Our Partners

Gunakan GSunni Mesin Pecari Aswaja, agar tidak tersesat di situs2 wahabi.. klik sini..

PCINU Maroko

get this widget here

Resources

Catwidget2

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget1

Pages

Catwidget4

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget3

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Selasa, 31 Juli 2012

Puasa, Hadis dan Halitosis


Oleh Alvian Iqbal Zahasfan*

Ibadah puasa adalah ibadah yang unik, baik dalam cara pengamalannya maupun dalam meraih pahalanya. Adapun cara pengamalannya, ibadah puasa merupakan ibadah salbiyah (ibadah negatif). Dalam arti ibadah puasa menuntut seseorang untuk menahan, mencegah, melarang dan menegasikan. Ini yang tidak ditemukan pada ibadah yang lain. 

Senada dengan paragraf di atas, