Our Partners

Gunakan GSunni Mesin Pecari Aswaja, agar tidak tersesat di situs2 wahabi.. klik sini..

PCINU Maroko

get this widget here

Resources

Catwidget2

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget1

Pages

Catwidget4

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget3

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Minggu, 14 Oktober 2012

Memahami NU dari Perspektif Sosiologis


*Oleh: Imam Suprayogo Tiga
Banyak  penjelasan tentang NU  dari pespektif teologis, sehingga yang muncul misalnya tentang faham aqidahnya, fiqh,  dan tasawwufnya. Tentu hasilnya berbeda tatkala bacaan itu dari perspektif sosiologis. Maka  yang muncul adalah pertanyaan  tentang siapa NU ini sebenarnya ketika dilihat dari kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain.  Jawaban atas pertanyaan  ini kiranya  penting  untuk memberikan gambaran yang  sekiranya mendekati kenyataan tentang  siapa sebenarnya NU itu.

Dilihat dari perspektif  sosiologis,  tatkala  menyebut  NU,  maka yang muncul adalah pertanyaan kemana afiliasi politiknya, apakah ke PKB, yaitu partai politik yang  sejak awal  berdirinya diprakarsai oleh para ulama dan tokoh NU, atau  NU  konsisten dengan  tekadnya, yaitu kembali ke khithah 26.  Menjawab pertanyaan ini jelas tidak mudah. Sebab senyatanya, banyak tokoh NU yang masih berada di PKB,   dan bahkan partai ini memang tempatnya orang-orang NU. Sekalipun sebenarnya diakui, tidak sedikit tokoh NU berada di berbagai partai politik lainnya, bahkan juga ada di PDIP, dan lain-lain.

Tatkala membicarakan NU, juga yang terbayang adalah adanya sekian puluh ribu  pondok pesantren, madrasah,  perguruan tinggi, masjid,  langgar, surau, panti asuhan, bank permodalan, dan lain-lain. Lembaga pendidikan, tempat ibadah, pelayanan sosial dan semacamnya itu tersebar di seluruh tanah air, mulai dari di kota-kota, hingga di pelosok desa.  Jumlah itu sedemikian banyak, sehingga mungkin sekedar  menghitungnya  secara tepat  belum tentu telah berhasil,  dan apalagi hingga melakukan pembinaan secara memadai.

Selain itu, NU juga memiliki kekuatan yang tidak  bisa dianggap  sederhana, yaitu kulturalnya. Kegiatan diba’an, yasinan, tahlil, istighasah, majlis dzikir, dan lain-lain ada di mana-mana.  Kegiatan kultural itu sangat efektif untuk membangun komunikasi dan bahkan memobiliasasi warga NU. Apapun yang terjadi, warga NU tetap menjadi sangat solid.  Banyak orang, mungkin secara organisasi,  berbeda dengan mainstream NU, akan tetapi lewat kulturalnya itu, mereka suatu saat  akan kembali. Oleh karena itu,  istilah kembali ke khithah tidak saja dalam politik, tetapi juga dalam kultural ini.

Dulu  ketika  Gus Dur (alm) diangkat menjadi Ketua PB NU di Situbondo, saya menggambarkan NU bagaikan seekor angsa. Kepalanya kecil, lehernya panjang, dan badannya besar. Antara kepala dan badan angsa  dipisahkan oleh leher yang sedemikian panjang.  Bayangan saya ketika itu, jarak antara  KH Abdurrahman Wahid dengan umatnya,---- wawasan, keilmuan,  pandangannya, dan lain-lain  tampak sedemikian jauh.

Pada waktu itu, atas hasil penglihatan  tersebut, saya  tidak bisa membayangkan bagaimana Gus Dur memimpin orang pedesaan di Trenggalek, kampung saya misalnya.  Bayangan saya, Gus Dur akan berbicara tentang perdamaian dunia, demokrasi,  dan lain-lain, sementara umatnya di Trenggalek hanya  akan mengurus diba’an dan istighosah.  Sekalipun jarak itu jauh,  ternyata komunikasi itu terjadi dengan baik.  Gus Dur menjadi kebanggaan dan pikiran-pikirannya justru  mampu menggerakkan dan menginspirasi anak-anak muda  NU hingga  luar biasa.  Lewat Gus Dur,  anak-anak muda  menjadi bangga dengan NU dan begitu pula  dengan berbagai simbol-simbolnya.

Masih banyak lagi kekuatan NU yang semakin lama semakin tampak hingga tidak mudah digambarkan. Misalnya,  dengan beberapa orang kader  yang  menduduki jabatan strategis di negerei ini,  menjadikan NU  pada saat ini memiliki momentum untuk menjadikan dirinya lebih besar dan kokoh. Di tengah-tengah masyarakat yang ditimpa oleh budaya transaksion, --------berbagai partai politik hanya bisa digerakkan oleh uang,  maka tidak demikian NU. Organisasi sosial  keagamaan ini  dengan  idiologinya mampu menggerakkan  umat tanpa harus bermodalkan dana dan kekuatan besar.

Selain itu, loyalitas dan integritas orang-orang yang mengaku sebagai warga NU  terhadap kyai, organisasi, dan juga simbol-simbol lainnya  sedemikian kuat. Warga NU masih bisa diajak untuk berjuang dan sekaligus  berkorban, dengan memberikan apa saja yang dimiliki untuk kepentingan NU. Kekuatan ini  seharusnya dirawat dengan penuh hati-hati dan sungguh-sungguh. Kekeliruan para pemimpin NU dalam membaca apa yang hidup dan berkembang seperti   itu  akan berdampak besar pada kehidupan NU ke depan.

