Our Partners

Gunakan GSunni Mesin Pecari Aswaja, agar tidak tersesat di situs2 wahabi.. klik sini..

PCINU Maroko

get this widget here

Resources

Catwidget2

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget1

Pages

Catwidget4

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget3

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Jumat, 21 Desember 2012

Biografi Syekh Mahfudz Termas



*Oleh: H. Ahmad Shohib Muttaqin, Lc.

Syeh Muhammad Mahfudz bin Syeh Abdullah bin Syeh Abdul Manan At-Tarmasi Al-Jawi Al-Makki As-Syafii. Lahir di Termas Jawa Tengah pada tanggal 12 Jumadil Ula 1285 H.
Beliau di usia muda sudah hafal Alquran, kemudian belajar ilmu dasar fiqih dari beberapa ulama Jawa. 

Pada tahun 1291H, Syeh Abdullah (sang Ayah) memanggilnya untuk belajar di Makkah, kemudian berangkatlah Beliau untuk menemui sang ayah dan bermukim di Makkah untuk mempelajari beberapa kitab kepada sang Ayah. Selanjutnya Syeh Mahfudz kembali ke Jawa dan berguru kepada Syeh Sholeh bin Umar  di daerah Semarang untuk mengkaji beberapa kitab di pesantrennya.

Pada kesempatan berikutnya, Syeh Mahfudz  kembali ke Makkah guna menimba ilmu. Disanalah Beliau mengambil berbagai disiplin ilmu dari para ulama, diantaranya ialah Sayyid Abi Bakr bin Muhammad Syatha Al-Makki, yang merupakan guru dalam bidang periwayatan hadits. Syeh Mahfudz juga mengkaji beberapa kitab hadits dan musthalah-nya dari Sayyid Husain bin Muhammad Al-Habsyi Al-Makki yang popular disebut “Ibnu Mufti”. Beliau juga menimba ilmu hadits kepada Syeh Muhammad Said Babashil, serta mempelajari ilmu qira’at 14 dari Syeh Muhammad As-Syarbini Ad-Dimyathi.

Beliau memang serius dan bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu, hingga terlihat kepandaiannya dalam bidang hadits, menguasai fiqih dan ushulnya, serta ilmu qira’at. Sehingga para guru Beliau memberikan izin untuk mengajar.
Diantara murid-murid Syeh Mahfudz yaitu:
1.    Kyai Raden Dahlan (Semarang),
2.    Kyai Muhammad Dimyathi Termas (W. 1354 H),
3.    Kyai Khalil (Lasem) merupakan Sekretaris pribadi Syeh Mahfudz,
4.    Kyai Dalhar (Magelang),
5.    KH. Muhammad Hasyim bin Asy’ari (Jombang),
6.    Kyai Muhammad Faqih bin Abdul Jabbar Al- Maskumbani,
7.    Kyai Baidhawi bin Abdul Aziz (Lasem)
8.    Kyai Abdul Muhaimin bin Abdul Aziz (Lasem),
9.    Kyai Nawawi (Pasuruan),
10. Kyai Abbas Buntet (Cirebon),
11. Kyai Abdul Muhith bin Yaqub (Sidoarjo, Al-Makki).

Selain tersebut diatas, ada juga yang meriwayatkan dari Syeh Mahfudz. Mereka yaitu:
1.    Syeh Habibullah As-Syenqiti (pakar hadits),
2.    Syeh Umar bin Hamdan Al-Mahrusi,
3.    Syeh Ahmad Al-Mukhalilati (ahli Syam, Makkah),
4.    Syeh Muhammad Al-Baqir bin Nur (Jogja),
5.    Kyai Ma’shum bin Ahmad (Lasem),
6.    Kyai Shiddiq bin Abdullah (Lasem, Jember),
7.    Kyai Abdul Wahab bin Hasbullah (Jombang),
8.    Syeh Umar bin Abi Bakr Bajunaid Al-Makki,
9.    Syeh Ali bin Abdullah Banjar Al-Makki,
10. Syeh Muhammad Abdul Baqi Al-Ayubi Al-Laknawi (Madinah),
11. Syeh Abdul Qadir bin Shobir Al-Mundahili Al-Makki.

