*Oleh: Imam Suprayogo Tiga
Banyak penjelasan tentang NU dari pespektif teologis, sehingga yang muncul misalnya tentang faham aqidahnya, fiqh, dan tasawwufnya. Tentu hasilnya berbeda tatkala bacaan itu dari perspektif sosiologis. Maka yang muncul adalah pertanyaan tentang siapa NU ini sebenarnya ketika dilihat dari kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain. Jawaban atas pertanyaan ini kiranya penting untuk memberikan gambaran yang sekiranya mendekati kenyataan tentang siapa sebenarnya NU itu.
Dilihat dari perspektif sosiologis, tatkala menyebut NU, maka yang muncul adalah pertanyaan kemana afiliasi politiknya, apakah ke PKB, yaitu partai politik yang sejak awal berdirinya diprakarsai oleh para ulama dan tokoh NU, atau NU konsisten dengan tekadnya, yaitu kembali ke khithah 26. Menjawab pertanyaan ini jelas tidak mudah. Sebab senyatanya, banyak tokoh NU yang masih berada di PKB, dan bahkan partai ini memang tempatnya orang-orang NU. Sekalipun sebenarnya diakui, tidak sedikit tokoh NU berada di berbagai partai politik lainnya, bahkan juga ada di PDIP, dan lain-lain.
Tatkala membicarakan NU, juga yang terbayang adalah adanya sekian puluh ribu pondok pesantren, madrasah, perguruan tinggi, masjid, langgar, surau, panti asuhan, bank permodalan, dan lain-lain. Lembaga pendidikan, tempat ibadah, pelayanan sosial dan semacamnya itu tersebar di seluruh tanah air, mulai dari di kota-kota, hingga di pelosok desa. Jumlah itu sedemikian banyak, sehingga mungkin sekedar menghitungnya secara tepat belum tentu telah berhasil, dan apalagi hingga melakukan pembinaan secara memadai.
Selain itu, NU juga memiliki kekuatan yang tidak bisa dianggap sederhana, yaitu kulturalnya. Kegiatan diba’an, yasinan, tahlil, istighasah, majlis dzikir, dan lain-lain ada di mana-mana. Kegiatan kultural itu sangat efektif untuk membangun komunikasi dan bahkan memobiliasasi warga NU. Apapun yang terjadi, warga NU tetap menjadi sangat solid. Banyak orang, mungkin secara organisasi, berbeda dengan mainstream NU, akan tetapi lewat kulturalnya itu, mereka suatu saat akan kembali. Oleh karena itu, istilah kembali ke khithah tidak saja dalam politik, tetapi juga dalam kultural ini.
Dulu ketika Gus Dur (alm) diangkat menjadi Ketua PB NU di Situbondo, saya menggambarkan NU bagaikan seekor angsa. Kepalanya kecil, lehernya panjang, dan badannya besar. Antara kepala dan badan angsa dipisahkan oleh leher yang sedemikian panjang. Bayangan saya ketika itu, jarak antara KH Abdurrahman Wahid dengan umatnya,---- wawasan, keilmuan, pandangannya, dan lain-lain tampak sedemikian jauh.
Pada waktu itu, atas hasil penglihatan tersebut, saya tidak bisa membayangkan bagaimana Gus Dur memimpin orang pedesaan di Trenggalek, kampung saya misalnya. Bayangan saya, Gus Dur akan berbicara tentang perdamaian dunia, demokrasi, dan lain-lain, sementara umatnya di Trenggalek hanya akan mengurus diba’an dan istighosah. Sekalipun jarak itu jauh, ternyata komunikasi itu terjadi dengan baik. Gus Dur menjadi kebanggaan dan pikiran-pikirannya justru mampu menggerakkan dan menginspirasi anak-anak muda NU hingga luar biasa. Lewat Gus Dur, anak-anak muda menjadi bangga dengan NU dan begitu pula dengan berbagai simbol-simbolnya.
Masih banyak lagi kekuatan NU yang semakin lama semakin tampak hingga tidak mudah digambarkan. Misalnya, dengan beberapa orang kader yang menduduki jabatan strategis di negerei ini, menjadikan NU pada saat ini memiliki momentum untuk menjadikan dirinya lebih besar dan kokoh. Di tengah-tengah masyarakat yang ditimpa oleh budaya transaksion, --------berbagai partai politik hanya bisa digerakkan oleh uang, maka tidak demikian NU. Organisasi sosial keagamaan ini dengan idiologinya mampu menggerakkan umat tanpa harus bermodalkan dana dan kekuatan besar.