Kasus-kasus adanya kyai atau ulama secara mendadak ditinggal oleh umatnya  seharusnya dijadikan pelajaran untuk merawat dan mengembangkan organisasi ini. Demikian pula, efektifitas  kegiatan kultural untuk  membangun kohesifitas warga NU tidak kurang pentingnya  untuk diperhatikan dalam upaya membangun organisasi dan pembinaan umat. Hal-hal seperti itu akan sangat penting direnungkan untuk menyongsong NU memasuki usia satu abad, yaitu pada tahun 2026 yang akan datang.

Menjelang peringatan usia satu abad, atau 13  tahun lagi, perlu dilakukan inventarisasi, konsulidasi,  dan bahkan gerak yang lebih dinamis. Inventasrisasi organisasi diperlukan misalnya,  agar  sekurang-kurangnya diketahui mana sebenarnya miliknya dan yang bukan, mana potensi dan mana yang hanya asesoris, mana yang hanya simbol dan mana pula  kekuatan riil  sebagai kekuatan penggerak, dan seterusnya. Kesalahan dalam melihat kekayaannya sendiri akan menaggung rugi.  Misalnya,  lembaga pendidikan yang dulu dirintis oleh tokoh dan ulama’ NU, hanya oleh karena berubah status dan simbolnya, maka kemudian dianggap bukan miliknya.  Itu sekedar contoh kerugian kecil tetapi sebenarnya cukup mendasar. Wallahu a’lam.

Kamis, 11 Oktober 2012

Pancasila dan Keluwesan Ajaran Islam

Oleh: Ali Syahbana*

'Demam' Pancasila biasanya muncul saat momen-momen seperti; Hari Lahir Pancasila, Hari Kesaktian Pancasila atau pelbagai seminar kebangsaan yang bernuansa kebangsaan. Kalau mau dihitung, mungkin sudah ratusan -bahkan lebih- tulisan atau artikel yang berkeliaran membahas Pancasila baik yang bersinggungan dengan sisi sosial, agama dan lain sebagainya. Nah, tulisan ini pun, meski sekedar estafet dari kebanyakan artikel yang beredar, tak pelak 'ikut-ikutan' mencoba meng-ketengahkan Pancasila versi ke-penulisan dan gaya penyampaian penulis sendiri.

Seperti kita ketahui, Pancasila sebagaimana ditetapkan dan tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Ia merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia yang seolah-olah merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia.

Namun menjadi ironis saat belakangan ini banyak bermunculan oknum-oknum atau gerakan-gerakan yang kembali berusaha menjungkalkan Pancasila dan meruntuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI. Mereka berjuang untuk merubah tatanan negara menjadi Khilafah Islamiyah, pendirian negara Islam, pelaksanaan syariat Islam dan sebagainya. Salah satu alasan mereka adalah pandangan dan keyakinan bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan umat manusia.

Lantas, apakah Pancasila sendiri tidak mencerminkan nilai-nilai Islam? Sehingga -menurut mereka- perlu dikubur dan dilenyapkan dari permukaan Indonesia.

Jika kita perhatikan sejarah, Pancasila tidak hanya dirumuskan oleh pemimpin nasional. Namun ada juga tokoh-tokoh bangsa yang berstatus ulama yang urun rembug dalam perumusannya termasuk yang dari kalangan Nahdlatul Ulama kaliber KH Wahid Hasyim dan kalangan lainnya semisal Muhammadiyah.

Dengan keberadaan ulama-ulama tersebut tentu berdampak pada wujud rumusan Pancasila yang islami, pancasila yang secara praktis menampilkan ke-rahmatan lil'alamin ajaran Islam. Bukan Pancasila yang sepi dari nilai-nilai keislaman.

Selain itu, Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, sebenarnya memiliki keselarasan dengan ajaran Islam sebagai agama mayoritas penduduk bangsa Indonesia. Pancasila telah mampu  menopang dan mengakomodir berbagai suku, ras, dan agama yang ada di Indonesia. Keselarasan pancasila dengan ajaran Islam bisa dibuktikan denga klop-nya sila-sila Pancasila dengan apa yang telah tergaris dalam al-Qur’an.

Sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa misalkan, secara luas mencerminkan nilai ketauhidan dan kebebasan dalam berkeyakinan. Warga negara Indonesia diberikan kebebasan untuk memilih satu kepercayaan, dari beberapa kepercayaan yang diakui oleh negara.

Dalam Islam, Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan. Semisal QS. Al-Baqarah ayat 163 yang memiliki arti; "Dan Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa . Tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Murah, lagi Maha Penyayang". 

Dalam kacamata Islam, Tuhan adalah Allah semata, tidak ada tuhan selain Dia. Akan tetapi jika ada keyakinan yang menyatakan Tuhan mereka bukanlah Tuhan sebagaimana yang diyakini umat islam, maka ajaran Islam tidak menentang keyakinan tersebut sebab tidak ada paksaan bagi mereka untuk beragama Islam. Hal ini tentu sesuai dengan rumusan universal Al Qur'an yang berbunyi; “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 256).