Metode Syeh Mahfudz mengajar dengan menggunakan bahasa Arab, terkadang Beliau juga menggunakan bahasa Jawa. 

Adapun karya-karya Beliau antara lain:
1.    منهج ذو النظر في شرح ألفية الأثر
2.    موهبة ذي الفضل في حاشية شرح مقدمة بافضل
3.    نيل المأمول حاشية غاية الوصول
4.    إسعاف المطالع بشرح البدر اللامع نظم جمع الجوامع
5.    حاسية تكملة المنهج القويم
6.    غنية الطلبة بشرح الطيبة في القراءات العشر

Demikianlah selayang pandang Syeh Mahfudz Termas. Beliau menghembuskan nafas akhir pada Ahad malam Senin, menjelang adzan maghrib, diawal bulan Rajab tahun 1338 H, di Makkah Al-Mukarramah.



Ditulis di Bakhutmah-Makkah. 
Sumber: terjemah dari kitab “Kifayatul Mustafid li Ma ‘Ala minal Asanid”.

* Wakil Katib Syuriah PCINU Maroko.

Kamis, 22 November 2012

NU Diminta Kelola Pemudanya

Kenitra, NU Online
NU diminta mengelola benturan-benturan yang ada di kalangan NU, khususnya pemuda NU. "Benturan-benturan pemikiran di kalangan pemuda NU butuh pengelolaan yang baik oleh para pengurus NU di semua tingkatan."

Demikian dikatakan Abdul Moqsith Ghazali pada acara diskusi dalam rangka memperingati tahun baru Hijriyah 1 Muharram 1434 H yang diadakan PCI NU Maroko, wisma pelajar STAINU Kenitra Sabtu (17/11).

Dikatakan Moqsith, salah satu penyebab gesekan yang ada di kalangan NU adalah asupan pemikiran Barat yang masuk ke Indonesia. "Inilah yang menjadi tantangan bagi para pemuda NU menyangkut sumber daya manusianya yang cukup kompleks," ujarnya.

Sementar itu, Muhammad Nasirudin yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut mengatakan bahwa pesantren sebagai sentral pendidikan NU harus tanggap terhadap dinamika yang ada. "Para pemuda NU khususnya yang ada diluar negeri dengan dasar pendidikan pesantren harus mampu menjawab tantangan ril ini dan mampu menyikapinya dengan baik," jelasnya.

Pada kesempatan itu, Dubes RI Untuk Kerajaan Maroko H. Tosari Widjaja yang turut hadir menyampaikan tentang pengalamannya yang telah lama berkecimpung  di dalam organisasi Nahdlatul Ulama tentang manajemen di dalam berorganisasi. "Perbedaan di dalam tubuh NU yang tidak dimilki oleh organisasi lain jangan dijadikan sebagai alasan perpecahan. Kita harus tetap saling menghargai antara satu dengan yang lainnya," ujarnya.

Turut hadir dalam diskusi tersebut H. Husnul Amal Mas’ud (Dewan Mustasyar PCINU Maroko), H. Habib Chairul Musta’in (Ketua PPI Maroko), 15 dosen dan guru besar dari Perguruan Tinggi Islam yang sedang mengikuti program "Academic Recharging for Islamic Higher Education (ARFI)" di Maroko, Andy Hadiyanto (Dosen Universitas Negeri Jakarta dan juga dosen luar biasa "Bahasa Indonesia Universitas Mohammed V Agdal, Rabat, Maroko), dan lain-lain.
Sumber 

Selasa, 13 November 2012

Catatan Sepuluh November



Catatan Sepuluh November
Oleh: Ali Syahbana*

Sepuluh November bagi segenap rakyat Indonesia merupakan momen yang bersejarah. Sebab pada angka tersebut, tepatnya 10 November 1945, rakyat Indonesia ‘pontang-panting’ berjibaku mengorbankan keluarga dan nyawa demi mempertahankan  kemerdekaan Indonesia tercinta.

Adalah manuver dahsyat tentara Inggris, dengan sekitar 30.000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perangnya, yang mengharuskan mereka kembali bersinggungan dengan ‘kawan lama’ bernama perang. Dan Alhamdulillah-nya, berkah rahmat Tuhan YME, melalui tekad dan kesatuan serta ikhtiar rakyat Indonesia, tanpa terkecuali santri-santri dibawah komando kyai-kyai kaliber KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya dan juga tokoh muda kaliber Bung Tomo, Surabaya pun selamat dari jajahan Inggris laknatullah ‘alaihim. Kemudian pejuang yang gugur pada momen tersebut, apapun latar belakang dan status sosialnya, mendapat ‘label’ Pahlawan.