Selain itu, loyalitas dan integritas orang-orang yang mengaku sebagai warga NU terhadap kyai, organisasi, dan juga simbol-simbol lainnya sedemikian kuat. Warga NU masih bisa diajak untuk berjuang dan sekaligus berkorban, dengan memberikan apa saja yang dimiliki untuk kepentingan NU. Kekuatan ini seharusnya dirawat dengan penuh hati-hati dan sungguh-sungguh. Kekeliruan para pemimpin NU dalam membaca apa yang hidup dan berkembang seperti itu akan berdampak besar pada kehidupan NU ke depan.
Kasus-kasus adanya kyai atau ulama secara mendadak ditinggal oleh umatnya seharusnya dijadikan pelajaran untuk merawat dan mengembangkan organisasi ini. Demikian pula, efektifitas kegiatan kultural untuk membangun kohesifitas warga NU tidak kurang pentingnya untuk diperhatikan dalam upaya membangun organisasi dan pembinaan umat. Hal-hal seperti itu akan sangat penting direnungkan untuk menyongsong NU memasuki usia satu abad, yaitu pada tahun 2026 yang akan datang.
Menjelang peringatan usia satu abad, atau 13 tahun lagi, perlu dilakukan inventarisasi, konsulidasi, dan bahkan gerak yang lebih dinamis. Inventasrisasi organisasi diperlukan misalnya, agar sekurang-kurangnya diketahui mana sebenarnya miliknya dan yang bukan, mana potensi dan mana yang hanya asesoris, mana yang hanya simbol dan mana pula kekuatan riil sebagai kekuatan penggerak, dan seterusnya. Kesalahan dalam melihat kekayaannya sendiri akan menaggung rugi. Misalnya, lembaga pendidikan yang dulu dirintis oleh tokoh dan ulama’ NU, hanya oleh karena berubah status dan simbolnya, maka kemudian dianggap bukan miliknya. Itu sekedar contoh kerugian kecil tetapi sebenarnya cukup mendasar. Wallahu a’lam.
Banyak penjelasan tentang NU dari pespektif teologis, sehingga yang muncul misalnya tentang faham aqidahnya, fiqh, dan tasawwufnya. Tentu hasilnya berbeda tatkala bacaan itu dari perspektif sosiologis. Maka yang muncul adalah pertanyaan tentang siapa NU ini sebenarnya ketika dilihat dari kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain. Jawaban atas pertanyaan ini kiranya penting untuk memberikan gambaran yang sekiranya mendekati kenyataan tentang siapa sebenarnya NU itu.
Dilihat dari perspektif sosiologis, tatkala menyebut NU, maka yang muncul adalah pertanyaan kemana afiliasi politiknya, apakah ke PKB, yaitu partai politik yang sejak awal berdirinya diprakarsai oleh para ulama dan tokoh NU, atau NU konsisten dengan tekadnya, yaitu kembali ke khithah 26. Menjawab pertanyaan ini jelas tidak mudah. Sebab senyatanya, banyak tokoh NU yang masih berada di PKB, dan bahkan partai ini memang tempatnya orang-orang NU. Sekalipun sebenarnya diakui, tidak sedikit tokoh NU berada di berbagai partai politik lainnya, bahkan juga ada di PDIP, dan lain-lain.
Tatkala membicarakan NU, juga yang terbayang adalah adanya sekian puluh ribu pondok pesantren, madrasah, perguruan tinggi, masjid, langgar, surau, panti asuhan, bank permodalan, dan lain-lain. Lembaga pendidikan, tempat ibadah, pelayanan sosial dan semacamnya itu tersebar di seluruh tanah air, mulai dari di kota-kota, hingga di pelosok desa. Jumlah itu sedemikian banyak, sehingga mungkin sekedar menghitungnya secara tepat belum tentu telah berhasil, dan apalagi hingga melakukan pembinaan secara memadai.
