Our Partners

Gunakan GSunni Mesin Pecari Aswaja, agar tidak tersesat di situs2 wahabi.. klik sini..

PCINU Maroko

get this widget here

Resources

Catwidget2

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget1

Pages

Catwidget4

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget3

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Minggu, 17 Juni 2012

Logo Konfercab I PCINU Maroko

Puji syukur menggelegak di sekujur dada ke hadirat sang pencipta. Curahan sholawat salam tak terhenti terbidik pada raja diraja Muhammad SAW, serta keluarga, sahabat, tabiin yang senantiasa menjadi figure sejarah manusia.

Setelah lama tenggelam dengan buku-buku muqoror, setelah lama terbius dalam jurang rutinitas tak bertuan, setelah lama sibuk dalam urusan masing-masing personal, setelah lama terkubur dalam dunia orang dewasa (ego) yang tak mendewasakan, setelah lama tak menikmati secangkir kopi kebersamaan, sejenak mari kita ambil jeda. Sedikit  jeda waktu lengah untuk kembali menyapa antar satu sama lain. Jeda untuk mengungkit kembali agenda acara yang telah kita rencanakan bersama. Inilah saat untuk terjaga dan mengepalkan tangan. Sekaranglah waktunya untuk memupuk kesadaran dan kebersamaan demi terlaksananya acara konfercab I PCINU Maroko yang insyaallah akan dilaksankan dalam waktu dekat ini. Kinilah momentumnya untuk menunjukan eksistensi PCINU Maroko agar patut di kenang dalam kancah sejarah kemudian.

Alhamdulillah setelah tiga hari tiga malam mengotak atik komputer ahirnya Sie Dek-Dok berhasil menumpahkan sebuah ide dan konsep sederhana demi melaksanakan tugasnya membuat sebuah logo perdana Konfercab I  PCINU Maroko. Semoga para koordinator lainnya dapat menyusul kesuksesan tersebut meski tak seberapa namun yang terpenting adalah hasil kinerjanya yang nyata bukan hanya asal bicara. Salam kompak dan sukses selalu buat semua panitia Konfercab I PCINU Maroko. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kemudahan dan kesuksesan di setiap langkah kita dalam menyukseskan acara Konfercab I PCINU Maroko. Selamat bekerja dan sukses. 

By : Sie Dek-Dok Konfercab I PCINU Maroko.

Kamis, 14 Juni 2012

Dari Pesantren Untuk Bangsa

KH. A. WAHID HASYIM

KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra kelima dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah binti Kyai Ilyas. Anak lelaki pertama dari 10 bersaudara ini lahir pada hari Jumat legi, Rabiul Awwal 1333 H, bertepatan dengan 1 Juni 1914 M, ketika di rumahnya sedang ramai dengan pengajian.

Wahid Hasyim adalah salah seorang dari sepuluh keturunan langsung KH. Hasyim Asy’ari. Silsilah dari jalur ayah ini bersambung hingga Joko Tingkir, tokoh yang kemudian lebih dikenal dengan Sultan Sutawijaya yang berasal dari kerajaan Demak. Sedangkan dari pihak ibu, silsilah itu betemu pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya V, yang menjadi salah satu raja Kerajaan MAtaram. Sultan Brawijaya V ini juga dikenal dengan sebutan Lembu Peteng.
Kesepuluh putra KH. Hasyim Asy’ari itu adalah Hannah, Khairiyah, Aisyah, Izzah, Abdul Wahid, A. Khaliq, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah, dan Muhammad Yusuf. Sementara itu, dengan Nyai Masrurah KH. Hasyim Asy’ari dikaruniai empat putera, yakni Abdul Kadir, Fatimah, Khodijah dan Ya’kub.
Mondok Hanya Beberapa Hari
Abdul Wahid mempunyai otak sangat cerdas. Pada usia kanak-kanak ia sudah pandai membaca al-Qur’an, dan bahkan sudah khatam al-Qur’an ketika masih berusia tujuh tahun. Selain mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, Abdul Wahid juga belajar di bangku Madrasah Salafiyah di Pesantren Tebuireng. Pada usia 12 tahun, setamat dari Madrasah, ia sudah membantu ayahnya mengajar adik-adik dan anak-anak seusianya.

Sebagai anak tokoh, Abdul Wahid tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah Pemerintah Hindia Belanda. Ia lebih banyak belajar secara otodidak. Selain belajar di Madrasah, ia juga banyak mempelajari sendiri kitab-kitab dan buku berbahasa Arab. Abdul Wahid mendalami syair-syair berbahasa Arab dan hafal di luar kepala, selain menguasai maknanya dengan baik.

Pada usia 13 tahun ia dikirim ke Pondok Siwalan, Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo. Ternyata di sana ia hanya bertahan sebulan. Dari Siwalan ia pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Lagi-lagi ia di pesantren ini mondok dalam waktu yang sangat singkat, hanya beberapa hari saja. Dengan berpindah-pindah pondok dan nyantri hanya dalam hitungan hari itu, seolah-olah yang diperlukan Abdul Wahid hanyalah keberkatan dari sang guru, bukan ilmunya. Soal ilmu, demikian mungkin ia berpikir, bisa dipelajari di mana saja dan dengan cara apa saja. Tapi soal memperoleh berkah, adalah masalah lain, harus berhubungan dengan kyai. Inilah yang sepertinya menjadi pertimbangan utama dari Abdul Wahid ketika itu.

Sepulang dari Lirboyo, Abdul Wahid tidak meneruskan belajarnya di pesantren lain, tetapi memilih tinggal di rumah. Oleh ayahnya pilihan tinggal di rumah dibiarkan saja, toh Abdul Wahid bisa menentukan sendiri bagaimana harus belajar. Benar juga, selama berada di rumah semangat belajarnya tidak pernah padam, terutama belajar secara otodidak. Meskipun tidak sekolah di lembaga pendidikan umum milik pemerintah Hindia Belanda, pada usia 15 tahun ia sudah mengenal huruf latin dan menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Kedua bahasa asing itu dipelajari dengan membaca majalah yang diperoleh dari dalam negeri atau kiriman dari luar negeri.

Menerapkan Sistem Madrasah ke Dalam Sistem Pesantren
Pada 1916, KH. Ma’sum, menantu KH. Hasyim Asy’ari, dengan dukungan Wahid Hasyim, memasukkan sistem Madrasah ke dalam sistem pendidikan pesantren. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awwal dan siffir tsani, yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awwal dan siffir tsani diajarkan khusus bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam. Pada tahun 1919, kurikulum madrasah tersebut ditambah dengan pendidikan umum, seperti bahasa Indonesia (Melayu), berhitung dan Ilmu Bumi. Pada 1926, KH. Mauhammad Ilyas memasukkan pelajaran bahasa Belanda dan sejarah ke dalam kurikulum madrasah atas persetujuan KH. Hasyim Asy’ari.

Pembaharuan pendidikan Pesantren Tebuireng yang dilakukan KH. Hasyim Asy’ari, berikut murid dan puteranya, bukan tanpa halangan. Pembaharuan pendidikan yang digagasnya menimbulkan reaksi yang cukup hebat dari masyarakat dan kalangan pesantren, sehingga banyak juga orang tua santri memindahkan anak-anaknya ke pesantren lain, karena dengan pembaharuan tersebut Pesantren Tebuireng dipandang sudah terlalu modern. Reaksi tersebut tidak menyurutkan proses pembaharuan Pesantren Tebuireng. Hal tersebut terus berlangsung dan dilanjutkan oleh Wahid Hasyim dengan mendirikan madrasah modern di lingkungan pesantren.

Berangkat ke Mekkah
Pada tahun 1932, ketika menginjak usia 18 tahun, ia dikirim ke Mekkah, di samping untuk menunaikan rukun Islam kelima juga untuk memperdalam berbagai cabang ilmu agama. Kepergiannya ke Mekkah ditemani oleh saudara sepupunya, Muhammad Ilyas, yang kelak menjadi Menteri Agama. Muhammad Ilyas memiliki jasa yang besar dalam membimbing Abdul Wahid sehingga tumbuh menjadi remaja yang cerdas. Muhammad Ilyas dikenal fasih dalam bahasa Arab, dan dialah yang mengajari Abdul Wahid bahasa Arab. Di tanah suci ia belajar selama dua tahun.

Dengan pengalaman pendidikan tersebut, tampak ia sebagai sosok yang memiliki bakat intelektual yang matang. Ia menguasai tiga bahasa asing, yaitu bahasa Arab, Inggris dan Belanda. Dengan bekal kemampuan tiga bahasa tersebut, Wahid Hasyim dapat mempelajari berbagai buku dari tiga bahasa tersebut. Otodidak yang dilakukan Wahid Hasyim memberikan pengaruh signifikan bagi praktik dan kiprahnya dalam pendidikan dan pengajaran, khususnya di pondok pesantren termasuk juga dalam politik.

Setelah kembali dari Mekkah, Wahid Hasyim merasa perlu mengamalkan ilmunya dengan melakukan pembaharuan, baik di bidang sosial, keagamaan, pendidikan dan politik. Pada usia 24 tahun (1938), Wahid Hasyim mulai terjun ke dunia politik. Bersama kawan-kawannya, ia gencar dalam memberikan pendidikan politik, pembaharuan pemikiran dan pengarahan tentang perlunya melawan penjajah. Baginya pembaharuan hanya mungkin efektif apabila bangsa Indonesia terbebas dari penjajah.

Menikah
Pada usia 25 tahun, Abdul Wahid mempersunting gadis bernama Solichah, putri KH. Bisri Syansuri, yang pada waktu itu baru berusia 15 tahun. Pasangan ini dikarunai enam anak putra, yaitu Abdurrahman ad-Dakhil (mantan Presiden RI), Aisyah (Ketua Umum PP Muslimat NU, 1995-2000), Shalahudin al-Ayyubi (Insinyur lulusan ITB/Pengasuh PP. Tebuireng Jombang, sesudah KH. Yusuf Hasyim), Umar (dokter lulusan UI), Khadijah dan Hasyim.