Setelah itu, dengan penetapan Hari Pahlawan pada angka sepuluh tersebut, lambat laun term pahlawan menjadi ‘penyakit’ tahunan yang seakan selalu menarik untuk digali maknanya, di ‘pas-pasi’ esensinya dengan konteks kekinian, dan lain sebagainya. Pertanyaannya, masih adakah pahlawan pasca generasi angkatan ‘Sepuluh November’ tersebut?

Kalau boleh ditarik benang merahnya, gelar pahlawan peristiwa 10 November lahir sebab rakyat ‘nekat’ mempertaruhkan nyawa, berani memperpendek nafas kehidupan, dan siap mati gasik, rela tulus ‘ngabdi’ tanpa pamrih demi satu tujuan mulia yaitu kesejahteraan bangsa Indonesia. Dari itu penulis pun setuju jika ada yang mengartikan pahlawan adalah seseorang yang berbakti kepada masyarakat, negara, bangsa dan atau umat manusia tanpa menyerah dalam mencapai cita-citanya yang mulia, sehingga rela berkorban demi tercapainya tujuan, dengan dilandasi oleh sikap tanpa pamrih pribadi. Bahkan jika definisi ini sudah menjadi ijma’ atau kesepakatan kolektif tentu sulit bagi kita untuk men-cap pahlawan terhadap siapapun.

Adapun pahlawan secara kamus bahasa kita ialah orang yang menonjol karna keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran atau pejuang yang gagah berani. Maka orang yang berani membasmi virus korupsi secara kamus disebut pahlawan. Hakim yang tanpa pandang bulu membela kebenaran secara kamus juga disebut pahlawan. Pejabat yang gagah untuk tidak menindas rakyat lagi-lagi menurut kamus masuk kategori pahlawan.

Makna pahlawan jika boleh dipersempit lagi bisa berarti orang yang berjasa secara positif. Sehingga dari sini dipahami bahwa siapapun yang melakukan amaliah atau hal-hal positif masuk kategori pahlawan.  Kedua orang tua kita adalah pahlawan dengan jasa-jasa yang tak terkira. Kyai, ustadz atau guru juga pahlawan dengan ketulusan transfering anugrah ilmu yang diperolehnya. Yang ‘nyebrangi’ nenek-nenek, yang eksis menjaga kebersihan lingkungan, yang istiqamah menahan nafsu untuk ‘nguntit’ brangkas negara, dan sebagainya bisa dianggap pahlawan jika mengamalkan term makna sperti ini.

Namun, yang jauh lebih penting dan bahkan besar diharapkan dari semua teori tersebut adalah upaya tiap-tiap individu untuk mendongkrak jasa-jasa positif baik secara mikro maupun makro. Meneladani -sebagai manifestasi penghormatan dan penghargaan- amaliah hasanah pahlawan-pahlawan terdahulu. Dan bukan malah terkungkung dalam wacana kepahlawanan yang tak berujung. Wallahua’lam bisshawab.

Tetouan, 12 November 2012.

* ‘Santri’ di Universitas Ibn Tofail Kenitra, Maroko.

La Kosbah Edisi Perdana- November 2012



Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan semesata alam, sholawat beserta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita baginda Muhammad Saw.

Alhamdulillah, setelah melewati berbagai proses akhirnya majalah “La Kosbah : "membangun benteng keratifitas dapat diterbitkan dengan tujuan   membangun kreatifitas dan daya nalar semua warga NU di Maroko, mengembangkan gagasan, wacana keilmuan dan intelektualitas. Oleh karnanya, media La Kosbah sebagai wadah penampung daya kreatifitas yang berbentuk tulisan yang dibingkai dengan sebuah kajian.
Pada edisi pertama, kami mengambil tema  kajian tentang “ HAJI”.  Ritual ibadah tahunan ini tak habis-habisnya menjadi topik pembicaraan, yang memebrikan berbagai muatan pesan dari beberapa dimensi sehingga tak lekang dan selalu hangat dalam perbincangan khususnya pada bulan Dzulhijah.
Tema utama kali ini merupakan pemaparan tentang haji dari aspek sejarah dan kebahasaan, ibadah haji sangat kental kaitannya dengan masa lampau, dan hikmah yang terkandung di dalamnnya merupakan manifestasi  perjuangan penuh makna dari pada manusia pilihanNya.

Selanjutnya adalah pembahasan  ritual- ritual ibadah haji dari berbagai dimensi dan muatan yang terkandung didalamnya, berbagai muatan pesan baik secara eksplisit maupun implisit. Prosesi yang dilalui dalam ritual ibadah haji merupakan rangkaian gerak kehidupan secara total, yang akhirnya menjadi pengalaman hidup spiritual yang mengakar secara universal.

Dalam kajian selanjutnya pembahasan tentang ibadah haji sebagai penyempurnaan rukun Islam, serta esensinya secara global merupakan persatuan umat  islam diseluruh dunia. Hal ini sangat erat relasinya dengan politisasi sholat berjamaah yang mana secara makro dapat mengumpulkan semua manusia dalam satu rangkain  sebagai  cerminan akurat dari kestupaduan  umat muslim yang hebat.  Sholat Jama’ah mengumpukan manusia, menyatukan mereka dalam satu barisan untuk berjalan dalam satu tujuan.

Pembahasan ibadah haji  erat relasinya dengan Kurban, bentuk pengorbanan harta sebagai persembahan kepada sang pencipta dan ras berbagi terhadap sesama mengandung muatan pertumbuhan ekonomi, yang mana jika setiap tahun minimal 10 persen yang berkurban maka lahan peternakan akan terus berkembang dan dapat menjadi asset penting dalam pertumbuhan ekonomi.
Pembahasan selanjutnya mengenai tokoh sebagai, figur yang patut diteladani dan cerminan kehidupan yang akan selalu dikenang.

Untuk mendownload silahkan klik link ini: Buletin La Kosbah Edisi Perdana
atau disini: Buletin La Kosbah Edisi Perdana
Simfoni kehidupan tak lepas dari sebuah kisah, cerita dan untaian kata. Sebagi perwujudan   kerativitas seni yang akan mewarnai La Kosbah. 

Akhirnya semoga bisa memberikan manfaat dan pencerahan kepada semua pembaca.

Salam Nahdoh
Tim redaksi.

Minggu, 14 Oktober 2012

Memahami NU dari Perspektif Sosiologis


*Oleh: Imam Suprayogo Tiga
Banyak  penjelasan tentang NU  dari pespektif teologis, sehingga yang muncul misalnya tentang faham aqidahnya, fiqh,  dan tasawwufnya. Tentu hasilnya berbeda tatkala bacaan itu dari perspektif sosiologis. Maka  yang muncul adalah pertanyaan  tentang siapa NU ini sebenarnya ketika dilihat dari kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain.  Jawaban atas pertanyaan  ini kiranya  penting  untuk memberikan gambaran yang  sekiranya mendekati kenyataan tentang  siapa sebenarnya NU itu.

Dilihat dari perspektif  sosiologis,  tatkala  menyebut  NU,  maka yang muncul adalah pertanyaan kemana afiliasi politiknya, apakah ke PKB, yaitu partai politik yang  sejak awal  berdirinya diprakarsai oleh para ulama dan tokoh NU, atau  NU  konsisten dengan  tekadnya, yaitu kembali ke khithah 26.  Menjawab pertanyaan ini jelas tidak mudah. Sebab senyatanya, banyak tokoh NU yang masih berada di PKB,   dan bahkan partai ini memang tempatnya orang-orang NU. Sekalipun sebenarnya diakui, tidak sedikit tokoh NU berada di berbagai partai politik lainnya, bahkan juga ada di PDIP, dan lain-lain.

Tatkala membicarakan NU, juga yang terbayang adalah adanya sekian puluh ribu  pondok pesantren, madrasah,  perguruan tinggi, masjid,  langgar, surau, panti asuhan, bank permodalan, dan lain-lain. Lembaga pendidikan, tempat ibadah, pelayanan sosial dan semacamnya itu tersebar di seluruh tanah air, mulai dari di kota-kota, hingga di pelosok desa.  Jumlah itu sedemikian banyak, sehingga mungkin sekedar  menghitungnya  secara tepat  belum tentu telah berhasil,  dan apalagi hingga melakukan pembinaan secara memadai.