Selain itu, NU juga memiliki kekuatan yang tidak bisa dianggap sederhana, yaitu kulturalnya. Kegiatan diba’an, yasinan, tahlil, istighasah, majlis dzikir, dan lain-lain ada di mana-mana. Kegiatan kultural itu sangat efektif untuk membangun komunikasi dan bahkan memobiliasasi warga NU. Apapun yang terjadi, warga NU tetap menjadi sangat solid. Banyak orang, mungkin secara organisasi, berbeda dengan mainstream NU, akan tetapi lewat kulturalnya itu, mereka suatu saat akan kembali. Oleh karena itu, istilah kembali ke khithah tidak saja dalam politik, tetapi juga dalam kultural ini.
Dulu ketika Gus Dur (alm) diangkat menjadi Ketua PB NU di Situbondo, saya menggambarkan NU bagaikan seekor angsa. Kepalanya kecil, lehernya panjang, dan badannya besar. Antara kepala dan badan angsa dipisahkan oleh leher yang sedemikian panjang. Bayangan saya ketika itu, jarak antara KH Abdurrahman Wahid dengan umatnya,---- wawasan, keilmuan, pandangannya, dan lain-lain tampak sedemikian jauh.
Pada waktu itu, atas hasil penglihatan tersebut, saya tidak bisa membayangkan bagaimana Gus Dur memimpin orang pedesaan di Trenggalek, kampung saya misalnya. Bayangan saya, Gus Dur akan berbicara tentang perdamaian dunia, demokrasi, dan lain-lain, sementara umatnya di Trenggalek hanya akan mengurus diba’an dan istighosah. Sekalipun jarak itu jauh, ternyata komunikasi itu terjadi dengan baik. Gus Dur menjadi kebanggaan dan pikiran-pikirannya justru mampu menggerakkan dan menginspirasi anak-anak muda NU hingga luar biasa. Lewat Gus Dur, anak-anak muda menjadi bangga dengan NU dan begitu pula dengan berbagai simbol-simbolnya.
Masih banyak lagi kekuatan NU yang semakin lama semakin tampak hingga tidak mudah digambarkan. Misalnya, dengan beberapa orang kader yang menduduki jabatan strategis di negerei ini, menjadikan NU pada saat ini memiliki momentum untuk menjadikan dirinya lebih besar dan kokoh. Di tengah-tengah masyarakat yang ditimpa oleh budaya transaksion, --------berbagai partai politik hanya bisa digerakkan oleh uang, maka tidak demikian NU. Organisasi sosial keagamaan ini dengan idiologinya mampu menggerakkan umat tanpa harus bermodalkan dana dan kekuatan besar.
Selain itu, loyalitas dan integritas orang-orang yang mengaku sebagai warga NU terhadap kyai, organisasi, dan juga simbol-simbol lainnya sedemikian kuat. Warga NU masih bisa diajak untuk berjuang dan sekaligus berkorban, dengan memberikan apa saja yang dimiliki untuk kepentingan NU. Kekuatan ini seharusnya dirawat dengan penuh hati-hati dan sungguh-sungguh. Kekeliruan para pemimpin NU dalam membaca apa yang hidup dan berkembang seperti itu akan berdampak besar pada kehidupan NU ke depan.
Kasus-kasus adanya kyai atau ulama secara mendadak ditinggal oleh umatnya seharusnya dijadikan pelajaran untuk merawat dan mengembangkan organisasi ini. Demikian pula, efektifitas kegiatan kultural untuk membangun kohesifitas warga NU tidak kurang pentingnya untuk diperhatikan dalam upaya membangun organisasi dan pembinaan umat. Hal-hal seperti itu akan sangat penting direnungkan untuk menyongsong NU memasuki usia satu abad, yaitu pada tahun 2026 yang akan datang.
Menjelang peringatan usia satu abad, atau 13 tahun lagi, perlu dilakukan inventarisasi, konsulidasi, dan bahkan gerak yang lebih dinamis. Inventasrisasi organisasi diperlukan misalnya, agar sekurang-kurangnya diketahui mana sebenarnya miliknya dan yang bukan, mana potensi dan mana yang hanya asesoris, mana yang hanya simbol dan mana pula kekuatan riil sebagai kekuatan penggerak, dan seterusnya. Kesalahan dalam melihat kekayaannya sendiri akan menaggung rugi. Misalnya, lembaga pendidikan yang dulu dirintis oleh tokoh dan ulama’ NU, hanya oleh karena berubah status dan simbolnya, maka kemudian dianggap bukan miliknya. Itu sekedar contoh kerugian kecil tetapi sebenarnya cukup mendasar. Wallahu a’lam.
