
Yah, seperti itulah sebagian
potret apresiasi masyarakat Indonesia terhadap
ketokohan RA Kartini. Sosok perempuan Jepara, Jawa Tengah yang dilahirkan pada
21 April tahun 1879. Adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional
Indonesia sebagaimana
keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.
Dalam sepak terjangnya, Beliau
dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Meski tidak memeiliki
kesempatan merengkuh pendidikan di jenjang yang lebih tinggi, dengan kegemaran
membaca dan memahami buku-buku, koran maupun majalah hingga penggagasannya
dalam tulisan-tulisan juga ketertarikannya pada kemajuan wanita eropa waktu itu,
Beliau punya semangat memajukan pola pikir, kiprah dan peran wanita Indonesia dengan dalih keberadaan
mereka pada status sosial yang rendah. Selain itu, pendapatnya bahwa wanita
memiliki hak dan kebebasan menuntut ilmu dan belajar.
Dengan kegigihan mengangkat
derajat kaum wanita Indonesia dan perjuangannya memberikan ide dan gagasan
pembaruan untuk kepentingan bangsanya tersebut, beliau pun dinobatkan sebagai
Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan hari lahirnya diperingati setiap tahun yang dikenal
sebagai Hari Kartini.
Ada hal yang patut digaris bawahi
dari gambaran diatas, yaitu seorang Kartini merupakan sosok emansipasi wanita
yang berusaha mengetengahkan hak-hak mereka (wanita), terutama dalam ranah
pendidikan. Seakan kebebasan mereka terjepit oleh suatu hal yang menyebabkan
status sosialnya berada pada titik rendah.
Menarik untuk diangkat bahwa
penuntutan hak-hak perempuan jauh setelah era Kartini -yang hemat penulis
memiliki latar historis memang mengharuskan- banyak dikampanyekan pihak-pihak
yang merasa adanya intimidasi terhadap kaum hawa tersebut. Kebanyakan dari
mereka mengatakan bahwa islam secara ajaran memberi perlakukan sama (tidak
membeda-bedakan) antara laki-laki dan perempuan.
Agama islam sendiri sebagaimana
mengutip apa yang dituturkan Pakar ilmu Al Qur’an, Dr. M. Quraish Shihab, dalam
bukunya “Membumikan AL Qur’an” menegaskan bahwa Al-Quran menolak
pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan
bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara
bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang
perempuan.(lihat QS. An Nisa: 1).
Lebih lanjut Beliau memaparkan bahwa pandangan
masyarakat yang mengantar kepada perbedaan antara lelaki dan perempuan dikikis
habis oleh Al-Quran. Karena itu, dikecamnya mereka yang bergembira dengan
kelahiran seorang anak lelaki tetapi bersedih bila memperoleh anak perempuan:
“Dan apabila seorang dari
mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam-merah padamlah
wajahnya dan dia sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang
banyak disebabkan "buruk"-nya berita yang disampaikan kepadanya itu.
(Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah
menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah buruk apa
yang mereka tetapkan itu”. (QS 16:58-59).
Adapun kaitannya dengan hak berpendidikan
beliau melanjutkan bahwa Al-Quran dengan
ke-universalannya telah memerintahkan kepada kaum laki-laki maupun perempuan
untuk menimba ilmu sebanyak mungkin. Al Qur’an juga memberikan pujian kepada ulu
al-albab, yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi.
Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan mengantar manusia untuk
mengetahui rahasia-rahasia alam raya ini, dan hal tersebut tidak lain dari
pengetahuan. Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak terbatas pada kaum
lelaki saja, tetapi juga kaum perempuan.
Kaum perempuan dapat berpikir,
mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada
Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut
alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga perempuan
bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan
mereka masing-masing. Banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan dan yang menjadi rujukan sekian banyak tokoh
lelaki. Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah seorang yang sangat dalam
pengetahuannya serta dikenal pula sebagai kritikus. Firman Allah swt.: “Bacalah
demi Tuhanmu yang telah menciptakan... Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak
tahu”. (QS. 96: 1-5). “Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka
dengan berfirman: "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang
yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan..." (QS
3:195).
Walhasil, selain hak berpendidikan
tentunya masih banyak hak-hak perempuan lainnya yang bisa mereka raih disegala
bidang. Adalah keliru bahwa perempuan telah didiskreditkan kebebasannya,
dibelenggu hak-haknya dan ditutup ruang gerak dan kiprahnya. Hanya saja bahwa
hak dan kebebasan tersebut tidak serta merta bisa dinikmati dengan seenaknya.
Tentu ada norma dan aturan baik secara ajaran agama ataupun tata negara yang
ditetapkan juga untuk kemaslahatan kaum perempuan. Selamat memperingati Hari
Kartini.
Wallahua’lam bisshawab.
* Santri di salah satu Universitas Maroko.
* tulisan
ini didukung referensi: http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini dan
http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Perempuan.html