Mayoritas kitab tafsir Al Qur'an menyebutkan akan adanya suatu riwayat tentang sebab turunnya ayat ini, yaitu seorang lelaki bernama Abu Al-Husain dari keluarga Bani Salim, Ibnu Auf, mempunyai dua orang anak lelaki yang telah memeluk agama Nasrani sebelum Nabi Muhammad saw. diutus Tuhan sebagai nabi. Kemudian kedua anak itu datang ke Madinah (setelah datangnya agama Islam), maka ayah mereka selalu meminta agar mereka masuk agama Islam dan ia berkata kepada mereka, “Saya tidak akan membiarkan kamu berdua, hingga kamu masuk Islam.” Mereka lalu mengadukan perkaranva itu kepada Rasulullah saw. dan ayah mereka berkata, “Apakah sebagian dari tubuhku akan masuk neraka?” Maka turunlah ayat ini, lalu ayah mereka membiarkan mereka itu tetap dalam agama semula.

Sila kedua yang berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab bisa bermakna bahwa melalui misi bangunan karakter keadilan dan keberadaban manusia, bangsa Indonesia telah meletakkan penghargaan dan penghormatan hak-hak yang melekat pada tiap-tiap pribadi manusia.

Al Qur'an sendiri dengan ayat-ayatnya yang bersifat universal, mencakup segala aspek tanpa kenal zaman wal makan, relevan sampai kapanpun dan dimanapun, telah banyak mengajarkan umatnya untuk bersikap adil, berakhlak mulia, saling menghormati dan menghargai antar sesama. Hal ini salah satunya tercermin dalam surat Al Maidah ayat 8 yang memiliki makna; "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Sila ketiga berbunyi Persatuan Indonesia bermakna bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa bermisikan menyatukan seluruh elemen di Indonesia, bangsa yang satu dan bangsa yang menegara. Dan telah ma'lum dalam konsep Islam akan wujud ajaran untuk selalu menjaga persatuan. Baik persatuan antar umat islam sendiri dengan bingkai "mu'min ikhwah" nya maupun dengan non-islam dalam bingkai kemanusiaannya. (baca missal: QS. Ali Imran: 103 dan QS. Al-Hujuraat: 10).

Begitu juga dengan sila ke empat yang mengedepankan asas musyawarah dengan didasari hikmat kebijaksanaan, pun selaras dengan tatanan islam yang mengajarkan untuk bersikap bijaksana dalam mengatasi permasalahan kehidupan dan bermusyawarah dalam suasana yang demokratis. Dalam surat Ali Imran ayat 159 Allah menegaskan yang maknanya; "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya."

Cerminan nilai-nilai keislaman juga melekat pada sila kelima yang menekankan adanya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam islam teramat banyak konsep-konsep yang bermuatan keadilan. Baik adil terhadap diri sendiri, adil terhadap orang lain, kepada alam ataupun lingkungan. Misi besar Islam yang menyejahterakan umatnya baik di dunia maupun di akhirat tentu belum bisa optimal tanpa diterapkannya nilai-nilai keadilan. Inilah yang menjadikan islam memerintahkan umatnya untuk berlaku adil dalam segala hal. (lihat QS. an-Nahl ayat 90).

Walhasil, Pancasila merupakan bangunan dasar atau ideologi negara yang sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Islam yang luwes dengan rumusan-rumasan globalnya, dengan sifat rahmat bagi penghuni alamnya (rahmatan lil 'alamin) membuat Pancasila bisa 'nyempil' di dalamnya. Dengan begitu, patutlah kita sebagai bagian dari warga negara Indonesia senantiasa berusaha melestarikan dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semoga dengan hal tersebut kita menjadi manusia yang secara tidak langsung mengamalkan nilai-nilai universal ajaran islam. Menjadi umat yang berislam secara praktis, bukan sekedar teoritis atau secara teori belaka. Wallahua'lam bis shawab.
* Penulis adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang sedang belajar di Universitas Ibn Tofail Kenitra, Maroko

