russell, The Problems of Philosophy, (Oxford:
Oxford University Press, 1959), hlm.
161.
[4]Bagaimana peristiwa
ini dipahami dari sisi khazanah keislaman?
Beberapa poin pemikiran tokoh-tokoh berikut ini dapat dijadikan bahan perbandingan dan
sekaligus sebagai wawasan lain. Proses transmisi pengetahuan tidak semata linier dan berlandaskan dimensi empiris
dan rasionalitasnya tetapi juga berpola
dan dimensi isyaraqi sebagaimana dikenalkan oleh para theosof
Muslim seperti al-Suhrawardi. Lihat; al-Syhrawardi, “Hikmat al-Isyaraq” dalam
Hanry Corbin (ed), al-Muallafat al-Falsafiyyah al-Shufiyyah li Syahb al-Din
al-Suhrawardi, jilid. II, (Bairut: Mansyurat al-Jumal, 2012). Di
dalam QS. 17: 65 juga dengan tegas
menyatakan فوجدنا عبدا من عبادنا أتيناه رحمة من عندنا وعلمناه من
لدنا علماا Tetapi semuanya harus berusaha, latihan (belajar)
atau riyadhah. Karena,
apapun proses dan konsep ilmunya, proses transmisi pengetahuan tidaklah mudah.
Kita sering mendengarkan dan
memperhatikan betul-betul tetapi tetap saja tidak ada pemahaman. al-Syafi’i mengingatkan dalam qasidah-nya;
شكوت إلي وكيع
سوؤ حفظي...فأرشدني إلى ترك المعاصي
واخبرني بـأن العلـم نـور...ونور الله لا يهدى لعاصـي
واخبرني بـأن العلـم نـور...ونور الله لا يهدى لعاصـي
أخي لن تنال
العلم إلا بستـةٍ...سأنييك عن تفاصيلها
ببيان
ذكاء وحرص واجتهاد وبلغه...وصحبة استاذٍ وطول زمان
ذكاء وحرص واجتهاد وبلغه...وصحبة استاذٍ وطول زمان
محمد بن إدريس
الشافعي, ديوان الإمام الشافعيى، يبروت : دار الفكر العربى, 2003 ص 45
Dari paparan di atas, ada satu tesis
yang meskipun masih dapat diperdebatkan bahwa kemampuan lebih yang dimiliki Gus Dur tidak datang
begitu saja tetapi diusahakan dan dilakukan dengan usha keras dan
sungguh-sungguh..
[5]Itulah salah satu
pokok dan puncak pemikiran Gus Dur (dan NU) tentang hubungan agama dan
negara. Gagasan Gus Dur adalah mainstream
pemikiran tentang agama ketika dihadapkan dengan persoalan modernitas. Gagasan demikian ini memang menguntungkan segelintir kelompok elit yang
nyaman dengan kekuasaan, namun masalahnya, agama juga belum tentu mampu untuk menjadi pioneer bagi
terbentuknya suatu konsep alternatif bagi
negara modern. Dilemma inilah
yang kurang dikembangkan oleh
pemikir modernis Muslim semisal Gus Dur, Nurcholis Madjid dan lainnya. Nation-state
sebagai konsep ideal faktanya selalu
dikuasai oleh kelompok kecil elit
politik yang kurang memperhatikan kesejarahteraan rakyatnya. Pada sisi lain, agama selalu gagal
ketika menjadi yang terdepan dalam
mengurus negara. Oleh karena itu,
kalaupun tidak menjadi pemain utama, agama semestnya harus selalu menjadi kekuatan kritis tanpa harus bermain dalam
politik praktis. Pertanyaan sekarang adalah apakah konsep pemikiran modernis
Gus Dur-ian seperti di atas masih
relevan untuk kondisi sekarang di mana peran agama dan negara sudah sedemikian
kompleks? Itulah pentingnya revitalisasi pemikiran Gus Dur untuk ke
depan. Negara hari ini menjadi sebuah tanda-tanda tipis tentang ruang dengan batas-batas
imajiner. Sementara
agama kadang sering berkamuflasi dalam berbagai warna-warni kuasa dan sumber emosi.
Jauhnya idealitas negara dan agama pada hari ini akibat dari keringnya
proses-proses kreatif yang dilahirkan. Untuk itu, pekerjaan ke depan kita
adalah bagaimana merumus dan menata ulang eksistensi agama dan negara dalam sebuah waktu dan ruang yang sama sekali
berbeda ketika Gus Dur memikirkannya.