Empat Tahun Sebelum Masuk Organisasi
Jangan ada orang yang memasuki suatu organisasi atau perhimpunan atas dasar kesadaran kritisnya. Pada umumnya orang yang aktif dalam sebuah organisasi atas dasar tradisi mengikuti jejak kakek, ayah, atau keluarga lain, karena ikut-ikutan atau karena semangat primordial. Tidak terkecuali bagi kebanyakan warga NU. Sudah lazim orang masuk NU karena keturunan; ayahnya aktif di NU, maka secara otomatis pula anaknya masuk dan menjadi aktivis NU. Kelaziman seperti itu agaknya tidak berlaku bagi Wahid Hasyim. Proses ke-NU-an Abdul Wahid Hasyim berlangsung dalam waktu yang cukup lama, setelah melakukan perenungan mendalam. Ia menggunakan kesadaran kritis untuk menentukan pilihan organisasi mana yang akan dimasuki.

Waktu itu April 1934, sepulang dari Mekkah, banyak permintaan dari kawan-kawannya agar Abdul Wahid Hasyim aktif dihimpunan atau organisasi yang dipimpinnya. Tawaran juga datang dari Nahdlatul Ulama (NU). Pada tahun-tahun itu di tanah air banyak berkembang perkumpulan atau organisasi pergerakan. Baik yang bercorak keagamaan maupun nasionalis. Setiap perkumpulan berusaha memperkuat basis organisasinya dengan merekrut sebanyak mungkin anggota dari tokoh-tokoh berpengaruh. Wajar saja jika kedatangan Wahid Hasyim ke tanah air disambut penuh antusias para pemimpin perhimpunan dan diajak bergabung dalam perhimpunannya. Ternyata tidak satupun tawaran itu yang diterima, termasuk tawaran dari NU.

Apa yang terjadi dalam pergulatan pemikiran Abdul Wahid Hasyim, sehingga ia tidak kenal secara cepat menentukan pilihan untuk bergabung di dalam satu perkumpulan itu? Waktu itu memang ada dua alternatif di benak Abdul Wahid Hasyim. Kemungkinan pertama, ia menerima tawaran dan masuk dalam salah satu perkumpulan atau partai yang ada. Dan kemungkinan kedua, mendirikan perhimpunan atau partai sendiri.

Di mata Abdul Wahid Hasyim perhimpunan atau partai yang berkembang waktu itu tidak ada yang memuaskan. Itulah yang menyebabkan ia ragu kalau harus masuk dan aktif di partai. Ada saja kekurangan yang melekat pada setiap perhimpunan. Menurut penilaian Abdul Wahid Hasyim, partai A kurang radikal, partai B kurang berpengaruh, partai C kurang memiliki kaum terpelajar, dan partai D pimpinannya dinilai tidak jujur.

”di mata saya, ada seribu satu macam kekurangan yang ada pada setiap partai,” tegas Abdul Wahid Hasyim ketika berceramah di depan pemuda yang bergabung dalam organisasi Gerakan Pendidikan Politik Muslim Indonesia.

Setelah beberapa lama melakukan pergulatan pemikiran Wahid Hasyim akhirnya menjatuhkan pilihannya ke NU. Meskipun belum sesuai dengan keinginannya, tapi dianggap NU memiliki kelebihan dibanding yang lain. Selama ini organisasi-organisasi dalam waktu yang pendek tidak mampu untuk menyebar keseluruh daerah. Berbeda dengan NU dalam waktu yang cukup singkat sudah menyebar hingga 60% di seluruh wilayah di Indonesia. Inilah yang dianggap oleh Wahid Hasyim kelebihan yang dimiliki oleh NU.

Pokok Pemikirannya
Sebagai seorang santri pendidik agama, fokus utama pemikiran Wahid Hasyim adalah peningkatan kualitas sumberdaya umat Islam. Upaya peningkatan kualitas tersebut menurut Wahid Hasyim, dilakukan melalui pendidikan khususnya pesantren. Dari sini dapat dipahami, bahwa kualitas manusia muslim sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas jasmani, rohani dan akal. Kesehatan jasmani dibuktikan dengan tiadanya gangguan fisik ketika berkatifitas. Sedangkan kesehatan rohani dibuktikan dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Disamping sehat jasmani dan rohani, manusia muslim harus memiliki kualitas nalar (akal) yang senantiasa diasah sedemikian rupa sehingga mampu memberikan solusi yang tepat, adil dan sesuai dengan ajaran Islam.

Mendudukkan para santri dalam posisi yang sejajar, atau bahkan bila mungkin lebih tinggi, dengan kelompok lain agaknya menjadi obsesi yang tumbuh sejak usia muda. Ia tidak ingin melihat santri berkedudukan rendah dalam pergaulan masyarakat. Karena itu, sepulangnya dari menimba ilmu pengetahuan, dia berkiprah secara langsung membina pondok pesantren asuhannya ayahnya.

Pertama-tama ia mencoba menerapkan model pendidikan klasikal dengan memadukan unsur ilmu agama dan ilmu-ilmu umum di pesantrennya. Ternyata uji coba tersebut dinilai berhasil. Karena itu ia kenal sebagai perintis pendidikan klasikal dan pendidikan modern di dunia pesantren.

Untuk pendidikan pondok pesantren Wahid Hasyim memberikan sumbangsih pemikirannya untuk melakukan perubahan. Banyak perubahan di dunia pesantren yang harus dilakukan. Mulai dari tujuan hingga metode pengajarannya.

Dalam mengadakan perubahan terhadap sistem pendidikan pesantren, ia membuat perencanaan yang matang. Ia tidak ingin gerakan ini gagal di tengah jalan. Untuk itu, ia mengadakan langkah-langkah sebagai berikut:

* Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya
* Menggambarkan cara mencapai tujuan itu
* Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh-sungguh tujuan dapat dicapai.

Pada awalnya, tujuan pendidikan Islam khususnya di lingkungan pesantren lebih berkosentrasi pada urusan ukhrawiyah (akhirat), nyaris terlepas dari urusan duniawiyah (dunia). Dengan seperti itu, pesantren didominasi oleh mata ajaran yang berkaitan dengan fiqh, tasawuf, ritual-ritual sakral dan sebagainya.

Meski tidak pernah mengenyam pedidikan modern, wawasan berfikir Wahid Hasyim dikenal cukup luas. Wawasan ini kemudian diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan pendidikan. Berkembangnya pendidikan madrasah di Indonesia di awal abad ke-20, merupakan wujud dari upaya yang dilakukan oleh cendikiawan muslim, termasuk Wahid Hasyim, yang melihat bahwa lembaga pendidikan Islam (pesantren) dalam beberapa hal tidak lagi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.

Apa yang dilakukan oleh Wahid Hasyim adalah merupakan inovasi baru bagi kalangan pesantren. Pada saat itu, pelajaran umum masih dianggap tabu bagi kalangan pesantren karena identik dengan penjajah. Kebencian pesantren terhadap penjajah membuat pesantren mengharamkan semua yang berkaitan dengannya, seperti halnya memakai pantolan, dasi dan topi, dan dalam konteks luas pengetahuan umum.

Dalam metode pengajaran, sekembalinya dari Mekkah untuk belajar, Wahid Hasyim mengusulkan perubahan metode pengajaran kepada ayahnya. Usulan itu antara lain agar sistem bandongan diganti dengan sistem tutorial yang sistematis, dengan tujuan untuk mengembangkan dalam kelas yang menggunakan metode tersebut santri datang hanya mendengar, menulis catatan, dan menghafal mata pelajaran yang telah diberikan, tidak ada kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau berdikusi. Secara singkat, menurut Wahid Hasyim, metode bandongan akan menciptakan kepastian dalam diri santri.

Perubahan metode pengajaran diimbangi pula dengan mendirikan perpustakaan. Hal ini merupakan kemajuan luar biasa yang terjadi pada pesantren ketika itu. Dengan hal tersebut Wahid Hasyim mengharapkan terjadinya proses belajar mengajar yang dialogis. Dimana posisi guru ditempatkan bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Pendapat guru bukanlah suatu kebenaran mutlak sehingga pendapatnya bisa dipertanyakan bahkan dibantah oleh santri (murid). Proses belajar mengajar berorientasi pada murid, sehingga potensi yang dimiliki akan terwujud dan ia akan menjadi dirinya sendiri.

Kiprah Sosial Kemasyarakatan dan Kenegaraan
Selain melakukan perubahan-perubahan tersebut Wahid Hasyim juga menganjurkan kepada para santri untuk belajar dan aktif dalam berorganisasi. Pada 1936 ia mendirikan IKPI (Ikatan Pelajar Islam). Pendirian organisasi ini bertujuan untuk mengorganisasi para pemuda yang secara langsung ia sendiri menjadi pemimpinnya. Usaha ikatan ini antara lain mendirikan taman baca.

Pada tahun 1938 Wahid Hasyim banyak mencurahkan waktunya untuk kegiatan-kegiatan NU. Pada tahun ini Wahid Hasyim ditunjuk sebagai sekretaris pengurus Ranting Tebuireng, lalu menjadi anggota pengurus Cabang Jombang. Kemmudian untuk selanjutnya Wahid Hasyim dipilih sebagai anggota Pengurus Besar NU di wilayah Surabaya. Dari sini karirnya terus meningkat sampai Ma’arif NU pada tahun 1938. Setelah NU berubah menjadi partai politik, ia pun dipilih sebagai ketua Biro Politik NU tahun 1950.

Di kalangan pesantren, Nahdlatul Ulama mencoba ikut memasuki trace baru bersama-sama organisasi sosial modern lainnya, sepeti Muhammadiyah, NU juga membentuk sebuah federasi politik bernama Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) lebih banyak di dorong oleh rasa bersalah umat Islam setelah melihat konsolidasi politik kaum nasionalis begitu kuat. Pada tahun 1939, ketika MIAI mengadakan konferensi, Wahid Hasyim terpilih sebagai ketua. Setahun kemudian ia mengundurkan diri.