Catatan Kaki Tentang Gus Dur


(Mencari Nalar Pluralisme)
Oleh : H. zuhri[1]
Pendahuluan
Membaca Gus Dur dapat dilakukan dari  dua sisi. Pertama dari sisi subjek pembacanya. Sisi ini terdiri dari ; (a) pembaca subjektif, pembaca ini biasanya ada di dalam komunitas Gus Dur-ian,  (b) pembaca ilmiah dan objektif. pembaca ini berada di luar objek yang dibaca, (c) pembaca subjektif yang antipati terhadap Gus Dur, dan (d) pembaca simpatik terhadap Gus Dur, tetapi  sekedar simpatik yang belum dapat keluar dari sekedar simpatik dan rasa kagumnya semata. Berbagai tipe pembaca ini memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Dari sisi kelebihan tentu tidak perlu dikupas di sini karena mudah untuk diidentifikasi. Sisi kelemahan penting dideskripsikan guna perbaikan. Kelemahan kelompok pertama dapat memberikan efek pada kemungkinan lahirnya mitologi Gus Dur. Bagi kelompok kedua, realitas dan rasionalitas atas Gus Dur ternyata tidak cukup untuk sekedar dilihat dari perspektif ilmiah. Sedangkan kelompok  ketiga, hilangnya objek yang diantipati atau  bahkan dimusuhi mengakibatkan emosi  yang tidak tersampaikan. Sedangkan bagi simpatisan,  kemungkinan tetap sekedar menjadi simpatik meski beralih ke simpatik sejarah.     
Kedua, dari sisi objek pembacanya yaitu Gus Dur sendiri.  Sekarang, Gus  Dur telah menjadi sebuah petanda, teks, dan/atau  sejarah.  Baik petanda, teks, dan/atau sejarah, ketiganya  membutuhkan alat pembaca yaitu tafsir atau hermenutika agar mendapatkan sebuah pemahaman.  Sebagai petanda, Gus selalu menjadi sebuah simbol bagi para pembacanya untuk sebuah tanda-tanda tertentu seperti, kerukunan, kearifan, bapak bangsa, pluralisme, atau bahkan mungkin otoritarianisme. Sebagai teks, Gus Dur akan selalu  menjadi rangkaian kata-kalimat yang tersusun  dan mengalir tidak ada henti dengan problematika internalnya yang khas. Sebagai sejarah, Gus Dur akan menjadi rangkaian nalar kolektif-imajinatif yang dapat menginspirasi.
Ketika dua sisi di atas dapat  diketahui, persolaannya, sampai kapan ‘pembacaan’ atas Gus Dur  itu ada ? jangan-jangan setelah nyewu  ‘pembacaan’ Gus Dur sudah tidak ada lagi? Asumsi ini sah saja  karena mungkin ada yang berpendapat, ngapain sih kok repot-repot ‘membaca’ Gus Dur ? Ketokohan dan kebesaran Gus Dur mungkin akan menjadikan energi tersendiri untuk membacanya. Tetapi,  sejarah  harus berjalan dan bahkan melindas anak cucu sejarah sendiri demi sejarah masa depan yang akan menjadi kepastian. Penulis tidak tahu apakah catatan kaki di bawah ini bagian dari energi kebesaran Gus Dur atau sebaliknya; kepastian sejarah yang akan pelan-pelan melupakannya. Silahkan menilai sendiri.    

Babak-babak Kehidupan
I
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma’sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya. Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’. Pada saat yang sama,  Gus Dur  mulai mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato, dan masih banyak lainnya.[2]
(sepenggal biografi Gus Dur  dari berbagai sumber)



II
CETHAK-cethok-cethak-cethok, grrredek…. Lelaki berperawakan tambun itu tampak asyik duduk di salah satu meja redaksi yang berkantor di Proyek Senen, Jakarta Pusat, pada suatu Jumat. Pria berkacamata minus—saking tebalnya sampai kayak stoples—itu sedang asyik memencet-mencet tombol mesin ketik di meja Syu’bah Asa, redaktur kolom majalah Tempo pada 1970-an.

Tak lama berselang, si empunya meja, Syu’bah, datang dari salat Jumat di Masjid Istiqlal. Ia langsung menghampiri lelaki yang di kalangan awak redaksi kala itu akrab dipanggil Cak Dur ini. Syu’bah dan Abdurrahman Wahid, nama lengkap Cak Dur, yang oleh kalangan luas kerap disapa Gus Dur, berbincang-bincang sebentar. Lalu Syu’bah meninggalkan mejanya dengan senyum terkembang.

Bambang Bujono, salah satu redaktur di Majalah Tempo saat itu, bertanya, ”Mas, kenapa Anda senyam-senyum dari tadi?” Sambil menundukkan kepala, Syu’bah berbisik, ”Dia (Gus Dur) kelihatannya terlalu asyik mengetik kolom sampai lupa tidak Jumatan.” ”Mana mungkin,” kata Bambang Bujono, yang biasa disapa Bambu, ”Bukankah dia kemari justru kalau hendak Jumatan? Kolomnya saja sudah hampir selesai.”
[3]
“Majalah tempo berulang tahun ke 41” diunduh dari www.tempo.co  pada 26  September 2012.