[6]Roda kehidupan kadang
berada di atas kadang berada di bawah. Hal yang sama juga dihadapi oleh Gus
Dur. Prestasi politik Gus Dur begitu
cepat naik dan begitu cepat pula turunnya, hanya 22 bulan ia menjabat sebagai
Presiden. Banyak yang menilai bahwa posisi puncak Gus Dur di bidang politik
justru menjadi ikon kegagalannya. Namun,
tidak sedikit pula yang menilai bahwa periodenya yang singkat justru melahirkan
hal-hal monumental. Kita dapat melihat bahwa politik Indonesia di Era Gus Dur
adalah sebuah lakon singkat sebuah drama yang tragis namun tidak
meninggalkan sisi-sisi kemanusiaan di dalamnya. Tragedi dan lelucon selalu hadir dalam drama kepemimpinannya.
Greg Borton berusaha melihat Gus Dur seobjektif mungkin. Ia orang
luar yang membaca Gus Dur dengan rasio dan data. Ia tidak akan menjadi orang
dalam (NU) yang membaca Gus Dur dengan hati dan emosi. Tetapi dari orang luar seperti Greg Barton,
kita disuguh data (biografi) dan diminta
belajar dari keberhasilan dan kegagalan Gus Dur. Untuk itu, Barton tidak pernah
memberi satu titik akhir ketika mendeskripsikan Gus Dur, sebagaimana tercermin
dalam tulisan di atas. ,Gus Dur pada
akhirnya adalah sebuah sejarah. Persoalan sekarang, sejarah tidak cukup untuk sekedar dibaca,
sejarah juga tidak cukup untuk dijadikan pelajaran, sejarah juga perlu dikritik, sejarah juga
perlu dirumus ulang agar terbentuk suatu pemahaman karena sejarah tidak sekedar apa yang sudah dan sedang terjadi
sejarah juga berbicara tentang apa yang
seharusnya terjadi, itulah spirit of history. Mungkin kita akan
kering dalam membaca karya Berton, tetapi tetap penting agar subjektiftas dan wertbeziehung
yang ada dalam sejarah dapat diketahui
posisinya secara jelas. Akhirnya,
belajar membaca sejarah menjadi kunci untuk menempatkan posisi historis
Gus Dur baik untuk pribadi,
komunitasnya, bangsa Indonesia, dan para
musuhnya sekalipun. Tentang sejarah dapat dibaca dalam sebuah buku klasik namun tetap inspiratif,
yaitu karya F.R. Ankersmit, Refleksi tentang Sejarah, pent. Dick
Hartoko, (Jakarta: Gramedia, 1985).
[7]Syair atau puisi religius juga seperti puisi-puisi lainnya menjadi
serangkain kata yang dapat menyentuh dan bahkan
menusuk sanubari. Bahasa puisi menjadi bahasa pembawa pesan
tertentu yang kuat, apalagi ketika
dibaca dengan ritme datar menyentuh dengan nada-nada ringan yang kemudian kadang menghentak. Itulah warisan wisdom
Gus Dur di akhir kehidupannya. Bait-bait
puisi sufistik ini di antaranya menekankan pentingnya membangun pribadi
yang salih. Konsep saleh menjadi khas
Islam. Ia menjelaskan bahwa pribadi salih itu (1) jiwanya baik, (2)
komprehensif dan mapan dalam pengetahuan, (3) punya thariqat, metode atau
manhajiyyah, (4) kaweruh (ma’rifat, connaisance,),
dan (5) dimensi haqiqi selalu ada dalam pikiran dan jiwa. Itulah pribadi yang rausyan fikr kata
Ali syari’ati, atau pribadi kamil (al-insan al-kamil) kata al-‘Amiri,
atau pribadi yang punya khudi kata Mohammad Iqbal. Individu dengan
demikian menjadi faktor utama terciptanya masyarakat yang juga baik.
Pribadi salih akan selalu kuat dalam menghadapi
kompleksitas kehidupan, karena mereka punya rasa dan keyakinan dalam hidup
sehingga menjadi aman. Rasa aman dalam hidup adalah bukti keimanan. Itulah
prinsip dasar yang diimpikan oleh setiap manusia. Baru setelah itu ada
kenyamanan. Kenyamanan yang hakiki
tercermin pada pribadi yang
benar-benar komprehensif dalam menata seluruh aspek kehidupan sehingga mendapat
derajat yang tinggi di hadapan Allah.
Tata dunia yang gemerlap adalah parsialitas kehidupan.
Itulah sebuah ending dari sejarah sebagaimana
dilakukan oleh Gus Dur, sebuah ending yang sangat indah dan menyentuh. Geber
(layar) sudah digulung, wayang dimasukkan kembali ke kotak, lampu dimatikan,
semua senyap. Sudah matikah kehidupan? Tidak, kehidupan akan terus
berjalan.
*) Gus Dur, Syiir Tanpo Waton ,
dari anonymous reference
*Disampaikan pada diskusi PCINU Maroko
dalam peringatan 1000 hari wafatnya K.H Abdurrahman Wahid di kota
Kinetra-Maroko, 29 September 2012.
Comments :
0 komentar to “Catatan Kaki Tentang Gus Dur”
Posting Komentar