Wahid Hasyim juga mempelopori berdirinya Badan Propaganda Islam (BPI) yang anggota-anggotanya dikader untuk terampil dan mahir berpidato di hadapan umum. Selain itu, Wahid Hasyim juga mengembangkan pendidikan di kalangan umat Islam. Tahun 1944 ia mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhnya ditangani oleh KH. A Kahar Mudzakir. Tahun berikutnya, 1945, Wahid Hasyim aktif dalam dunia politik dan memulai karir sebagai ketua II Majelis Syura (Dewan Partai Masyumi). Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri. Sedangkan ketua I dan ketua II masing-masing Ki Bagus Hadikusumo dan Mr. Kasman Singodimejo.

Pada tanggal 20 Desember 1949 KH. Abdul Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama dalam kabinet Hatta. Sebelumnya, yaitu sebelum penyerahan kedaulatan, ia menjadi Menteri Negara. Pada periode kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman, Wahid Hasyim tetap memegang jabatan Menteri Agama.

Dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Soekarno pada September 1945, Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Syahrir pada tahun 1946. Pada tahun ini juga, ketika KNIP dibentuk, KH. A Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP.

Selama menjadi Menteri Agama, usahanya antara lain: [1] Mendirikan Jam’iyah al-Qurra’ wa al-Huffazh (Organisasi Qari dan Penghafal al-Qur’an) di Jakarta; [2] Menetapkan tugas kewajiban Kementerian Agama melalui Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1950; [3] Merumuskan dasar-dasar peraturan Perjalanan Haji Indonesia; dan [4] Menyetujui berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dalam kementerian agama.

Pada tahun 1952 KH. Abdul Wahid Hasyim memprakarsai berdirinya Liga Muslimin Indonesia, suatu badan federasi yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Darul Dakwah wa al-Irsyad. Susunan pengurusnya adalah KH. A Wahid Hasyim sebagai ketua, Abikusno Cokrosuyoso sebagai wakil ketua I, dan H. Sirajuddin Abbas sebagai wakil ketua II.

Sebagai Ketua Umum PBNU
Ketika Muktamar ke 19 di Palembang mencalonkannya sebagai Ketua Umum, ia menolaknya, dan mengusulkan agar KH. Masykur menempati jabatan sebagai Ketua Umum. Kemudian atas penolakan KH. A Wahid Hasyim untuk menduduki jabatan Ketua Umum, maka terpilihlah KH. Masykur menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Namun berhubung KH. Masykur diangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Ali Arifin, maka NU menonaktifkan KH. Masykur selaku ketua umum, dan dengan demikian maka Wahid Hasyim ditetapkan sebagai Ketua Umum.

Disamping sebagai Ketua Umum PBNU, KH. A Wahid Hasyim menjabat Shumubucho (Kepala Jawatan Agama Pusat) yang merupakan kompensasi Jepang yang waktu itu merasa kedudukannya makin terdesak dan merasa salah langkah menghadapi umat Islam. Awalnya Shumubucho adalah merupakan kompensasi yang diberikan kepada KH. Hasyim Asy’ari, mengingat usianya yang sudah uzur dan ia harus mengasuh pesanten sehingga tidak mungkin jika harus bolak-balik Jakarta-Jombang. Karena kondisi ini, ia mengusulkan agar tugas sebagai Shumubucho diserahkan kepada KH. Abdul Wahid Hasyim, puteranya.

Tokoh Muda BPUPKI
Karir KH. Abdul Wahid Hasyim dalam pentas politik nasional terus melejit. Dalam usianya yang masih muda, beberapa jabatan ia sandang. Diantaranya ketika Jepang membentuk badan yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan atau dikenal dengan BPUPKI. Wahid Hasyim merupakan salah satu anggota termuda setelah BPH. Bintoro dari 62 orang yang ada. Waktu itu Wahid Hasyim berusia 33 tahun, sementara Bintoro 27 tahun.

Sebagai anggota BPKI yang berpengaruh, ia terpilih sebagai seorang dari sembilan anggota sub-komite BPKI yang bertugas merumuskan rancangan preambule UUD negara Republik Indonesia yang akan segera diproklamasikan.

Musibah di Cimindi
Tanggal 19 April 1953 merupakan hari berkabung. Waktu itu hari Sabtu tanggal 18 April, KH. Abdul Wahhid Hasyim bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Berkendaraan mobil Chevrolet miliknya, dengan ditemani seorang sopir dari harian pemandangan, Argo Sutjipto, tata usaha majalah Gema Muslim, dan putra sulungnya, Abdurrahman ad-Dakhil. KH. Abdul Wahid Hasyim duduk di jok belakang bersama Argo Sutjipto.

Daerah sekitar Cimahi dan Bandung waktu itu diguyur hujan dan jalan menjadi licin. Pada waktu itu lalu lintas di jalan Cimindi, sebuah daerah antara Cimahi-Bandung, cukup ramai. Sekitar pukul 13.00, ketika memasuki Cimindi, mobil yang ditumpangi KH. Abdul Wahid Hasyim selip dan sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan. Di belakang Chevrolet nahas itu banyak iring-iringan mobil. Sedangkan dari arah depan sebuah truk yang melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil zig-zag karena selip dari arah berlawanan. Karena mobil Chevrolet itu melaju cukup kencang, bagian belakangnya membentur badan truk dengan keras. Saat terjadi benturan, KH. A Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti itu. Keduanya luka parah. KH. Abdul Wahid Hasyim terluka bagian kening, mata serta pipi dan bagian lehernya. Sementara sang sopir dan Abdurrahman tidak cidera sedikit pun. Mobilnya hanya rusak bagian belakang dan masih bisa berjalan seperti semula.

Lokasi kejadian kecelakaan itu memang agak jauh dari kota. Karena itu usaha pertolongan datang sangat terlambat. Baru pukul 16.00 datang mobil ambulan untuk mengangkut korban ke Rumah Sakit Boromeus di Bandung. Sejak mengalami kecelakaan, kedua korban terus tidak sadarkan diri. Pada pukul 10.30 hari Ahad, 19 April 1953, KH. Abdul Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah Swt dalam usia 39 tahun. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18.00, Argo Sutjipto menyusul menghadap Sang Khalik.

Ditetapkan Sebagai Pahlawan
Berdasarkan Surat keputusan Presiden Republik Indonesia No. 206 tahun 1964 tertanggal 24 Agustus 1964, KH. Abdul Wahid Hasyim ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, mengingat jasa-jasanya sebagai pemimpin Indonesia yang semasa hidupnya terdorong oleh taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan rasa cinta tanah air dan bangsa, telah memimpin suatu kegiatan yang teratur guna mencapai kemerdekaan nusa dan bangsa.


Biografi singkat KH. Abdul Wahid Hasyim disarikan dari buku ”99 Kiai Kharismatik Indonesia” di tulis oleh KH. A. Aziz Masyhuri, terbitan Kutub, Yogyakarta.

Rabu, 13 Juni 2012

Madinah dan Indonesia

Sumber NU Online
 Nabi Muhammad SAW berada di Makkah selama 13 tahun untuk membangun komunitas yang militan. Beliau melakukan proses kaderisasi yang ketat dengan menggelorakan ukhuwah islamiyah. “Yang Islam saudara, yang bukan Islam bukan saudara.” Inilah generasi pertama Islam.

Setelah itu beliau pindah ke kota Yasrif (Madinah). Kota ini ternyata sangat majemuk. Penduduk Islam lokal namanya Ansor, para pendatang dinamakan Muhajirin, dan orang Yahudi di sana terdiri dari tiga suku besar. Masih ada juga golongan lainnya musyrik dalam jumlah kecil.

Setelah melihat masyarakat Yasrif yang majemuk, maka Nabi Muhammad tidak lagi menggunakan istilah ukhuwah Islamiyah, tetapi ukhuwah madaniyah, persaudaraan untuk seluruh penduduk. Semua sama kedudukannya dalam hukum, siapapun dia. Siapapun yang salah, tidak melihat sukunya harus dihukum. Demikian sebaliknya. Inilah yang dinamakan tamaddun. Maka Yasrif kemudian diubah namanya menjadi Madinah.

Ini artinya kota yang sudah menggunakan nilai-nilai universal. Dalam Piagam Madinah terdapat 47 pasal. Nabi bertemu dengan seluruh pimpinan suku dan kemudian sepakat mengelurakan kesepakatan Madinah. (Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah: 120-122).

Dari 47 point, tidak ada kata Islam. Tidak satupun mengutip Al-Qur’an. Prinsip-prinsip universal saja yang digunakan. Malah dalam poin 15 disebutkan semua agama diberi kebebasan menggunakan agamanya masing-masing. Terakhir dalam Piagam Madinah ini disebutkan bahwa kesepakatan ini untuk membela yang benar.

Ini bukan omong kosong, yang selanjutnya ditaruh di rak saja. Terbukti ketika ada orang Islam membunuh Yahudi, Nabi marah besar dan bersabda: “Barangsiapa yang membunuh orang non Muslim, maka ia berhadapan dengan saya. Saya pengacaranya,” begitulah kira-kira. Luar biasa Akhirnya Nabi terpaksa mencari para donor untuk menyumbang ahli waris Yahudi sebagai ganti ruginya. Ini bukan omong kosong.

Lagi, suatu saat ada janazah yang lewat, Nabi berdiri untuk menghormatinya. Sahabat mengingatkan, "ini jenazahnya orang Yahudi." Nabi mengatakan, ”Ya saya tahu ini jenazahnya orang Yahudi”.

Nah, Indonesia ini kondisinya seperti Madinah, ada sekian agama, sekian etnis, sekian budaya. Maka menurut Nahdlatul Ulama (NU), untuk menjaga persatuan, Islam ini kita amalkan, namun tidak kita konsititusikan, tidak kita legalformalkan. Kita mengamalkan Islam setiap waktu: sholat, puasa, zakat, haji, dan mempraktikkan akhlak Islami, sementara negara kita biarkan sebagai suatu kesatuan (NKRI).