III
Jika ada orang yang bisa mendengarkan pidato atau mendengarkan orang ngobrol padahal dia tidur, itu orang yang luar biasa. Apalagi sudah mendengkur, tetap mendengar pula. Adakah orang yang diberi kemampuan seperti itu?
Ada, tapi saya tak menemukan lebih dari satu. Dia adalah Presiden Indonesia yang keempat di republik yang berbudaya ini: Abdurrahman Wahid. Dengan beribu-ribu maaf--nuwun sewu--saya harus menyebutkan junjungan saya yang sudah lama berada di sisi Tuhan ini. Saya akrab dengan beliau, tentu saja ketika beliau belum menjadi Presiden. Maklum, pada 1980-an, saat beliau menulis kolom untuk Majalah Tempo, saya yang menyediakan mesin ketik dan kertas.
Suatu ketika--ini sudah tahun 1990-an--beliau ikut di mobil saya bersama Wahyu Muryadi dalam perjalanan ke Ciganjur. Mulanya kami asyik ngobrol bertiga. Tiba-tiba Gus Dur tidur dan mendengkur, saya dan Wahyu menghentikan obrolan. “Junjungan kita capek, biar istirahat, kita tutup diskusi,” kata Wahyu. Eh, tiba-tiba Gus Dur berhenti mendengkur, “Sampean ngomong saja terus, nanti saya jawab.” Kami terbahak, dan Gus Dur mengaku mendengar apa yang kami obrolkan. [4]
Putu Setia, Pidato&Tidur  diunduh dari www.tempo.co.  pada 26 September 2012
IV
Perkembangan sejarah setelah itu menunjukkan bahwa agama Islam tidak berkurang peranannya dalam kehidupan bangsa, walaupun beberapa kali usaha merubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berhasil digagalkan, seperti dalam Dewan Konstituante di tahun 1956-1959. Demikian juga beberapa kali pemberontakan bersenjata terhadap NKRI dapat digagalkan seperti DI-TII dan APRA (Bandung 1950). Ini tidak berarti Islam dibatasi ruang geraknya dalam negara, seperti terbukti dari kiprah yang dilakukan oleh Al-Azhar di Kairo. Siapapun tidak dapat menyangkal bangsa Indonesia adalah memiliki jumlah terbesar kaum muslimin. Ini berbeda dari bangsa- bangsa lain, Indonesia justru memiliki jumlah yang sangat besar kaum “muslimin statistik” atau lebih di kenal dengan sebutan “muslim abangan”. Walaupun demikian, kaum muslim yang taat beragama dengan nama “kaum santri” masih merupakan minoritas. Karena itu, alangkah tidak bijaksananya sikap ingin memaksakan NI atas diri mereka. Lalu, bagaimana dengan ayat kitab suci al-Qurân yang di sebutkan diatas? Jawabnya, kalau tidak ada NI untuk menegakkan hukum agama maka masyarakatlah yang berkewajiban. Dalam hal ini, berlaku juga sebuah kenyataan sejarah yang telah berjalan 1000 tahun lamanya yaitu penafsiran ulang (re-interprensi) atas hukum agama yang ada. Dahulu kita berkeberatan terhadap celana dan dasi, karena itu adalah pakaian orang-orang non-muslim. Sebuah diktum mengemukakan, “Barang siapa menyerupai sesuatu kaum ia adalah sebagian dari mereka” (man tasyâbaha bi qaumin fahuwa min hum).  [---] Karena itu, kita lalu mengerti mengapa para wakil berbagai gerakan Islam dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia  (PPKI) memutuskan untuk menghilangkan Piagam Jakarta dari UUD 1945. Mereka inilah yang berpandangan jauh, dapat melihat bersungguhnya kaum muslim menegakkan ajaranajaran agama mereka tanpa bersandar kepada negara. Dengan demikian, mereka menghidupi baik agama maupun negara. Sikap inilah yang secara gigih dipertahankan Nahdlatul Ulama (NU), sehingga agama Islam terus berkembang dan hidup di  negeri kita.[5] 
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam  Kita, Islam Anda,  (Jakarta: Demokrasi Project, 2011), hlm. 107.
V
Ketika  DPR memutuskan untuk mengeluarkan memorandum kedua pada akhir April 2001 reputasi Gus Dur telah mencapai tingakt  paling rendah secara nasional. Sementara disepakati oleh hamper semua orang bahwa masa kepresidenan Gus Dur memang mengecewakan. Sebenarnya tidaklah mudah untuk menilai sejauhmana hal ini disebabkan oleh kelemahan pribadi  Gus Dur  dan sejauhmana  orang secara realistis menaruh harapan besar terhadap dirinya mengingat bahwa peralihan di Indonesia dari pemerintahan otoriter yang ditopang oleh tentara  ke demokrasi merupakaan suatu hal yang  sulit. 

Saya meyakini bahwa pada akhirnya nanti sejarah akan memberikan penilaian yang lebih baik terhadap Gus Dur daripada  apa yang dilakukan oleh kaum elit Indonesia dan media internasional dalam bulan-bulan sebelum DPR mengeluarkan dua memorandum   yang mengecamnya. Sebagaimana halnya dengan tokoh-tokoh masyarakat, khususnya pemimpin politik, terdapat banyak aspek mengenai watak Gus Dur yang membuat orang merasa frustasi dan bingung. Tidak mudah bagi kita untuk mengetahui  apakah kita harus melihatnya sebagai tokoh yang pada dasarnya mempunyai kekurangan dan  mengecewakan; dan yang memberikan banyak janji tetapi tidak dapat memenuhi janji-janjinya; atau apakah kita harus  bermuarah hati dan mengakui bahwa ia memang melakukan perjuangan yang sulit dan bahwa prestasi-prestasinya tidak dapat diperolehnya dengan cara yang mudah.[6]
 Greg Barton,  Biografi Gus Dur: The Authorized  Biography of  Abdrurahman Wahid, pent. Lie Huwa, (Yogyakarta, LKiS, 2002), hlm. 483.

VI
أستغفر الله رب البرايا    أستغفر الله من الحلطايا
رب زدني علما نافعا      ووفقني عملا صالحا
يا رسول الله سلام عليك      يارافع الشان والدرج
عطفة ياجيرة العالم        ياأهيل الجود والكرم
Kang aran soleh bagus atine
Kerono mapan seri ngelmune
Laku thoriqot lan ma’rifate
Ugo hakekot manjing rasane 2 X

Uripe ayem rumongso aman
Dununge roso tondo yen iman
Sabar narimo najan pas pasan
Kabeh tinakdir saking pengeran 2X

