Our Partners

Gunakan GSunni Mesin Pecari Aswaja, agar tidak tersesat di situs2 wahabi.. klik sini..

PCINU Maroko

get this widget here

Resources

Catwidget2

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget1

Pages

Catwidget4

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget3

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Minggu, 22 April 2012

Kartini dan Upaya Pembebasan Perempuan



Oleh: Ali Syahbana*           Tepat setiap tanggal 21 April hampir seluruh elemen di negeri kita ramai memperingati ketokohan seorang Radhen Adjeng Kartini.  Koran-koran, surat kabar baik cetak maupun elektronik dan layar kaca televisi seolah sibuk menghidangkan sajian menarik tentang warni-warninya peringatan tersebut. Bermacam wacana terkemas dalam bentuk seindah rupa. Dalam goresan penuh pengamatan. Ada juga yang berbentuk catatan kritis, analisis dan aktualis.

Yah, seperti itulah sebagian potret  apresiasi masyarakat Indonesia terhadap ketokohan RA Kartini. Sosok perempuan Jepara, Jawa Tengah yang dilahirkan pada 21 April tahun 1879. Adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia sebagaimana  keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.

Dalam sepak terjangnya, Beliau dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Meski tidak memeiliki kesempatan merengkuh pendidikan di jenjang yang lebih tinggi, dengan kegemaran membaca dan memahami buku-buku, koran maupun majalah hingga penggagasannya dalam tulisan-tulisan juga ketertarikannya pada kemajuan wanita eropa waktu itu, Beliau punya semangat memajukan pola pikir, kiprah dan peran  wanita Indonesia dengan dalih keberadaan mereka pada status sosial yang rendah. Selain itu, pendapatnya bahwa wanita memiliki hak dan kebebasan menuntut ilmu dan belajar. 

Dengan kegigihan mengangkat derajat kaum wanita Indonesia dan perjuangannya memberikan ide dan gagasan pembaruan untuk kepentingan bangsanya tersebut, beliau pun dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan hari lahirnya diperingati setiap tahun yang dikenal sebagai Hari Kartini.

Ada hal yang patut digaris bawahi dari gambaran diatas, yaitu seorang Kartini merupakan sosok emansipasi wanita yang berusaha mengetengahkan hak-hak mereka (wanita), terutama dalam ranah pendidikan. Seakan kebebasan mereka terjepit oleh suatu hal yang menyebabkan status sosialnya berada pada titik rendah.

Menarik untuk diangkat bahwa penuntutan hak-hak perempuan jauh setelah era Kartini -yang hemat penulis memiliki latar historis memang mengharuskan- banyak dikampanyekan pihak-pihak yang merasa adanya intimidasi terhadap kaum hawa tersebut. Kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa islam secara ajaran memberi perlakukan sama (tidak membeda-bedakan) antara laki-laki dan perempuan.

Agama islam sendiri sebagaimana mengutip apa yang dituturkan Pakar ilmu Al Qur’an, Dr. M. Quraish Shihab, dalam bukunya “Membumikan AL Qur’an” menegaskan bahwa Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan.(lihat QS. An Nisa: 1).

Lebih lanjut Beliau memaparkan bahwa pandangan masyarakat yang mengantar kepada perbedaan antara lelaki dan perempuan dikikis habis oleh Al-Quran. Karena itu, dikecamnya mereka yang bergembira dengan kelahiran seorang anak lelaki tetapi bersedih bila memperoleh anak perempuan:

“Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam-merah padamlah wajahnya dan dia sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan "buruk"-nya berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu”. (QS 16:58-59).

Adapun kaitannya dengan hak berpendidikan beliau melanjutkan bahwa  Al-Quran dengan ke-universalannya telah memerintahkan kepada kaum laki-laki maupun perempuan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin. Al Qur’an juga memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam raya ini, dan hal tersebut tidak lain dari pengetahuan. Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum perempuan.

Kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka masing-masing. Banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan yang menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki. Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah seorang yang sangat dalam pengetahuannya serta dikenal pula sebagai kritikus. Firman Allah swt.: “Bacalah demi Tuhanmu yang telah menciptakan... Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak tahu”. (QS. 96: 1-5). “Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman: "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan..." (QS 3:195).

Walhasil, selain hak berpendidikan tentunya masih banyak hak-hak perempuan lainnya yang bisa mereka raih disegala bidang. Adalah keliru bahwa perempuan telah didiskreditkan kebebasannya, dibelenggu hak-haknya dan ditutup ruang gerak dan kiprahnya. Hanya saja bahwa hak dan kebebasan tersebut tidak serta merta bisa dinikmati dengan seenaknya. Tentu ada norma dan aturan baik secara ajaran agama ataupun tata negara yang ditetapkan juga untuk kemaslahatan kaum perempuan. Selamat memperingati Hari Kartini.
Wallahua’lam bisshawab.

