Catatan
Sepuluh November
Oleh: Ali Syahbana*
Sepuluh November bagi segenap rakyat Indonesia merupakan momen yang
bersejarah. Sebab pada angka tersebut, tepatnya 10 November 1945, rakyat
Indonesia ‘pontang-panting’ berjibaku mengorbankan keluarga dan nyawa demi
mempertahankan kemerdekaan Indonesia
tercinta.
Adalah manuver dahsyat tentara Inggris, dengan sekitar 30.000 serdadu,
50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perangnya, yang mengharuskan
mereka kembali bersinggungan dengan ‘kawan lama’ bernama perang. Dan Alhamdulillah-nya,
berkah rahmat Tuhan YME, melalui tekad dan kesatuan serta ikhtiar rakyat
Indonesia, tanpa terkecuali santri-santri dibawah komando kyai-kyai kaliber KH.
Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya dan juga
tokoh muda kaliber Bung Tomo, Surabaya pun selamat dari jajahan Inggris laknatullah
‘alaihim. Kemudian pejuang yang gugur pada momen tersebut, apapun latar
belakang dan status sosialnya, mendapat ‘label’ Pahlawan.
Setelah itu, dengan penetapan Hari Pahlawan pada angka sepuluh
tersebut, lambat laun term pahlawan menjadi ‘penyakit’ tahunan yang seakan
selalu menarik untuk digali maknanya, di ‘pas-pasi’ esensinya dengan konteks
kekinian, dan lain sebagainya. Pertanyaannya, masih adakah pahlawan pasca generasi
angkatan ‘Sepuluh November’ tersebut?
Kalau boleh ditarik benang merahnya, gelar pahlawan peristiwa 10
November lahir sebab rakyat ‘nekat’ mempertaruhkan nyawa, berani memperpendek
nafas kehidupan, dan siap mati gasik, rela tulus ‘ngabdi’ tanpa pamrih demi
satu tujuan mulia yaitu kesejahteraan bangsa Indonesia. Dari itu penulis pun
setuju jika ada yang mengartikan pahlawan adalah seseorang yang berbakti kepada
masyarakat, negara, bangsa dan atau umat manusia tanpa menyerah dalam mencapai
cita-citanya yang mulia, sehingga rela berkorban demi tercapainya tujuan,
dengan dilandasi oleh sikap tanpa pamrih pribadi. Bahkan jika definisi ini
sudah menjadi ijma’ atau kesepakatan kolektif tentu sulit bagi kita
untuk men-cap pahlawan terhadap siapapun.
Adapun pahlawan secara kamus bahasa kita ialah orang yang menonjol karna
keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran atau pejuang yang gagah
berani. Maka orang yang berani membasmi virus korupsi secara kamus disebut
pahlawan. Hakim yang tanpa pandang bulu membela kebenaran secara kamus juga
disebut pahlawan. Pejabat yang gagah untuk tidak menindas rakyat lagi-lagi
menurut kamus masuk kategori pahlawan.
Makna pahlawan jika boleh dipersempit lagi bisa berarti orang yang
berjasa secara positif. Sehingga dari sini dipahami bahwa siapapun yang
melakukan amaliah atau hal-hal positif masuk kategori pahlawan. Kedua orang tua kita adalah pahlawan dengan
jasa-jasa yang tak terkira. Kyai, ustadz atau guru juga pahlawan dengan
ketulusan transfering anugrah ilmu yang diperolehnya. Yang ‘nyebrangi’
nenek-nenek, yang eksis menjaga kebersihan lingkungan, yang istiqamah menahan nafsu
untuk ‘nguntit’ brangkas negara, dan sebagainya bisa dianggap pahlawan jika
mengamalkan term makna sperti ini.
Namun, yang jauh lebih penting dan bahkan besar diharapkan dari semua
teori tersebut adalah upaya tiap-tiap individu untuk mendongkrak jasa-jasa
positif baik secara mikro maupun makro. Meneladani -sebagai manifestasi
penghormatan dan penghargaan- amaliah hasanah pahlawan-pahlawan terdahulu.
Dan bukan malah terkungkung dalam wacana kepahlawanan yang tak berujung. Wallahua’lam
bisshawab.
Tetouan, 12 November 2012.
* ‘Santri’ di Universitas Ibn Tofail Kenitra, Maroko.
Comments :
0 komentar to “Catatan Sepuluh November”
Posting Komentar