Kang anglakoni sakabehane
Allah kang ngangkat drajate
Senajan ashor toto dhohire
Ananging mulyo maqom drajate 2X [7] *)
Penutup
Membongkar genealogi pluralitas Gus Dur, itulah yang mungkin tepat untuk membaca kemana sesungguhnya arah keenam babak catatan kaki di atas. Di sisi ini pluraitasnya mulai terbangun sejak dini sampai kata-kata dalam syair tanpa waton. Pluralitas yang serupa ruang tanpa titik pembatas.   Gagasan pluralitas juga dapat dibaca dalam diri Gus Dur dalam melihat realitas. Konsep realitas terlentang tanpa sekat. Baginya realitas tidak dibentuk atau dipaksakan keberadaannya. Realitas  justru tersinergikan dan menjadi bagian dari kekuatan. Pluralitas konstruksi psikologis dan pengetahuan, konstruksi sosial, realitas dan konsep menjadi  bagian dari gagasan-gagasan pluralisme yang bertumpuk. Untuk itu, sebaiknya jika pembacaan dimulai dengan setahap demi setahap, dan tulisan ini mencoba melakukannya.         
Wallahu ‘alam bi al-shawab
Padepokan Khadijah –Rabat,  28 September 2012 

Daftar Pustaka
Ankersmit, F.R.  Refleksi tentang Sejarah, pent. Dick Hartoko, Jakarta: Gramedia, 1985. 
Barton,  Greg.  Biografi Gus Dur: The Authorized  Biography of  Abdrurahman Wahid, pent. Lie Huwa, Yogyakarta, LKiS, 2002.
Corbin,  Hanry (ed), al-Muallafat al-Falsafiyyah al-Shufiyyah li Syahb al-Din al-Suhrawardi, jilid. II, Bairut: Mansyurat al-Jumal, 2012.    
Russell, Bertrand.  The Problems of Philosophy, Oxford: Oxford University Press, 1959.
Syafi’I, Muhammad bin Idris, Diwan al-Imam al-Syafi’i, Bairut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 2003
Piaget, Jean. Psychology and Intelligence, London: Routledge, 2001.
Wahid, Abdurrahman.  Islamku, Islam  Kita, Islam Anda,  Jakarta: Demokrasi Project, 2011.
Putu Setia, Pidato&Tidur  diunduh dari www.tempo.co. pada 26 September 2012
“Majalah tempo berulang tahun ke 41” diunduh dari www.tempo.co  pada 26  September 2012.
goenawanmohamad.com/tag/fukuyama/ diunduh 26 September 2012.


[1]Penulis adalah dosen tetap di program studi Aqidah dan Filsafat dan Pascasarjana  UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Makalah ini disampaikan dalam  Forum Diskusi Peringatan Seribu Hari Gus Dur,  PCINU Maroko,  Kanitra pada 29 September 2012.   
[2]Pemikiran pluralis Gus Dur dibangun dari  sebuah proses panjang, proses konstruksi pemikiran,  dan konstruksi sosial yang saling menopang. Untuk memahami gagasan ini dapat dilihat dari teori  sosial dan perkembangan kognisi Piaget, misalnya. Sementara dalam  konteks yang sama, konsep  pluralistic value of epistemology  dapat menjadi metode untuk memahamj bagaimana akar epstemologis Gus Dur. Bacaan lebih lanjut dapat ditemukan dalam  Jean Piaget, Psychology and Intelligence, (London: Routledge, 2001). Sementara dalam konteks pluralisme epistemic ini dapat dibaca misalnya dari   Henk we de Regst (ed) Scientific Understanding : Philosophical Perspective,  (Pittsburgh ; Pittsburgh University Press, 2009) hlm. 3. Tentang  konsep eksplanans, eksplanandum, dan subjek. Hal yang serupa dan dapat dijadikan inspirasi adalah  Adonis (Ahmad Said),  al-Tsabit wa al-Mutahawil: yabhatsu fi al-Ibda’ wa al-Itba inda al-Arab, (Demaskus,   ). Kerakusan membaca yang dilakukan oleh Gus Dur mengakibatkan matanya rusak, namun usaha itu tidak sia-sia karena Allah sudah menjanjikan kemuliaan  bagi orang yang suka membaca. Allah berfirman dalam QS. 96;3.   اقرأ وربك الأكرم . Dari Gus Dur tentang sepenggal waktu di atas tampak sekali bagaimana sketsa  yang rumit untuk dibaca dan pola-pola bersilang tanpa aturan tetapi membentuk sebuah mozaik yang indah dilihat dan dipahami. Namun, tetap harus ingat salah satu tulisan tulisan Gunawan Muhammad, “bumi adalah bumi, ia bukan surga. Ketidak-sempurnaan, bahkan cacat, berlangsung terus, berselang-seling dengan saat-saat yang mengagumkan “. Lihat  http://goenawanmohamad.com/tag/fukuyama/ diunduh 26 September 2012.