Dulu ada KH Wahid Hasyim, salah satu dari anggota tim sembilan PPKI. Ia setuju penghapusan 9 kata dalam Piagam Jakarta demi persatuan. Ia juga mengusulkan adanya Departemen Agama yang fungsinya khusus untuk membangun keagamaan, agar hidup rukun antara agama dan menjalankan agama masing-masing dengan baik.

Minggu, 10 Juni 2012

Hukum Mengamalkan Hadits Dho’if

Ditulis oleh : KH Thobary Syadzily
Hadits merupakan salah satu sumber hukum Islam, yang fungsinya menjelaskan, mengukuhkan dan ‘melengkapi’ firman Allah SWT yang terdapat dalam Al-Qur’an. Di antara berbagai macam hadits, ada istilah Hadits Dha’if.
Dalam pengamalannya, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian kalangan ada yang tidak membenarkan untuk mengamalkan Hadts Dha’if. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Hadits tersebut bukan dari Nabi Muhammad SAW. Lalu apakah sebenarnya yang disebut Hadits Dha’if itu? Benarkah kita tidak boleh mengamalkan Hadits Dha’if?

Secara umum Hadits terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu:
Pertama, Hadits Shahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, punya daya ingatan yang kuat, mempunyai sanad (mata rantai orang-orang yang meriwayatkan hadits) yang bersambung ke Rasulullah SAW, tidak memiliki kekurangan serta tidak syadz  (menyalahi aturan umum). Para ulama sepakat bahwa hadits ini dapat dijadikan dalil, baik dalam masalah hukum, aqidah dan lainnya.

Kedua, Hadits Hasan, yakni hadits yang tingkatannya berada di bawah Hadits Shahih, karena para periwayat hadits ini memiliki kualitas yang lebih rendah dari para perawi Hadits Shahih. Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil sebagaimana Hadits Shahih.
Ketiga, Hadits Dha’if, yakni hadits yang bukan Shahih dan juga bukan Hasan, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perawi hadits, atau para perawinya tidak mencapai tingkatan sebagai perawi Hadits Hasan.

Hadits Dha’if ini terbagi menjadi dua. Pertama, ada riwayat lain yang dapat menghilangkan dari ke-dha’if-annya. Hadits semacam ini disebut Hadits Hasan li Ghairih, sehingga dapat diamalkan serta boleh dijadikan sebagai dalil syar’i. Kedua, hadits yang tetap dalamke-dha’if-annya. Hal ini terjadi karena tidak ada riwayat lain yang menguatkan, atau karena para perawi hadits yang lain itu termasuk orang yang dicurigai sebagai pendusta, tidak kuat hafalannya atau fasiq.

Dalam kategori yang kedua ini, para ulama mengatakan bahwa Hadits Dha’if hanya dapat diberlakukan dalam fada’ilul a’mal (keutamaan beramal), yakni setiap ketentuan yang tidak berhubungan dengan akidah, tafsir atau hukum, yakni hadits-hadits yang menjelaskan tentang targhib wa tarhib (janji-janji dan ancaman Allah SWT) sebagaimana diterangkan di dalam kitab “Al-Adzkar” karya Imam Nawawi, cetakan pertama “Maktabah Tijariyah al-Kubra” tahun 1356 H / 1938 M halaman 7 sebagai berikut:
قال العلماء من المحدثين والفقهاء وغيرهم : يحوز ويستحب العمل فى الفضائل والترغيب والتبرهيب بالحديث الضعيف مالم يكن موضوعا، واما الاحكام كالحلال والحرام والبيع والنكاح والطلاق وغير ذلك فلا يعمل فيها الا بالحديث الصحيح أو الحسن الا أن يكون في احطياط في شيئ من ذلك كما اذا ورد حديث ضعيف بكراهة بعض البيوع او الأنكحة فإن المستحب او يتنزّه عنه ولكن لا يجب. وانما ذكرت هذا الفصل لأنه يجيئ في هذا الكتاب أحاديث أنص على صحتها أو حسنها أو ضعفها.
Artinya: “Para ulama hadits dan fiqih serta ulama lainnya berkata: Diperbolehkan bahkan disunnahkan mengamalkan hadits dha’if dalam keutamaan beramal, baik berupa anjuran maupun larangan selama hadits itu bukan hadits maudhu’”.

 Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa telah terjadi ijma’ di kalangan ulama tentang kebolehan mengamalkan Hadits Dha’if jika berkaitan dengan fadha’ilul a’mal ini. Sedangkan dalam masalah hukum, tafsir ayat Al-Qur’ an, serta akidah, maka apa yang termaktub dalam hadits tersebut tidak dapat dijadikan pedoman. Sebagaimana yang disitir oleh Sayyid ‘Alawi al-Maliki dalam kitabnya Majmu’ Fatawi wa Rasa’il:
 ”Para ulama ahli Hadits dan lainnya sepakat bahwa Hadits Dha’if dapat dijadikan sebagai pedoman dalam masalah fadha’il al-a’mal. Di antara ulama yang mengatakannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ibn Mubarak, dan Sufyan, al-Anbari serta ulama lainnya. (Bahkan) Ada yang menyatakan, bahwa mereka pernah berkata: Apabila kami meriwayatkan (Hadfts) menyangkut perkara halal ataupun yang haram, maka kami akan berhati-hati. Tapi apabila kami meriwayatkan Hadfts tentang fadha’il al-a’mal, maka kami melonggarkannya”. (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il251)

 Akan tetapi, kebolehan ini harus memenuhi tiga syarat. Pertama, bukan hadits yang sangat dha’if. Karena itu, tidak boleh mengamalkan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang sudah terkenal sebagai pendusta, fasiq, orang yang sudah terbiasa berbuat salah dan semacamnya.
 Kedua, masih berada di bawah naungan ketentuan umum serta kaidah-­kaidah yang universal. Dengan kata lain, hadits tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama, tidak sampai menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

 Ketiga, tidak berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut berdasarkan Hadits Dha’if, namun perbuatan itu dilaksanakan dalam rangka ihtiyath atau berhati-hati dalam masalah agama.
 Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kita tidak harus dengan keras menolak Hadits Dha’if. Karena, dalam hal-hal tertentu masih diperkenankan mengamalkannya dengan syarat-syarat sebagaimana diterangkan di atas.

Suri Tauladan Gus Dur

Kanjeng Nabi Muhammad SAW pernah tidur di lantai tanah dengan hanya beralas tikar daun kurma. Maka, ada tanda-tanda guratan pada pipinya yang mulia ketika beliau bangun. Hal yang hampir sama diamalkan mantan Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang beberapa tahun lalu kembali ke haribaan Sang Khaliq.

Pada 1995, Gus Dur tidur dua malam di rumah saya yang sederhana di kampung. Malam pertama dia mau tidur di dipan kayu yang saya sediakan. Tetapi, malam kedua dia memilih sendiri tidur di karpet murahan yang menutup lantai ruang tengah. Gus Dur tampak santai dan tidur amat lelap. Kepalanya hanya tersangga bantal sandaran kursi.

Perihal Gus Dur suka tidur di karpet sudah saya ketahui sejak lama. Ketika naik haji bersama pada 1988, saat tidur di hotel, Gus Dur memilih karpet daripada kasur kelas satu kamar hotel berbintang lima. Tapi, itu karpet kualitas super. Sedangkan saya hanya mampu membeli karpet murah yang kasar, lagi pula debunya tak pernah disedot.

Kami percaya, Gus Dur melakukan semua itu dengan enak, tanpa pretensi apa pun. Tapi, istri saya menjadi tak bisa tidur dan sepanjang malam sering mengusap air mata. Saya pun merenung dalam kesadaran bahwa semua perilaku orang berilmu mengandung pelajaran. Maka, pelajaran apa yang sedang diberikan Gus Dur kepada kami?

Bertahun-tahun pertanyaan itu mengusik jiwa saya. Akhirnya saya mendapatkan jawaban dan mudah-mudahan mendekati kebenaran. Dengan rela tidur di lantai, Gus Dur sesungguhnya sedang mengajari kami menyadari hakikat diri bahwa manusia sehebat apa pun sesungguhnya tidak ada apa-apanya. Kemuliaan adalah hak Allah semata. Maka, manusia, siapa pun, tidak pantas merasa mulia, tak pantas minta, apalagi menuntut dimuliakan. Jadi, semua manusia sepantasnya rela tidur di lantai karena sesungguhnya tak ada kemuliaan baginya melainkan hak Allah.

Mungkin, jalan pikiran ini terlalu nyufi. Maka, saya mulai mencari jawaban di wilayah sarengat (syariat, Red). Rasanya, saya menemukan jawabannya, yakni pada rukun Islam yang pertama, syahadat. Setelah syahadat (taukhid) diucapkan fasih dengan lisan, dibenarkan dengan akal yang dipercaya dengan hati. Lalu? Seperti rukun Islam yang lain, syahadat sebenarnya menuntut implemantasi dalam bentuk perilaku nyata sehar-hari. Kalau tidak syahadat, hanya akan mewujud dalam wilayah simbol yang tidak melahirkan ihsan.

Orang Islam mana yang tidak tahu bahwa syahadat adalah kesaksian bahwa tidak ada ilah (Tuhan, Red) selain Allah? Semua tahu, mengerti, dan yakin. Tapi, siapa yang sudah mengimplementasikan itu dalam kehidupan nyata? Kita memang sudah menjaga kebersihan syahadat dengan tidak menyembah berhala, tidak percaya dukun, bahkan mungkin tidak memberhalakan harta maupun kedudukan. Itu sudah hebat sekali. Namun, masih ada pertanyaan kritis yang menunggu dijawab: apakah karena sudah bersyahadat, kita tidak lagi memberhalakan diri dalam segala bentuk dan manifestasinya?

Merasa diri mulia, istimewa, atau lebih ini lebih itu daripada orang lain adalah manifestasi bentuk-bentuk awal pemujaan atau peng-ilah-an diri. Tentu saja hal itu menodai keikhlasan syahadat. Sebab, hanya Allah yang sejatinya mulia, sejatinya istimewa, dan serbalebih daripada makhluk mana pun. Oleh karena itu, siapa pun yang ingin memelihara syahadatnya akan selalu bersikap tahu diri kapan dan di mana pun.

Selama hampir 30 tahun saya bergaul dengan Gus Dur, sikap tahu diri itulah yang tampak dan terasa memancar dari kepribadiaanya. Dia hormat kepada yang tua, sayang kepada yang muda, dan amat bersahabat dengan teman seusia. Rasa setiakawannya yang mendalam menembus batas ras, agama, status sosial, bahkan batas kebangsaan.

Dalam satu kalimat, Gus Dur adalah orang yang sangat tahu diri dan merasa dirinya biasa, sama dengan orang lain. Itulah pelajaran dan keteladanan yang saya dapatkan. Itulah cara Gus Dur mengajari saya memelihara syahadat. Caranya, tidak menganggap diri mulia atau istimewa karena keduanya adalah hak Allah.

Dengan demikian, saya mengerti mengapa Gus Dur rela dan enak saja tidur di lantai rumah saya yang sederhana. Agaknya karena syahadat yang telah terhayati mencegah dirinya merasa istimewa atau merasa sebagai manusia mulia. Sementara kebanyakan kita, karena tidak menghayati syahadat, sering merasa diri mulia atau terhormat, atau bahkan menuntut kehormatan. Padahal, sikap seperti itu jelas mengurangi mutu kesaksian bahwa tidak ada ilah selain Allah. Wallahu a’lam.
(Oleh:  Ahmad Tohari, budayawan)

Sumber : http://www.sarkub.com/

Selasa, 05 Juni 2012

Sekitar Meknes


A. Volubilis.
Volubilis atau Oualili dalam sebutan Arab-Maroko, terletak 18km kea rah utara kota Meknes. Volubilis didirikan di atas pemukiman Carthaginian, kira-kira pada abad ke-3  pada masa penaklukan Kekaisaran Romawi melalui Afrika Utara. Kota Volubilis berfungsi sebagai pos administrasi paling barat Romawi di Afrika Utara. Setelah di tinggslksn oleh Roma, kota ini terkena gempa bumi pada akhir abad ke-4 dan pada 1700-an. Barulah pada awal 1900-an, Perancis menemukan kembali sisa-sisa Volubilis. Disarankan untuk pengunjung bekas kota kuno Romawi ini agar membawa penututp kepala dan air, kerena selain tidak ada tempat untuk berlindung juga udara di kawasan reruntuhan ini cukup panas, terutama sekali di musim panas.
Bersebelahan dengan Volubilis, terdapat sebuah museum besar pusat arkeologi masih dalam proses pembangunan yang di rencanakan mulai tahun 2011 akan di buka untuk umum.

B. Zerhoun  Moulay Idriss.
Sebelum memasuki Volubilis, 14 km dari Meknes terdapat kota kecil namun padat penduduk di sekitar bukit bernama Zerhoun Moulay Idriss. Kota ini di dirikan oleh Moulay Idriss II sebagai kota suci umat Islam pada masanya. Kesucian dan kemuliaan Xerhoun Moulay Idriss masih terasa sampai saat ini dengan di gelarnya moussem (pesta) suci tahunan sebagai penghargaan untuk para pendiri Zerhoun Moulay idriss.



*Sumber: Buku Keterangan Singkat Maroko. Di terbitkan oleh KBRI  di Maroko. 

Kota-kota Selatan Maroko

A. Agadir.
Agadir dalam bahasa berber berarti “dinding” yang direduksi dari bahasa fenisisa. Sebagai kota panatai, saat ini Agadir menjadi kota pesisir Maroko paling spektakuler setelah di bangun kembali akibat gempa bumi yang melanda pada tahun 1960. Berdekatan dengan pegunungan Atlas dengan suasana panorama pantai yang indah dan cuaca yang bersahabat menjadikan Agadir sebagai model modern kota pantai Samudera Atlantik yang banyak menyerap dan meningkatakan wisatawan di hapir setiap tahunnya.

                                                                 
B. Laayoune.
Kota berpenduduk sekitar 200 ribu jiwa ini berada di bagian utara gurun sahara. Di musim semi akan di temukan langitnya yang biru dan masyarakatnya yang hangat. Laayoune yang dalam bahasa arab  berarti “Mata air”. Saat ini, kota yang berada di sepanjang Samudera Atlantik ini, di kelola oleh Maroko sejak 1975 setelah di tinggalkan oleh penduduk Spanyol. Konflik kepentingan antar maroko dengan Pihak Polisario sedikit banyak mempengaruhi perkembangan kota tempat sebagian besar komunitas Saharawi Maroko ini.



C. Dakhla.
Terletak di semenanjung yang berada di pantai barat Afrika, membuat kota ini eksotik dan cocok di kembangkan menjadi pelabuhan yang menghubungkan menjadi pelabuhan yang menghubungkan Afrika dan Amerika.







D. Boujdour.
Pengaturan kota yang sederhana, pelabuhan nelayan, sebuah mercusuar yang sedikit menjorok ke laut dan pantai di selatan kota, adalah sepenggal gambaran kota yang terletak di Sahara bagian barat ini.













Sumber :Buku Keterangan Singkat Maroko. Di terbitkan oleh KBRI  di Maroko. 

Pengumuman seleksi Beasiswa Ke Australia

Jakarta, NU Online
Sebagai tindak lanjut pendaftaran program beasiswa ke Australia, PBNU mengumumkan nama calon yang berhak mengikuti ujian yang diselenggarakan pada hari Jum’at, 11 Mei 2012 di gedung PBNU pukul 14.00 membawa kelengkapan administrasi. Materi ujian adalah ke-NU-an dan Test Potensi Akademik (TPA)

Formulir aplikasi harap didownload di http://australiaawardsindo.or.id dan diisi dengan tinta hitam serta dikumpulkan pada waktu ujian.

Kelengkapan administrasi yang harus dibawa
1. Copy akte kelahiran (x3)
2. Copy KTP (x3)
3. Curriculum Vitae (x3)
4. Hasil test IELTS or TOEFL, maksimal tahun 2011 (1 x asli dan 2 x copy)
5. Copy ijazah Universitas (x3)
6. Copy transkrip akademik (x3)
7. Pemohon untuk tingkat Masters harus menyertakan dokumen-dokumen S1;
8. Pemohon PhD harus menyertakan dokumen-dokumen S2
9. Pemohon PhD harus mendapat reverensi dari pembimbing di S2
10. Pemohon PhD harus menyertakan desain riset (halaman 7 formulir aplikasi)

Dokumen tambahan yang disyaratkan jika lolos dalam interview

1. Pas Foto (3cm x 4cm);
2. Terjemah dalam bahasa Inggris ijazah universitas
3. Terjemah dalam bahasa Inggris transkrip akademik
4. Publikasi ilmiah (jika ada)
5. Terjemah dalam bahasa Inggris akte kelahiran


Berikut peserta beasiswa S2 yang berhak mengikuti test
1. Mohamad Dliyaul Haq, Pati
2. M. Dhuha Aniqul Wafa, Rembang
3. Nooriyah Noorunnisa, Jepara
4. Asiyah Lu'lu’ul Husna, Ngoro Jombang
5. Mohammad Isna Wahyudi, Sleman Yogyakarta
6. Hj. Neneng Retna Kurnia, Batam Indonesia
7. Nur Utami Fauziyah, Rogojampi-  Banyuwangi
8. Mohammad Nadhir Muamar Cibiru Bandung
9. Mohammad Ibrahim Hamadani, Jakarta Pusat
10. Achmad Fawaid Paiton Probolinggo 
11. Airin Islahiatin,  Gresik
12. Sulasmi Yogyakarta
13. Abdul Wafi, Pamekasan
14. Mohammad Ikhwanuddin Malang
15. Ashari Tuban
16. Alim Syariati, Ternate Maluku Utara
17. Lia Rosida NTB
18. Fatikhatul Khoeriyah Lampung Timur
19. Ahmad Tajudin Arafat Kudus
20. Aida Hidayah Demak
21. Neneng Bisyaroh Sidoarjo
22. Hamam Faizin Sleman
23. Endang Istianti Cengkareng Jakarta Barat
24. Muhammad Fadlullah Ponorogo
25. Nurhidayatulloh Sleman, DIY
26. Akhmad Qowi Rais Demak
27. Khairul Akhmad Lombok Tengah
28 Yuyun Wardatul ‘Uyun Malang
29. Mohammad Juahari Sofi Demak
30. Rosidah Dharmasraya- Sumatra Barat
31. Fiki Dzakiyati Pekalongan
32. Yunita Ratnasari Banyuwangi
33. Muhammad Nur Arifin Jepara
34. Lu’luatul Fuadiyah Kendal
35. Wahyu Dwi Warsitasari Trenggalek
36. Abd. Latif, Malang
37. Mochammad Ichsan Malang
38. Yeni Seprihatin Metro, Lampung
39. Karyadi Ngadirego Semarang
40. Fatriyatun Ni’mah Gresik
41. Umi Nadziroh Grobogan
42. Fatkhur Rahman Lamongan
43. Siti Maspuah Fitrianingsih Rembang Jawa Tengah
44. Ajar Pradika Ananta Tur Kebumen
45. Ahmad Jamalul Fuad Tuban
46. Asmar Riska Noor Viana Jombang
47. Mokh. Afifuddin Pasuruan
48. Hendra Hidayat Kota Depok
49. Atik Muttaqin Sleman Yogyakarta
50. Mohammad Kholis Khamdy Tambora Jakarta Barat
51. Moh. Nurul Shobah Tanah Abang Jakarta Pusat,
52. Isye Rahman Ciampea Bogor
53. Siti Chalimatus Sa’diyah Lamongan
54. Abu Ali Al-Khusain Demak Jawa Tengah
55. Mohammad Shohibussirri Ciputat Kota Tang-Sel
56. Afroni Pemalang
57. Dwi Ike Kurniawati Gresik
58. Ahmad Yusuf Purnama Pandeglang
59. Imas Istiani, Kuningan Jawa Barat
60. Vina Risa, Lemah Abang Sindanglaut Cirebon
61. Akhmad Munir Jember
62. Abdur Rofik Pemalang
63. Rika Susanti Depok, Sleman
64. Abdur Rosyid Jombang
65. Tantri Sundari Tulungagung
66. Faza Nailul Muziya Lamongan
67. Ahmad Nurul Furqon  Kp Rambutan Ciracas Jakarta Timur
68. Ratih Febrina Dwiyanti Probolinggo
69. Hartanti  Panggungharjo Sewon Bantul
70. M. Tolkhah Adityas Turi, Sleman
71. Mohamad Wildan Albi Magelang
72. Hasna Wihdatun Nikmah Mranggen Demak
73. Hernalia Citra Dewi Cileungsi Bogor
74. Siti Aisyah Farhatin Gunungputri Bogor
75. Ade Rizki NurbaetyKlapa Nunggal-Kab. Bogor
76. Hidayatur Rohmah Pasuruan
77. Lailiyatus Sa’diyah Gendeng, Yogyakarta
78. Izzatin Kamala Pati Jawa Tengah
79. Nur Azizah Ulya Pati
80. Khuslan Shodiq Solokuro Lamongan
81. Emha Paisal Umari. Oebobo, Kota Kupang
82. Naillul Hana Laweyan Solo
83. Ahmad Nurcholies Kadupandak Banten
84. Imma Rohmawati Bandung
85. Komarudin A Banyuwangi
86. Nurul Prihantini Kedungrojo Plumpang Tuban
87. Etika Madang Raya Oku Timur Sum-sel
88. Imam Azro’i Rembang Jawa Tengah
89. Devi Tamlikho, Karangrejo, Tulungagung
90. M. Happy Nur Tsani Kedungbanteng Purwekerto Kab. Banyumas
91. M. Syafaudin Montong
92. Lina Hasnawati  Mranggen Demak
93. Lia Arief Muftiah Semarang
94. Abdul Somad Ciwaringin Cirebon
95. Rohmad Saleh Sukaadana Timur Lampung Timur
96. Heru Supatra Wringin Semarang
97. Dewi Rini Anggraeni Kebon Jeruk Jakarta Barat
98. Mufty Shulthony Cisarua Bogor
99. Kharis Mudakir Yogyakarta
100. Sigit Santoso Sukoharjo
101. Mohammad Ana Zamzami Sumbergempol,Tulungagung
102. Faida Guluk-Guluk Sumenep
103. Ulfatuzzuhroh Tegalsari, Banyuwangi
104. Muhamad Ibrahim Hamdani Jakarta Pusat
105. Zuli Ngafifah Garum Blitar
106. Siti Aisyah Farhatin Gunungputri Bogor
107. Suparzan Pemenang Lombok Utara
108. Ahmad Faisal Serang Banten
109. Lina Machwiyyah Sragen
110. Fajar Hamzah Makasar
111. Muhamad Nurcholis Ngawi
112. Agus Ahmad Suaidi Salatiga
113. Abra Puspa Ghani Talattov Pejaten Timur Jakarta
114. Dwi Prapti Asih Cilegon Banten
115. Muhammad Shofin Soegito Pisangan Barat Ciputat Tangerang
116. Desy Tahmila Pratama Cilangkap Cipayung Jakarta Timur
117. Ana Ainiyatul Farihah Banyakan Kediri
118. Febri Falasifa Karawaci Baru Tangerang Banten
119. Imam Muhtarom Pejaten Barat Pasar Minggu JakSel
120. Maimun Syah Cadek Permai Aceh Besar
121. Maslihatul Bisriyah UIN Malang


Peserta test beasiswa S3


1. Rachmat Hidayat Jember
2. Muhidin Purwakarta Jawa Barat
3. Andrian Aziz Widodo Rawalumbu, Bekasi
4. Muhammad Yunus Manyaran Gresik
5. Mohammad Hasan Basri Palengaan Pamekasan
6. Yenni Luthfiana Ngering, Gempol Kab.Pasuruan
7. Moch. Saefullah Tuban
8. Farnia Sari Pisangan kec. Ciputat Timur
9. Achmad Badrun Kurnia Tembelang Jombang
10. Dian Ferricha Blitar
11. Nur Akhlis Pare Kediri
12. Habib Sulton Asnawi Seputih Jaya, Bandar Lampung
13. Haryadi Nganjuk
14. Salamet Herianto Sumenep
15. Mohammad Hadi Makmur Sumbersari Jember
16. Linda Dwi Erianti Sumbersari Jember
17. Mohammad Chusnul Khitam Lamongan
18. Wakhit HasimTelon, Cirebon
19. Irul Hidayati Krian Sidoarjo
20. Kamarudin Sumenep
21. Siti Nurul Hidayah Trenggalek
22. Syariati Alim Ternate Maluku Utara
23. Suci HanifahKaliuarang Jogjakarta
24. Siti Aimah Banyuwangi
25. Muhammad Hatta Banda Aceh
26. Mohammad Ahmad Fulka Sa’dibih Widang Kab. Tuban
27. Ahmad Nuttaqin Abdul Hamid Arjawinangun Cirebon
28. Naeli Rosyidah Banyumas
29. Suci Hanifah Harjobinangun, Pakem
30. Sutomo Malang
31. Agus Ihwan Mahmudi PKT Bontang
32. Fahrur Rozi Kroya Cilacap
33. Mohamad Syukron Mantri Jeron Yogyakarta
34. Nur Habibi, Kebon Jeruk
35. Fatkhullah Munadi Pemurus Luar Banjarmasin
36. Ahmad Anfasul Marom Bojonegoro
37. Ahmad Zayadi Probolinggo
38. Haryono Yogyakarta
39. Zaenal Arifin Pogalan Trenggalek
40. Misbahul MunirKarangsari Tuban
41. Uswah Hasan Wonosobo
42. Yusuf Suharto Jombang
43. Hatta Abdul Malik Semarang
44. Ibnu Fikri Kendal
45. Jisman Majid Ternate Maluku  
46. Ali Ashari Malang
47. Abdul Gofur Indramayu
48. Anis Fuadhah Ponggok Blitar
49. Hasan Demak
50. Fatkhur RazhiSurabaya
51  Jisman Majid Ternate  Maluku Utara

Ulama Maroko Dukung PCINU

Rabat, NU Online
Selama seminggu Pengururs Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Maroko mengutus delegasinya untuk mengunjungi beberapa pejabat tinggi, ulama, dan tokoh masyarakat Maroko yang sangat berpengaruh di Negeri seribu benteng. Kunjungan ini digelar dalam rangka pengenalan PCINU Maroko dan meminta dukungannya dari para tokoh agama Maroko.

Beberapa tokoh yang dikunjungi antara lain adalah kepala Biro kementerian wakaf dan urusan Islam, Direktur ISESCO (Islamic Educational, Scientific, and Cultural Organization), Maktab Majlis Ilmi a’la, Pendiri Jurusan Dirasat Islamiyyah di seluruh Kampus di maroko, Belbachir, Ketua Yayasan Kattaniyyah (Aliran Thariqah Kattaniyyah), dan beberapa Dosen Senior di Maroko.

Sebagaimana diungkapkan oleh kepala Biro kementerian wakaf dan urusan Islam Maroko, Abdellatif Begdouri Achkari masih bersedia memberikan beasiswa bagi Kader-kader NU yang memiliki semangat studi islam di Maroko. Beliau ini pada tahun 2010 telah memberikan beasiswa  bagi kader-kader NU sebanyak 14 orang, jenjang S1 dan S2.

Selain itu, Sekjen Majlis Ilmi A’la juga telah bersedia untuk bekerjasama dengan PCINU Maroko. Beliau akan mengundang kader-kader NU dalam setiap event-event yang diselenggarakan oleh Majlis ilmi, baik A’la(pusat) maupun Mahalli(daerah).

Direktur kebudayaan dan komunikasi ISESCO, Dr. Mustafa A. Ali juga menyambut baik adanya PCINU di Maroko ini. Bahkan Beliau telah memberikan buku-buku terbitan ISESCO dengan mempersilahkan kami untuk memilihnya sendiri sesuai kebutuhan kader NU dan Organisasi.

Dalam kunjungan ini diikuti langsung Oleh ketua tanfidziyah PCINU Maroko (Muannif Ridwan), Rois Syuriah (Alvian Iqbal zahasfan), Ketua panitia Konfercab I PCINU Maroko (Marajo Nasution) dan ketua Fatayat (Durrotul Yatimah) serta beberapa pengurus lainnya.

Muannif mengatakan, “Kunjungan ini kami maksudkan untuk memperkenalkan PCINU Maroko, meminta dukungan, dan kerjasamanya dalam program-program yang akan dilaksanakan ke depan serta untuk mempermudah dalam mendapatkan legalisasi dari pemerintah Maroko yang sekarang sedang dalam proses pemberkasan. ”

“Untuk menindaklanjuti hal ini, kami akan membahasnya lebih lanjut dalam acara Konfercab I PCNU Maroko yang akan kami selenggarakan awal Juli nanti dengan agenda Khusus, yaitu forum dialog PCINU Maroko dengan Ulama-Ulama Maroko,” tambahnya.

Kami tidak lupa mohon dukungan dan do’a dari PBNU agar paham ASWAJA NU semakin membumi di negeri matahari terbenam ini. Mengingat ulama-ulama Maroko sangat mengagumi ulama-ulama NU dan perkembangan Islam di Indonesia.