Selain itu, NU juga memiliki kekuatan yang tidak  bisa dianggap  sederhana, yaitu kulturalnya. Kegiatan diba’an, yasinan, tahlil, istighasah, majlis dzikir, dan lain-lain ada di mana-mana.  Kegiatan kultural itu sangat efektif untuk membangun komunikasi dan bahkan memobiliasasi warga NU. Apapun yang terjadi, warga NU tetap menjadi sangat solid.  Banyak orang, mungkin secara organisasi,  berbeda dengan mainstream NU, akan tetapi lewat kulturalnya itu, mereka suatu saat  akan kembali. Oleh karena itu,  istilah kembali ke khithah tidak saja dalam politik, tetapi juga dalam kultural ini.

Dulu  ketika  Gus Dur (alm) diangkat menjadi Ketua PB NU di Situbondo, saya menggambarkan NU bagaikan seekor angsa. Kepalanya kecil, lehernya panjang, dan badannya besar. Antara kepala dan badan angsa  dipisahkan oleh leher yang sedemikian panjang.  Bayangan saya ketika itu, jarak antara  KH Abdurrahman Wahid dengan umatnya,---- wawasan, keilmuan,  pandangannya, dan lain-lain  tampak sedemikian jauh.

Pada waktu itu, atas hasil penglihatan  tersebut, saya  tidak bisa membayangkan bagaimana Gus Dur memimpin orang pedesaan di Trenggalek, kampung saya misalnya.  Bayangan saya, Gus Dur akan berbicara tentang perdamaian dunia, demokrasi,  dan lain-lain, sementara umatnya di Trenggalek hanya  akan mengurus diba’an dan istighosah.  Sekalipun jarak itu jauh,  ternyata komunikasi itu terjadi dengan baik.  Gus Dur menjadi kebanggaan dan pikiran-pikirannya justru  mampu menggerakkan dan menginspirasi anak-anak muda  NU hingga  luar biasa.  Lewat Gus Dur,  anak-anak muda  menjadi bangga dengan NU dan begitu pula  dengan berbagai simbol-simbolnya.

Masih banyak lagi kekuatan NU yang semakin lama semakin tampak hingga tidak mudah digambarkan. Misalnya,  dengan beberapa orang kader  yang  menduduki jabatan strategis di negerei ini,  menjadikan NU  pada saat ini memiliki momentum untuk menjadikan dirinya lebih besar dan kokoh. Di tengah-tengah masyarakat yang ditimpa oleh budaya transaksion, --------berbagai partai politik hanya bisa digerakkan oleh uang,  maka tidak demikian NU. Organisasi sosial  keagamaan ini  dengan  idiologinya mampu menggerakkan  umat tanpa harus bermodalkan dana dan kekuatan besar.

Selain itu, loyalitas dan integritas orang-orang yang mengaku sebagai warga NU  terhadap kyai, organisasi, dan juga simbol-simbol lainnya  sedemikian kuat. Warga NU masih bisa diajak untuk berjuang dan sekaligus  berkorban, dengan memberikan apa saja yang dimiliki untuk kepentingan NU. Kekuatan ini  seharusnya dirawat dengan penuh hati-hati dan sungguh-sungguh. Kekeliruan para pemimpin NU dalam membaca apa yang hidup dan berkembang seperti   itu  akan berdampak besar pada kehidupan NU ke depan.

Kasus-kasus adanya kyai atau ulama secara mendadak ditinggal oleh umatnya  seharusnya dijadikan pelajaran untuk merawat dan mengembangkan organisasi ini. Demikian pula, efektifitas  kegiatan kultural untuk  membangun kohesifitas warga NU tidak kurang pentingnya  untuk diperhatikan dalam upaya membangun organisasi dan pembinaan umat. Hal-hal seperti itu akan sangat penting direnungkan untuk menyongsong NU memasuki usia satu abad, yaitu pada tahun 2026 yang akan datang.