* Santri di salah satu Universitas Maroko.
* tulisan ini didukung referensi: http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini  dan
   http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Perempuan.html

Jumat, 20 April 2012

Ulama Dalam Menyikapi Kejanggalan Al Qur’an

Ulama Dalam Menyikapi Kejanggalan Al Qur’an
Oleh: Ali Syahbana1

Kenitra, 18 April 2012.
Al Qur'an sebagaimana kesepakatan ulama ialah tonggak utama dalam penentuan hukum syariat islam yang secara bebas bisa diartikan sebagai kumpulan firman-firman  Allah swt. yang diturunkan kepada nabi terakhir Muhhamad saw. melalui malaikat jibril selaku diplomat-Nya serta berfungsi sebagai "hudan linnas" (petunjuk bagi siapapun manusianya) dalam merengkuh kebahagiaan dunia dan akherat.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Al Qur'an yang secara proses turunnya diistilahkn ulama "qath’iyyah ats tsubut" (bersumber resmi dan pasti dari Tuhan) ternyata masih banyak ditemui teks-teks yang bersifat "dzanniyah ad dalalah" (relatif maknanya), yaitu adanya teks-teks yang janggal jika dipahami secara tersurat sehingga menimbulkan bermacam interpretasi dikalangan ulama. Sebagai contoh seperti kasus hukum iddah (masa tenggang) bagi seorang wanita janda. Bagaimana bisa disatu sisi teks mengatakan masa tenggangnya satu tahun (lihat: QS. al-Baqarah: 240), disisi lain dikatakan masa tenggangnya hanya 4 bulan 10 hari (lihat: QS. al-Baqarah: 234).

Adanya kejanggalan-kejanggalan tersebut apabila dilahap secara mentah-mentah tentunya akan berakibat fatal dalam mempromosikan islam yang ramah, mudah dan tidak bertujuan memberatkan atau menyusahkan manusia dalam pengamalannya, bahkan mungkin lebih njlimeti (sukar), kaku dan bisa berimbas pada pemahaman yang radikal. sebab keputusan yang dikeluarkan hanya mengacu pada wujud teks yang tersurat semata tanpa menoleh pada beberapa indikasi yang menghendaki makna yang tepat akan teks tersebut. Ditambah terkadang ketidakmampuan akal dalam menafsirkan teks-teks yang tersurat dalam Al Qur’an.

Dalam pemecahan terhadap teks-teks yang -secara tersurat- janggal dan multi tafsir tersebut, para ulama telah memberikan beberapa pendekatan yang bisa dijadikan acuan untuk menyikapinya. Pendekatan atau metodologi semacam ini telah banyak dibeberkan -salah satunya- dalam kitab-kitab ushul fiqh baik oleh ulama klasik maupun kontemporer (modern). (Baca misal: al Muwafaqat karya Imam Abu Ishaq as Syatibi, Juz 4 sub pembahasan “fil umum wal khusus” dst., al Mustasfa karya Imam Al Ghazali, sub pembahasan “al qaul fi an nasikh wal mansukh” dst., Ushul Fiqh karya Dr. Wahbah Zuhaili, dll).

Pertama, Pendekatan takhsisul ‘am (pengkhususan/pengecualian yang umum). Adalah sebuah model pemahaman teks dengan melihat dan mengeluarkan sesuatu yang umum menuju kepada yang khusus. Contohnya sebagaimana keumuman teks yang memberikan pemahaman akan iddah (masa tenggang) wanita-wanita yang dicerai atau ditalak, “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' (suci)“ (QS. Al-Baqarah: 228) yang kemudian adanya pengecualian (takhsis) bagi wanita-wanita yang sedang hamil dengan masa iddah sampai mereka melahirkan kandungannya. (lihat: QS Ath-Thalaq: 4). Pada teks tersebut apabila dipraktekkan pada yang pertama saja maka akan tidak selaras dengan hakikat yang dimaksud.

Begitu juga seperti teks yang berbunyi: “Allah mensyariatkan bagimu (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu  bagian anak laki-laki denga dua bagian anak perempuan ” (QS. An-Nisa’: 11) yang apabila tidak menggunakan pendekatan takhsisul ‘am akan memberikan elaborasi yang tidak tepat dengan “pukul rata” sebuah hukum terhadap anak muslim maupun yang bukan muslim. Padahal pen-takhsis-an sendiri telah lahir sejak zaman Nabi saw., “Orang Islam tidak menerima waris dari orang kafir dan orang kafir tidak menerima waris dengan orang Islam“ (HR. Bukhari dan Muslim).