Minggu, 03 Juni 2012

Universitas NU, Berakar Nilai Pesantren, Membangun Kultur Ilmiah

NU Online. Perguruan tinggi Islam di Indoensia masih menyimpan pertanyaan. Sumber dan arah pendidikan sering terasa jauh dari idealisme pendidikan tinggi Islam. Sebagian terlalu liar sehingga melunturkan nuansa keislamannya, sebagian yang lain terlalu kolot dan tidak ramah. Lalu bagaimana dengan Perguruan Tinggi NU? Adakah revitalisasi atau adaptasi pendidikan model pesantren yang lazim di NU? Apa yang harus dilakukan para kader potensial NU untuk mewujudkan semua ini? Berikut hasil perbincangan Mahbib Khoiron dari NU Online dengan Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta Drs HM Mujib Qulyubi, MH, Rabu (7/3), di kantor STAINU Jl. Kramat Raya 164, Jakarta Pusat.

Menurut Bapak kondisi Perguruan Tinggi Islam di Indonesia sekarang seperti apa?

Saya masih melihat pendidikan tinggi Islam kita di Indoensia mengalami keguncangan. Setelah dulu kita berkiblat ke Timur Tengah, sekarang Islamic studies kita sudah ke Amerika, Australia, dan lainya. Bersamaan dengan itu perguruan tinggi kita sudah banyak yang menjadi universitas. Sedikitnya sudah ada lima IAIN (Institut Agama Islam Negeri) yang menjadi UIN (Universitas Islam Negeri). Ini berakibat kiblat kita mengalami ketidakjelasan.

Berbarengan dengan itu pula, kita melihat sudah banyak Sekolah Tinggi Agama Islam, IAIN, atau bahkan UIN itu sudah berlomba-lomba untuk membuka fakultas umum untuk disiplin exact, sehingga ciri khas keislaman kita sebenarnya sedang mencari bentuk. Tidak jelas. Ya, secara umum kondisinya seperti itu.

Idealnya, upaya-upaya yang harus dilakukan?

Harus ada pembongkaran kembali tentang disiplin ilmu. Harus ada pembicaraan lebih serius tentang disiplin ilmu menurut Islam. Sehingga nanti, misalnya, ekonomi Islam itu masuk ke mana. Kalau ekonominya masuk ke Dikbud, tapi begitu ada Islamnya masuk ke Departemen Agama. Ada potensi terjadinya rebutan kapling dan tarik menarik. Sehingga kalau ada mahasiswa yang menekuni ekonomi Islam atau ekonomi syari’ah ini kiblatnya ke Depag atau ke Dikbud. Apalagi sekarang ada uforia umat bersyari’ah yang tinggi. Meskipun juga harus digali kembali, maksudnya syari’ah di sini apa. Isinya syari’ahnya itu apa. Jadi sudah tegas, hal-hal yang berbau Islam punya daya tarik tersendiri bagi mahasiswa.

Keguncangan yang Bapak maksud apa terjadi juga di perguruan tinggi NU?

Perguruan tinggi NU tidak bisa dipisahkan dari mekanisme dari perundang-undangan sistem pendidikan nasional yang ada. Mau nggak mau akhirnya ikut terseret, dan ini yang kita sayangkan. Ini terjadi pula di Muhammadiyah, dan perguruan tinggi ormas yang lain. Selama mereka tidak memiliki perguruan tinggi yang representatif, selama belum jelas kita berkiblat ke Dikbud atau ke Menag, ya seperti ini. Ini kita sayangkan. Padahal di NU itu kan punya modal yang sangat bagus di tingkat SLTA yang tidak dimiliki ormas lain, yakni modal pesantren. Di pesantren keilmuan sangat dihargai dan dinamis, tetapi saat memasuki perguruan tinggi, mahasiswa mengulangi materi yang pernah diajarkan. Lulusan pesantren kan umumnya mengambil studi Islam baik di fakultas syari’ah, ushuluddin atau bahasa Arab. NU dirugikannya di sini karena secara keilmuan menjadi turun. Walaupun secara teoritis dan wawasan naik, tapi secara substansi turun. Makanya banyak anak lulusan pesantren di perguruan tinggi merasa santai. Untungnya sebagian dari mereka bisa memanfaatkan waktunya untuk ekstrakurikuler.

Untuk STAINU sendiri, misi dan proyeksi ke depan kira-kira seperti apa?

STAINU ini sesungguhnya sasaran antara. Tentu kita semua sebagai warga Nahdliyyin harus jujur dan sadar bahwa dunia perguruan tinggi kita sangat tertinggal. Kita selama ini memang lebih banyak menggeluti pesantren atau madrasah. Berbeda dengan teman kita di Muhammadiyah yang banyak bergelut di sekolah dan perguruan tinggi. Sadar akan kondisi ini maka kita tidak boleh diam seribu bahasa. Saya yakin, kita nanti akan mempunyai universitas yang bagus.

Nah, STAINU ini ke depan kita proyeksikan menjadi UNU (Universitas Nahdlatul Ulama). Sudah menjadi prioritas bersama dari PBNU baik dari Lembaga Perguruan Tinggi NU (LPT NU), Lembaga Pendidikan Maarif NU, bahkan STAINU sendiri dari dalam. Kami sudah berusaha betul dari berbagai segi untuk mewujudkan berdirinya UNU Jakarta. Dari tiga belas program Pak Said (Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, red) selama priode beliau antara lain yang diprioritaskan adalah STAINU Jakarta menjadi UNU Jakarta. Jadi UNU Jakarta cikal bakalnya ya dari STAINU Jakarta ini. STAINU yang selama ini masih menangani prodi-prodi agama, nanti akan menjadi fakultas agama.

Untuk mengantisipasi tergerusnya unsur keislaman di Universitas Nahdlatul Ulama sebagaimana yang Bapak khawatirkan tadi?

Kita akan memperkuat setiap fakultas itu dengan kebutuhan masyarakat. Tentu akan kita sesuaikan dengan kearifan lokal. Misalnya UNU Jakarta akan mengadakan fakultas pertanian yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Itu untuk yang materi umum. Untuk yang agama, kita sudah punya basis yang cukup bagus di NU. Kita punya tradisi kuat di kitab kuning. Orang NU itu militansinya tinggi dalam hal agama, tapi argumentasinya kurang.

Nah, di UNU nanti itu khususnya untuk fakultas agama bisa memperkuat amaliyah Ahlussunnah waljama’ah secara aqliyah dan naqliyah, sehingga berimbang. Jadi ajaran NU bisa diterima seperti dulu lagi, ya militan tapi sekaligus dibekali dasar alasan yang kuat. Kita kalau menghadapi ideologi transnasional, Wahabi, kan seringnya marah-marah. Kita tidak bisa mengimbangi dengan apa yang mereka lakukan. Kalau mereka mempunyai sistem yang bagus, ya kita bikin sistem yang bagus; kalau mereka bikin buku, ya kita juga bikin buku; kalau mereka dakwah dengan radio, ya kita lewat radio juga. Artinya, kita tidak cukup memperkuat ahlussunnah wal jamaah dengan pidato-pidato, atau dengan teori-teori yang sudah tidak sesuai dengan keadaan zaman. Mengumandangkan Islam rahmatan lil’alamin, ya melalui perguruan tinggi. Itu yang pertama.

Yang kedua, NU ini kan sudah terkotak-kotak oleh politik. Karena longgarnya NU banyak kader-kader politik ini menyebar di mana-mana. Mereka tidak bisa ketemu dalam satu forum sebab mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Nah, yang mempertemukan mereka ini ya perguruan tinggi, karena di tempat ini mereka dijauhkan dari kepentingan politik. Yang ada adalah kepentingan ilmu. Kita berharap dari perguruan tinggi NU yang bagus ini menjadi poros persatuan umat Islam.

Sebagai tambahan, Kongres ISNU (Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama) beberapa waktu lalu ada yang luar biasa. Kita menemukan bukti riil bahwa intelektual dan sarjana kita ada di mana-mana. Latar belakangnya pun bermacam-macam, ada yang dari PKB, PPP, Golkar, PDI, dan lain-lain. Bagaimana mengaktualisasikan ilmu dari ISNU ini? Saya kira ya di perguruan tinggi ini.

Apakah ada upaya menjadikan ISNU sebagai pihak yang turut berkontribusi di perguruan tinggi NU?

Saya kira ini bukan sekadar upaya, tapi keharusan. Bahkan bukan hanya ISNU saja tapi juga LP Ma’arif, LPT NU, Fatayat, dan lainnya. Mereka semua harus kita rangkul. Kalau memang ada kecenderungan untuk menjadi dosen, dan sudah memenuhi kualifikasi, maka kita rekrut. Jaringan di dalam kita perkuat, jaringan di luar juga kita perkuat. Tanpa itu kita sulit menjadi besar. Saya melihat potensi NU yang sangat besar ini masih tercecer-cecer, belum bersinergi secara utuh.

Untuk jaringan keluar, kita harus cukup terbuka dengan siapapun yang sehaluan dengan kita, bahkan luar negeri sekalipun. Kemarin kita sudah memberikan contoh dengan membuka kerja sama dengan Universias Ibnu Thufail, Universias Sa’ad Ibnu Malik, bahkan beberapa waktu lalu melalui PCI NU (Pengurus Cabang Istimewa NU)  Mesir sudah dijajaki untuk bisa bekerjasama dengan Al-Azhar University. Kalau di Aljazair kita sudah kontak Dubesnya, Pak Ni’am Saim, dan beliau sudah welcome. Ini yang akan kita rajut menjadi kukuatan perguruan tinggi NU. Tentu yang bebas dari kepentingan politik praktis.

Kalau semua sesuai harapan Insya Allah akan mengembalikan kebesaran tradisi keilmuan di NU, dan otomatis akan membesaran NU sendiri di mata umat. Saya optimis itu.

Tantangan terbesarnya kira-kira apa?

Pertama, SDM (sumber daya manusia) NU kurang terbiasa mengurus perguruan tinggi yang bagus. Betul kata orang, kita masih terbiasa mengurus madrasah atau pesantren. Sehingga mencari figur yang mendudukan lembaga perguruan tinggi yang tidak seperti pesantren itu susah. Seperti saya ini sering dipanggil dengan sebutan “kiai”, lama-lama menjadi pesantren STAINU ini. Akibatnya, dinamika dan demokratisasi berembug menjadi berkurang. Ini harus kita pisahkan, karena perguruan tinggi harus di-manage sebagaimana perguruan tinggi, bukan seperti pesantren.

Kedua, belum ada contoh yang sukses di NU tentang mekanisme dan cara yang bagus. Termasuk belum seimbang antara kuantitas masa dan jumlah perguruan tinggi yang ada. Kalaupun disebutkan Unisma (Universitas Islam Malang) atau Unwahas (Universitas Wahid Hasyim Jombang), itu kan baru satu-dua. Dibanding Muhammadiyah sangat kontras, jumlah perguruan tinggi mereka justru terlalu banyak. Itu sebetulnya juga bukan dosa orang sekarang karena dulu kita memahami sekolah itu seperti Belanda. Akhirnya menempuh pendidikan di pesantren, kemudian jadi kiai, bikin pesantren lagi, begitu seterusnya. Saya ingat tahun 1977 sarjana pertama NU itu Pak Asnawi Lathif. Itu sekitar tahun 60-70an. Dengan gelar “BA” sebagai ketua IPNU banyak dibanggakan oleh orang NU.

Nah sekarang ini tidak seperti ini lagi kita. Kader kita yang sarjana S2, S3, bahkan guru besar sudah sangat banyak, dan sudah merambah ke perguruan tinggi negeri, tidak hanya di perguruan tinggi Islam tapi juga di ITB (Institut Teknologi Bandung), IPB (Institut Pertanan Bogor), UI (Universitas Indonesia), dan lain-lain. Dan sebenarnya juga sedang mencari-cari bagaimana mereka bisa mengabdi untuk NU ini. Saya di STAINU sudah menerima banyak sekali lamaran-lamaran kader-kader NU yang sudah memenuhi kualifkasi S2 dan S3. Jadi kalau kelak menjadi UNU sudah memenuhi persyaratan administratif kualitatif.

Bagaimana mengatur porsi unsur pesantren dalam universitas tanpa harus menghilangkan idealisme universitas sebagai lembaga intelektual yang demokratis?

Saya kira itu sesuai dengan slogan Pak Said untuk kembai ke pesantren. Saya memaknai “kembali ke pesantren” itu bukan kita harus mondok lagi secara fisik, tapi kita kembali ke nilai-nilai pesantren, yaitu ketulusan, kesederhanaan, dan penghormatan tinggi terhadap keilmuan.

Soal penghormatan kepada kiai saya kira menjadi keharusan. Tapi harus kita pilah mana kiai yang punya kapasitas keilmuan dan spiritualitas yang mumpuni sehingga layak dihormati dan mana yang tidak. Dengan kecenderungan kiai politik yang cukup massif sekarang, hal ini menjadi sulit. Kiai dulu tidak banyak berkecimpung langsung di dunia politik, tapi pengabdiannya terhadap umat luar biasa. Nah, hari ini susah sekali menemukan yang seperti itu.

Jadi unsur-unsur pesantren harus tetap ada di perguruan tinggi. Tradisi pesantren harus ada. Tapi soal demokratisasi juga harus tetap ada. Bukan berarti pesantren tidak demokratis, tapi secara manajemen perguruan tinggi dan pesantren berbeda. Perguruan tinggi tidak harus dipimpin oleh figur sentris seperti pesantren. Manajemennya harus kolektif, demokratisasi intelektual harus tetap ada, budaya filsafat ilmu juga harus ada, dialog harus ada, budaya diskusi juga harus hidup. Jadi tidak boleh semua yang dari dosen dan rektor itu benar. Rektor bisa dikasih masukan dan harus menerima masukan. Model pendidikan pesantren cocok diterapkan dengan kultur pesantren, tapi perguruan tinggi punya kultur lain. []

Kang Said: Umat Islam harus Menyatukan Dua Ukhuwah

Jakarta, NU Onlilne
Umat Islam Indonesia harus menyatukan dua ukhwah, yaitu ukhwah Islamiyah dan ukhwah wathoniyah. Ukhwah Islamiyah artinya sebuah ikatan persaudaraan yang berdasarkan iman dan akidah Islam.

Hal itu ditegaskan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj pada sambutan Pengukuhan Pengurus Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI), sebuah lembaga gabungan 13 ormas Islam, pada Jumat, (1/6) di gedung PBNU, Jakarta.

“Semua umat Islam hendaknya punya spirit persaudaraan. Apa pun madzhabnya, ormasnya, atau tempat kelahirannya,” jelas Kiai Said yang juga Ketua Umum LPOI yang baru dikukuhkan tersebut.

Ukhwah Islamiyah, sambung kiai yang akrab disapa Kang Said ini, akan kokoh, ikhlas, jika tidak dibarengi kepentingan politik dan kekuasaan. Ukhwah yang betul-betul ingin membangun semangat persaudaraan sesama umat Islam.

“Dan tidak berhenti di situ. Ukhwah Islamiyah tidak cukup. Kalau berhenti, akan eksklusif. Akan tertutup dan jumud. Malah dikhawatirkan radikal. Malah bisa-bisa ekstrem. Malah naudzubillah, jadi teroris,” tambah kiai asal Cirebon ini.

Oleh karena itu, sambung Kang Said, ukhuwah Islamiyah harus paralel dengan ukhwah wathoniyah, yaitu persaudaraan sebangsa setanah air, yang berangkat dari budaya, peradaban, tradisi manusia Nusantara ini.

“Tidak pandang agamanya apa. Kita satukan dalam bangsa Indonesia,” ujarnya.

Sebaliknya, kalau ukhwah wathoniyah saja, juga tidak cukup. Dampaknya adalah menjadi Islam abangan atau sekuler. Kedua-duanya, yaitu ukhwah Islamiyah dan wathoniyah harus bersatu dan integral.

Kota Tangeir

Tangeir sebuah kota yang terletak di ujung barat Afrika dan menyimpan sejarah sejak 5 abad sebelum masehi. Kota Tangeir di bangun oleh koloni Kartago pada abad ke-5 sebelum masehi dan mendapatkan kemajuannya setelah masuknya pasukan Islam ke kota tersebut. Dari Tngeir lah asal mula penyebaran islam sampai ke Eropa pada abad pertama hijriyah dengan Tarik Bin Ziyad sebagai panglima perangnya saat itu.

Saat ini Tangeir sedang menjadi kota yang mengalami perkembangan yang sangat cepat dan modernisasi. Proyek-proyek, termasuk diantaranya hotel-hotel berkelas bintang 5 berjejer di sepanjang teluk kota Tangeir. Semua proyek yang serba baru ini, di antaranya kawasan bisnis modern yang disebut Tangeir City Center, Ibnu Bathuta Air Port, stadion sepak bola dan yang paling fenomenalpelabuhan Internasional Tanger-Mediterrania sebagai lini utama sector ekonomi yang paling menjajikan dari kota Tangier. Beberapa tempat yang bisa di ko kunjungi di kota Tangeir antara lain:

A. Ibnu Bathuta Tombs.
Abu Abdellah Mouhammed Ibn battouta seorang sarjana islam keturunan suku berber lahir di Tangeir 25 Februari 1304 dikenal sebgai pengembara yang telah mengelilingi hampir seluruh dunia. Selama 30 tahun perjalanannya, Ia telah mengunjungi Afrika Utara dan Barat, Eropa Selatan dan Timur, Timur Tengah, India, Asia Tengah, Cina hingga Indonesia di sia Tenggara. Kisah pengembaraannya Ia tuangkan dalam buku yang di beri judul dengan, Rihla Ibn Battouta ( Perjalanan Ibn Battota ). Dunia mengenalnya sebagai pengembara dunia ulung bahkan melebihi pendahulunya,  Marcopolo.

B. Port Tangeir-Med
Pelbuhan Tangeir-Mediterrania menjadi pelabuhan terbesar di Afrika dan menjadi proyek startegis dan prioritas pemerintah Maroko dalam pembangunan ekonomi dan sosial di wilayah Maroko Utara. Port Tangeir-med menjadian bagian kebijakan ekonomki Maroko yang berorientasi pada ekspor berdasarkan pada perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa yang akan segera di realisasikan 2012. Sampai saat ini. Pengembanga Port Tangeir-Med terus berlanjut dan di rencanakan selesai hingga pada tahun 2015.

C. Goa Hercules (The Caves of Hercules)
Terletak tepat di bagian barat 14 km dari pusat kota tangier terdapat goa Hercules. Sebuah goa dengan keindahan alam yang menakjubkan dan menyimpan arkeologi besar. Goa inilah yang menjadi tempat peristirahatan tokoh mistis Hercules selama 22 tahun setelah menyelesaikan 12 peperangan yang dipimpinnya. Mulut goa bagian dalam membuka ke rah Samudera Atlantik. Saat pasang , sebagian goa tergenang air danombaknya menyembur ke atas melalui lubang-lubang besar dari tanah dan lereng bukit, sangat mengesankan.

D. Gran Teatro Cervantes.
Gran Teatro Cervantes adalah sebuah gedung teater yang didedikasikan untuk seorang novelis Spanyol, Miguel Cervantes. Berlokasi di jalan Salah Eddine Ayoubi, gedung teater yang dibangun pada tahun 1913 ini tidak terawat dengan baik meskipun telah beberapa kali di renovasi. Saat ini, gedung teater ini sudah tidak beraktifitas lagi meskipun pada masanya menjadi gedung teater paling bergengsi di Afrika Utara dan banyak mengundang insane seni kelas dunia.

E. The Tangeir American Legation Museum (TALM).
Sebuah pusat kebudayaan yang berkembang berupa museum, ruang konferensi dan perpustakaan di jantung kota lama Tangeir. Berlokasi di jalan Amerika 8, The Tangeir American Legation Museum sebagai apresiasi Amerika Serikat untuk para warganya yang tinggal di Tangeir, terutama penulis dan composer Paul Bowles Wing yang sebgaian besar hidupnya di habiskan di Tangeir.


Sumber :Buku Keterangan Singkat Maroko . Di terbitkan oleh KBRI  di Maroko.


PCINU MAROKO

PCINU MAROKO

Followers