Menjelang peringatan usia satu abad, atau 13  tahun lagi, perlu dilakukan inventarisasi, konsulidasi,  dan bahkan gerak yang lebih dinamis. Inventasrisasi organisasi diperlukan misalnya,  agar  sekurang-kurangnya diketahui mana sebenarnya miliknya dan yang bukan, mana potensi dan mana yang hanya asesoris, mana yang hanya simbol dan mana pula  kekuatan riil  sebagai kekuatan penggerak, dan seterusnya. Kesalahan dalam melihat kekayaannya sendiri akan menaggung rugi.  Misalnya,  lembaga pendidikan yang dulu dirintis oleh tokoh dan ulama’ NU, hanya oleh karena berubah status dan simbolnya, maka kemudian dianggap bukan miliknya.  Itu sekedar contoh kerugian kecil tetapi sebenarnya cukup mendasar. Wallahu a’lam.

Kamis, 11 Oktober 2012

Pancasila dan Keluwesan Ajaran Islam

Oleh: Ali Syahbana*

'Demam' Pancasila biasanya muncul saat momen-momen seperti; Hari Lahir Pancasila, Hari Kesaktian Pancasila atau pelbagai seminar kebangsaan yang bernuansa kebangsaan. Kalau mau dihitung, mungkin sudah ratusan -bahkan lebih- tulisan atau artikel yang berkeliaran membahas Pancasila baik yang bersinggungan dengan sisi sosial, agama dan lain sebagainya. Nah, tulisan ini pun, meski sekedar estafet dari kebanyakan artikel yang beredar, tak pelak 'ikut-ikutan' mencoba meng-ketengahkan Pancasila versi ke-penulisan dan gaya penyampaian penulis sendiri.

Seperti kita ketahui, Pancasila sebagaimana ditetapkan dan tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Ia merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia yang seolah-olah merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia.

Namun menjadi ironis saat belakangan ini banyak bermunculan oknum-oknum atau gerakan-gerakan yang kembali berusaha menjungkalkan Pancasila dan meruntuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI. Mereka berjuang untuk merubah tatanan negara menjadi Khilafah Islamiyah, pendirian negara Islam, pelaksanaan syariat Islam dan sebagainya. Salah satu alasan mereka adalah pandangan dan keyakinan bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan umat manusia.

Lantas, apakah Pancasila sendiri tidak mencerminkan nilai-nilai Islam? Sehingga -menurut mereka- perlu dikubur dan dilenyapkan dari permukaan Indonesia.

Jika kita perhatikan sejarah, Pancasila tidak hanya dirumuskan oleh pemimpin nasional. Namun ada juga tokoh-tokoh bangsa yang berstatus ulama yang urun rembug dalam perumusannya termasuk yang dari kalangan Nahdlatul Ulama kaliber KH Wahid Hasyim dan kalangan lainnya semisal Muhammadiyah.

Dengan keberadaan ulama-ulama tersebut tentu berdampak pada wujud rumusan Pancasila yang islami, pancasila yang secara praktis menampilkan ke-rahmatan lil'alamin ajaran Islam. Bukan Pancasila yang sepi dari nilai-nilai keislaman.

Selain itu, Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, sebenarnya memiliki keselarasan dengan ajaran Islam sebagai agama mayoritas penduduk bangsa Indonesia. Pancasila telah mampu  menopang dan mengakomodir berbagai suku, ras, dan agama yang ada di Indonesia. Keselarasan pancasila dengan ajaran Islam bisa dibuktikan denga klop-nya sila-sila Pancasila dengan apa yang telah tergaris dalam al-Qur’an.

Sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa misalkan, secara luas mencerminkan nilai ketauhidan dan kebebasan dalam berkeyakinan. Warga negara Indonesia diberikan kebebasan untuk memilih satu kepercayaan, dari beberapa kepercayaan yang diakui oleh negara.

Dalam Islam, Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan. Semisal QS. Al-Baqarah ayat 163 yang memiliki arti; "Dan Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa . Tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Murah, lagi Maha Penyayang". 

Dalam kacamata Islam, Tuhan adalah Allah semata, tidak ada tuhan selain Dia. Akan tetapi jika ada keyakinan yang menyatakan Tuhan mereka bukanlah Tuhan sebagaimana yang diyakini umat islam, maka ajaran Islam tidak menentang keyakinan tersebut sebab tidak ada paksaan bagi mereka untuk beragama Islam. Hal ini tentu sesuai dengan rumusan universal Al Qur'an yang berbunyi; “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 256).