[3]Sikap keberagamaan, kepribadian, dan intelektulitas seseorang, bagaimana harus membacanya?  Apakah kepribadian  dan intelektualitas harus diukur oleh sikap keberagamaan? Persoalan yang  rumit pula sekaligus sedikit menyerempet  ke masalah-masalah sensitif.  Beberapa hal yang harus diiurai, apakah agama menjadi enentu tunggal atas  baik uruknya seserang? Begitu juga dengan intelektualitas, apakah ia punya kewenangan secara mutlak untuk merumuskan sebuah konsepsi? Begitu juga dengan peribadi dan kepribadian seseorang apakah dengan kepribadiannya mnentukan kebabasannya. Semua pertanyaan di atas tidak dapat memberi jawaban  secara mutlak dan universal. Setiap perspektif akan selalu berangkat dari sudut pandangan dan itu merupakan jawaban bukan sebuah solusi. Jawaban akan selalu banyak tetapi solusi yang akan dilakukan adalah tetap satu; yaitu satu pilihan jawaban. Kealpaan shalat jumat Gus Dur adalah sebuah kealpaan. Lupa, itulah solusi dan pilihan jawaban yang mungkin tidak puas dan memang tidak memuaskan. Kalau ingin mendapatkan kepuasan jangan mengambil solusi karena solusi hanyalah sebuah  pilihan  tetapi ambilah  jawaban karena jawaban tidak akan tunggal dan jawaban akan memberi berbagai perspektif. Dari Gus Dur kita tidak akan pernah mendapatkan solusi tetapi justru sebuah jawaban-jawaban.   Bertrand Russell menulis, “Philosophy is to be studied, not for the sake of any definite answers to its questions since no definite answers can, as a rule, be known to be true, but rather for the sake of the questions themselves. ; because these questions enlarge our conception of what is possible, enrich our intellectual imagination and diminish the dogmatic assurance which closes the mind against speculation; but above all because, through the greatness of the universe which philosophy contemplates, the mind also is rendered great, and becomes capable of that union with the universe which constitutes its highest good”.       Bertrand Russell,  The Problems of Philosophy, (Oxford: Oxford University Press, 1959),  hlm. 161.


[4]Bagaimana peristiwa ini dipahami dari sisi khazanah keislaman?  Beberapa poin pemikiran tokoh-tokoh berikut ini  dapat dijadikan bahan perbandingan dan sekaligus sebagai wawasan lain. Proses transmisi pengetahuan tidak semata  linier dan berlandaskan dimensi empiris dan  rasionalitasnya tetapi juga berpola dan dimensi isyaraqi sebagaimana dikenalkan oleh para theosof Muslim seperti al-Suhrawardi. Lihat; al-Syhrawardi, “Hikmat al-Isyaraq” dalam Hanry Corbin (ed), al-Muallafat al-Falsafiyyah al-Shufiyyah li Syahb al-Din al-Suhrawardi, jilid. II, (Bairut: Mansyurat al-Jumal, 2012).    Di dalam  QS. 17: 65 juga dengan tegas menyatakan   فوجدنا عبدا من عبادنا أتيناه رحمة من عندنا وعلمناه من لدنا علماا Tetapi semuanya harus berusaha, latihan (belajar) atau riyadhah.   Karena, apapun proses dan konsep ilmunya, proses transmisi pengetahuan tidaklah mudah. Kita sering mendengarkan dan  memperhatikan betul-betul tetapi tetap saja tidak ada pemahaman.   al-Syafi’i mengingatkan dalam qasidah-nya;

شكوت إلي وكيع سوؤ حفظي...فأرشدني إلى ترك المعاصي
واخبرني بـأن العلـم نـور...ونور الله لا يهدى لعاصـي

أخي لن تنال العلم  إلا بستـةٍ...سأنييك عن تفاصيلها ببيان
ذكاء وحرص واجتهاد وبلغه...وصحبة استاذٍ وطول زمان
محمد بن إدريس الشافعي, ديوان الإمام الشافعيى، يبروت : دار الفكر العربى, 2003 ص 45

Dari paparan di atas, ada satu tesis yang meskipun masih dapat diperdebatkan bahwa kemampuan  lebih yang dimiliki Gus Dur tidak datang begitu saja tetapi diusahakan dan dilakukan dengan usha keras dan sungguh-sungguh..



[5]Itulah salah satu pokok dan puncak  pemikiran  Gus Dur (dan NU) tentang hubungan agama dan negara.  Gagasan Gus Dur adalah mainstream pemikiran tentang agama ketika dihadapkan dengan persoalan modernitas.  Gagasan demikian ini memang  menguntungkan segelintir kelompok elit yang nyaman dengan kekuasaan, namun masalahnya, agama juga  belum tentu mampu  untuk menjadi pioneer bagi terbentuknya suatu konsep alternatif bagi  negara modern. Dilemma inilah  yang kurang dikembangkan oleh  pemikir modernis Muslim semisal Gus Dur, Nurcholis Madjid dan lainnya. Nation-state sebagai konsep ideal faktanya selalu  dikuasai oleh  kelompok kecil elit politik yang kurang memperhatikan kesejarahteraan  rakyatnya. Pada sisi lain, agama selalu gagal ketika menjadi yang terdepan  dalam mengurus negara. Oleh karena  itu, kalaupun tidak menjadi pemain utama, agama semestnya harus selalu menjadi  kekuatan kritis tanpa harus bermain dalam politik praktis. Pertanyaan sekarang adalah apakah konsep pemikiran modernis Gus Dur-ian  seperti di atas masih relevan untuk kondisi sekarang di mana peran agama dan negara sudah sedemikian kompleks? Itulah pentingnya revitalisasi pemikiran Gus Dur untuk ke depan. Negara hari ini menjadi sebuah tanda-tanda tipis tentang ruang dengan batas-batas imajiner. Sementara agama kadang sering berkamuflasi dalam berbagai warna-warni kuasa dan sumber emosi. Jauhnya idealitas negara dan agama pada hari ini akibat dari keringnya proses-proses kreatif yang dilahirkan. Untuk itu, pekerjaan ke depan kita adalah bagaimana merumus dan menata ulang eksistensi agama dan negara  dalam sebuah waktu dan ruang yang sama sekali berbeda ketika Gus Dur memikirkannya.           