Kedua, Pendekatan taqyidul muthlaq, yaitu pendekatan yang boleh diartikan sebuah pengikatan sesuatu yang tidak terikat. Seperti kata “raqabah” (hamba sahaya) (lihat QS. Al Mujadalah: 13) yang awalnya tidak terikat kemudian di-qayyid atau diikatkan dengan “mukminah” (lihat QS. An Nisa': 93). Maka ketentuan hukum dari ayat ini ialah siapa pun yang melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa seseorang tanpa sengaja, maka dikenai denda atau diyat, yaitu harus memerdekakan hamba sahaya yang beriman.

Contoh lain ialah sebuah teks yang menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang  mengikatnya. “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah  daging babi...” (lihat QS. Al Maidah: 3). Kemudian teks tersebut di-qayyid dengan lafadz “masfuhan” (yang mengalir) oleh sebuah teks yang artinya: “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”(QS. Al An’am: 145). Sehingga maksud darah yang diharamkan  ialah  “dam-an masfuhan” (darah  yang mengalir). Maka apabila pemahaman berhenti hanya pada teks yang pertama (QS. Al Maidah: 3) maka akan mengakibatkan sebuah blunder dalam penerapan suatu hukum.

Ketiga, Pendekatan tafsirul/tabyinul mujmal, yaitu metode penjelasan terhadap teks yang masih samar maksudnya. Seperti lafadz “shalat” (lihat misal QS. Al baqarah: 43) pada suatu teks Al Qur’an yang masih membutuhkan penjelasan lebih rinci akad maksud dan bentuknya. Shalat yang bagaimana dan seperti apa bentuk praktisnya?. Maka dengan memakai pendekatan ini menjadi jelas maksud dari sebuah teks tersebut. Dan teks-teks yang mujmal (masih butuh penjelasan rinci) kebanyakan diperjelas maksudnya oleh Rasulullah saw. sendiri melalui hadits-haditsnya.

Keempat, Pendekatan naskh mansukh, yaitu adanya sebuah peralihan sebuah hukum dari yang lama menuju yang baru. Dalam artian hukum yang lama pengaplikasiannya telah diganti dengan hukum yang baru  sehingga hukum yang lama tersebut tidak difungsikan lagi.

Misalnya seperti kasus yang telah dipaparkan diawal tulisan tentang hukum iddah (masa tenggang) bagi seorang wanita janda yang pada awalnya selama satu tahun (lihat: QS. al-Baqarah: 240) kemudian dirubah atau diganti hanya 4 bulan 10 hari (lihat: QS. al-Baqarah: 234).

Juga bisa kita lihat pada kasus penetapan hukum masalah arak (khamr) yang pada mulanya Al-Qur’an hanya menyampaikan tentang positif dan negatifnya, kemudian berubah menjadi perintah untuk tidak melakukan shalat saat dalam keadaan mabuk (QS. al-Nisa: 43). Dan terakhir Al-Qur’an menegaskan akan larangan menggunakan atau meminum khamr (QS. al-Maidah: 90-91).

Pada kesimpulannya, beberapa pendekatan diatas setidaknya dapat membuahkan kesadaran bahwa dalam memahami maksud sebuah teks yang secara tersurat terkesan paradoks (berlawanan) dan janggal dibutuhkan seperangkat pisau analisa yang obyektif tentunya, tanpa adanya egoisme, fanatisme, pun sukuisme. Maksud kejanggalan teks disni tidak menafikan ke-otentikan dan validitas Al Qur'an yang sangat mustahil untuk tidak sinkron. Akan tetapi janggal dalam artian apabila teks-teks tersebut dinikmati secara mentah tanpa memperhatikan olahan-olahan yang banyak disajikan para pakarnya sehingga memunculkan pemahaman yang tekstualis, kasat mata, bahkan radikal, jauh dari maksud yang dikehendaki. Dan pemaparan pendekatan tadi tak lebih merupakan bagian kecil dari banyaknya cara yang ditawarkan ulama dalam memahami teks-teks yang butuh keselarasan penafsiran. Wallahua’lam bis shawab.


1 Santri disalah satu universitas Maroko, termasuk alumni PP. Al Ihya ‘Ulumaddin Kesugihan    
  Cilacap - Jateng.

PCINU MAROKO

PCINU MAROKO

Followers