Mayoritas kitab tafsir Al Qur'an menyebutkan akan adanya suatu riwayat tentang sebab turunnya ayat ini, yaitu seorang lelaki bernama Abu Al-Husain dari keluarga Bani Salim, Ibnu Auf, mempunyai dua orang anak lelaki yang telah memeluk agama Nasrani sebelum Nabi Muhammad saw. diutus Tuhan sebagai nabi. Kemudian kedua anak itu datang ke Madinah (setelah datangnya agama Islam), maka ayah mereka selalu meminta agar mereka masuk agama Islam dan ia berkata kepada mereka, “Saya tidak akan membiarkan kamu berdua, hingga kamu masuk Islam.” Mereka lalu mengadukan perkaranva itu kepada Rasulullah saw. dan ayah mereka berkata, “Apakah sebagian dari tubuhku akan masuk neraka?” Maka turunlah ayat ini, lalu ayah mereka membiarkan mereka itu tetap dalam agama semula.

Sila kedua yang berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab bisa bermakna bahwa melalui misi bangunan karakter keadilan dan keberadaban manusia, bangsa Indonesia telah meletakkan penghargaan dan penghormatan hak-hak yang melekat pada tiap-tiap pribadi manusia.

Al Qur'an sendiri dengan ayat-ayatnya yang bersifat universal, mencakup segala aspek tanpa kenal zaman wal makan, relevan sampai kapanpun dan dimanapun, telah banyak mengajarkan umatnya untuk bersikap adil, berakhlak mulia, saling menghormati dan menghargai antar sesama. Hal ini salah satunya tercermin dalam surat Al Maidah ayat 8 yang memiliki makna; "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Sila ketiga berbunyi Persatuan Indonesia bermakna bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa bermisikan menyatukan seluruh elemen di Indonesia, bangsa yang satu dan bangsa yang menegara. Dan telah ma'lum dalam konsep Islam akan wujud ajaran untuk selalu menjaga persatuan. Baik persatuan antar umat islam sendiri dengan bingkai "mu'min ikhwah" nya maupun dengan non-islam dalam bingkai kemanusiaannya. (baca missal: QS. Ali Imran: 103 dan QS. Al-Hujuraat: 10).

Begitu juga dengan sila ke empat yang mengedepankan asas musyawarah dengan didasari hikmat kebijaksanaan, pun selaras dengan tatanan islam yang mengajarkan untuk bersikap bijaksana dalam mengatasi permasalahan kehidupan dan bermusyawarah dalam suasana yang demokratis. Dalam surat Ali Imran ayat 159 Allah menegaskan yang maknanya; "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya."

Cerminan nilai-nilai keislaman juga melekat pada sila kelima yang menekankan adanya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam islam teramat banyak konsep-konsep yang bermuatan keadilan. Baik adil terhadap diri sendiri, adil terhadap orang lain, kepada alam ataupun lingkungan. Misi besar Islam yang menyejahterakan umatnya baik di dunia maupun di akhirat tentu belum bisa optimal tanpa diterapkannya nilai-nilai keadilan. Inilah yang menjadikan islam memerintahkan umatnya untuk berlaku adil dalam segala hal. (lihat QS. an-Nahl ayat 90).

Walhasil, Pancasila merupakan bangunan dasar atau ideologi negara yang sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Islam yang luwes dengan rumusan-rumasan globalnya, dengan sifat rahmat bagi penghuni alamnya (rahmatan lil 'alamin) membuat Pancasila bisa 'nyempil' di dalamnya. Dengan begitu, patutlah kita sebagai bagian dari warga negara Indonesia senantiasa berusaha melestarikan dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semoga dengan hal tersebut kita menjadi manusia yang secara tidak langsung mengamalkan nilai-nilai universal ajaran islam. Menjadi umat yang berislam secara praktis, bukan sekedar teoritis atau secara teori belaka. Wallahua'lam bis shawab.
* Penulis adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang sedang belajar di Universitas Ibn Tofail Kenitra, Maroko

PCINU MAROKO

PCINU MAROKO

Followers