[6]Roda kehidupan kadang berada di atas kadang berada di bawah. Hal yang sama juga dihadapi oleh Gus Dur. Prestasi politik  Gus Dur begitu cepat naik dan begitu cepat pula turunnya, hanya 22 bulan ia menjabat sebagai Presiden.  Banyak yang menilai bahwa  posisi puncak Gus Dur di bidang politik justru  menjadi ikon kegagalannya. Namun, tidak sedikit pula yang menilai bahwa periodenya yang singkat justru melahirkan hal-hal monumental. Kita dapat melihat bahwa politik Indonesia di Era Gus Dur adalah  sebuah lakon  singkat sebuah drama yang tragis namun tidak meninggalkan sisi-sisi kemanusiaan di dalamnya. Tragedi  dan lelucon selalu hadir dalam drama kepemimpinannya.   

Greg Borton berusaha  melihat Gus Dur seobjektif mungkin. Ia orang luar yang membaca Gus Dur dengan rasio dan data. Ia tidak akan menjadi orang dalam (NU) yang membaca Gus Dur dengan hati dan emosi.  Tetapi dari orang luar seperti Greg Barton, kita disuguh  data (biografi) dan diminta belajar dari keberhasilan dan kegagalan Gus Dur. Untuk itu, Barton tidak pernah memberi satu titik akhir ketika mendeskripsikan Gus Dur, sebagaimana tercermin dalam tulisan di atas.  ,Gus Dur pada akhirnya adalah sebuah sejarah. Persoalan sekarang,  sejarah tidak cukup untuk sekedar dibaca, sejarah juga tidak cukup untuk dijadikan pelajaran,  sejarah juga perlu dikritik, sejarah juga perlu dirumus ulang agar terbentuk suatu pemahaman karena sejarah tidak  sekedar apa yang sudah dan sedang terjadi sejarah juga berbicara tentang apa yang  seharusnya terjadi, itulah spirit of history. Mungkin kita akan kering dalam membaca karya Berton, tetapi tetap penting agar subjektiftas dan wertbeziehung yang ada dalam sejarah  dapat diketahui posisinya secara jelas. Akhirnya,  belajar membaca sejarah menjadi kunci untuk menempatkan posisi historis Gus Dur  baik untuk pribadi, komunitasnya,  bangsa Indonesia, dan para musuhnya sekalipun. Tentang sejarah dapat dibaca dalam  sebuah buku klasik namun tetap inspiratif, yaitu karya F.R. Ankersmit, Refleksi tentang Sejarah, pent. Dick Hartoko, (Jakarta: Gramedia, 1985).  

[7]Syair atau puisi religius  juga seperti puisi-puisi lainnya menjadi serangkain kata yang dapat menyentuh dan bahkan  menusuk sanubari. Bahasa puisi menjadi bahasa pembawa pesan tertentu  yang kuat, apalagi ketika dibaca dengan ritme datar menyentuh dengan nada-nada ringan yang  kemudian kadang menghentak. Itulah warisan wisdom Gus Dur di akhir kehidupannya.  Bait-bait puisi sufistik ini di antaranya menekankan pentingnya membangun pribadi yang  salih. Konsep saleh menjadi khas Islam. Ia menjelaskan bahwa pribadi salih itu (1) jiwanya baik, (2) komprehensif dan mapan dalam pengetahuan, (3) punya thariqat, metode atau manhajiyyah, (4) kaweruh (ma’rifat,  connaisance,), dan (5) dimensi haqiqi selalu ada dalam pikiran dan jiwa.  Itulah pribadi yang rausyan fikr kata Ali syari’ati, atau pribadi kamil (al-insan al-kamil) kata al-‘Amiri, atau pribadi yang punya khudi kata Mohammad Iqbal. Individu dengan demikian menjadi faktor utama terciptanya masyarakat yang juga baik. 

Pribadi  salih akan selalu kuat dalam menghadapi kompleksitas kehidupan, karena mereka punya rasa dan keyakinan dalam hidup sehingga menjadi aman. Rasa aman dalam hidup adalah bukti keimanan. Itulah prinsip dasar yang diimpikan oleh setiap manusia. Baru setelah itu ada kenyamanan. Kenyamanan yang hakiki  tercermin pada pribadi  yang benar-benar komprehensif dalam menata seluruh aspek kehidupan sehingga mendapat derajat yang tinggi di hadapan Allah.  Tata dunia yang gemerlap adalah parsialitas kehidupan. 

Itulah sebuah  ending dari sejarah sebagaimana dilakukan oleh Gus Dur, sebuah ending yang sangat indah dan menyentuh. Geber (layar) sudah digulung, wayang dimasukkan kembali ke kotak, lampu dimatikan, semua senyap. Sudah matikah kehidupan? Tidak, kehidupan akan terus berjalan.         
*) Gus Dur, Syiir Tanpo Waton , dari anonymous reference
*Disampaikan pada diskusi PCINU Maroko dalam peringatan 1000 hari wafatnya K.H Abdurrahman Wahid di kota Kinetra-Maroko, 29 September 2012.






PCINU MAROKO

PCINU MAROKO

Followers