Our Partners

Gunakan GSunni Mesin Pecari Aswaja, agar tidak tersesat di situs2 wahabi.. klik sini..

PCINU Maroko

get this widget here

Resources

Catwidget2

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget1

Pages

Catwidget4

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget3

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Minggu, 14 Oktober 2012

Memahami NU dari Perspektif Sosiologis


*Oleh: Imam Suprayogo Tiga
Banyak  penjelasan tentang NU  dari pespektif teologis, sehingga yang muncul misalnya tentang faham aqidahnya, fiqh,  dan tasawwufnya. Tentu hasilnya berbeda tatkala bacaan itu dari perspektif sosiologis. Maka  yang muncul adalah pertanyaan  tentang siapa NU ini sebenarnya ketika dilihat dari kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain.  Jawaban atas pertanyaan  ini kiranya  penting  untuk memberikan gambaran yang  sekiranya mendekati kenyataan tentang  siapa sebenarnya NU itu.

Dilihat dari perspektif  sosiologis,  tatkala  menyebut  NU,  maka yang muncul adalah pertanyaan kemana afiliasi politiknya, apakah ke PKB, yaitu partai politik yang  sejak awal  berdirinya diprakarsai oleh para ulama dan tokoh NU, atau  NU  konsisten dengan  tekadnya, yaitu kembali ke khithah 26.  Menjawab pertanyaan ini jelas tidak mudah. Sebab senyatanya, banyak tokoh NU yang masih berada di PKB,   dan bahkan partai ini memang tempatnya orang-orang NU. Sekalipun sebenarnya diakui, tidak sedikit tokoh NU berada di berbagai partai politik lainnya, bahkan juga ada di PDIP, dan lain-lain.

Tatkala membicarakan NU, juga yang terbayang adalah adanya sekian puluh ribu  pondok pesantren, madrasah,  perguruan tinggi, masjid,  langgar, surau, panti asuhan, bank permodalan, dan lain-lain. Lembaga pendidikan, tempat ibadah, pelayanan sosial dan semacamnya itu tersebar di seluruh tanah air, mulai dari di kota-kota, hingga di pelosok desa.  Jumlah itu sedemikian banyak, sehingga mungkin sekedar  menghitungnya  secara tepat  belum tentu telah berhasil,  dan apalagi hingga melakukan pembinaan secara memadai.

Selain itu, NU juga memiliki kekuatan yang tidak  bisa dianggap  sederhana, yaitu kulturalnya. Kegiatan diba’an, yasinan, tahlil, istighasah, majlis dzikir, dan lain-lain ada di mana-mana.  Kegiatan kultural itu sangat efektif untuk membangun komunikasi dan bahkan memobiliasasi warga NU. Apapun yang terjadi, warga NU tetap menjadi sangat solid.  Banyak orang, mungkin secara organisasi,  berbeda dengan mainstream NU, akan tetapi lewat kulturalnya itu, mereka suatu saat  akan kembali. Oleh karena itu,  istilah kembali ke khithah tidak saja dalam politik, tetapi juga dalam kultural ini.

Dulu  ketika  Gus Dur (alm) diangkat menjadi Ketua PB NU di Situbondo, saya menggambarkan NU bagaikan seekor angsa. Kepalanya kecil, lehernya panjang, dan badannya besar. Antara kepala dan badan angsa  dipisahkan oleh leher yang sedemikian panjang.  Bayangan saya ketika itu, jarak antara  KH Abdurrahman Wahid dengan umatnya,---- wawasan, keilmuan,  pandangannya, dan lain-lain  tampak sedemikian jauh.

Pada waktu itu, atas hasil penglihatan  tersebut, saya  tidak bisa membayangkan bagaimana Gus Dur memimpin orang pedesaan di Trenggalek, kampung saya misalnya.  Bayangan saya, Gus Dur akan berbicara tentang perdamaian dunia, demokrasi,  dan lain-lain, sementara umatnya di Trenggalek hanya  akan mengurus diba’an dan istighosah.  Sekalipun jarak itu jauh,  ternyata komunikasi itu terjadi dengan baik.  Gus Dur menjadi kebanggaan dan pikiran-pikirannya justru  mampu menggerakkan dan menginspirasi anak-anak muda  NU hingga  luar biasa.  Lewat Gus Dur,  anak-anak muda  menjadi bangga dengan NU dan begitu pula  dengan berbagai simbol-simbolnya.

Masih banyak lagi kekuatan NU yang semakin lama semakin tampak hingga tidak mudah digambarkan. Misalnya,  dengan beberapa orang kader  yang  menduduki jabatan strategis di negerei ini,  menjadikan NU  pada saat ini memiliki momentum untuk menjadikan dirinya lebih besar dan kokoh. Di tengah-tengah masyarakat yang ditimpa oleh budaya transaksion, --------berbagai partai politik hanya bisa digerakkan oleh uang,  maka tidak demikian NU. Organisasi sosial  keagamaan ini  dengan  idiologinya mampu menggerakkan  umat tanpa harus bermodalkan dana dan kekuatan besar.

Selain itu, loyalitas dan integritas orang-orang yang mengaku sebagai warga NU  terhadap kyai, organisasi, dan juga simbol-simbol lainnya  sedemikian kuat. Warga NU masih bisa diajak untuk berjuang dan sekaligus  berkorban, dengan memberikan apa saja yang dimiliki untuk kepentingan NU. Kekuatan ini  seharusnya dirawat dengan penuh hati-hati dan sungguh-sungguh. Kekeliruan para pemimpin NU dalam membaca apa yang hidup dan berkembang seperti   itu  akan berdampak besar pada kehidupan NU ke depan.

Kasus-kasus adanya kyai atau ulama secara mendadak ditinggal oleh umatnya  seharusnya dijadikan pelajaran untuk merawat dan mengembangkan organisasi ini. Demikian pula, efektifitas  kegiatan kultural untuk  membangun kohesifitas warga NU tidak kurang pentingnya  untuk diperhatikan dalam upaya membangun organisasi dan pembinaan umat. Hal-hal seperti itu akan sangat penting direnungkan untuk menyongsong NU memasuki usia satu abad, yaitu pada tahun 2026 yang akan datang.

Menjelang peringatan usia satu abad, atau 13  tahun lagi, perlu dilakukan inventarisasi, konsulidasi,  dan bahkan gerak yang lebih dinamis. Inventasrisasi organisasi diperlukan misalnya,  agar  sekurang-kurangnya diketahui mana sebenarnya miliknya dan yang bukan, mana potensi dan mana yang hanya asesoris, mana yang hanya simbol dan mana pula  kekuatan riil  sebagai kekuatan penggerak, dan seterusnya. Kesalahan dalam melihat kekayaannya sendiri akan menaggung rugi.  Misalnya,  lembaga pendidikan yang dulu dirintis oleh tokoh dan ulama’ NU, hanya oleh karena berubah status dan simbolnya, maka kemudian dianggap bukan miliknya.  Itu sekedar contoh kerugian kecil tetapi sebenarnya cukup mendasar. Wallahu a’lam.

Comments :

0 komentar to “Memahami NU dari Perspektif Sosiologis”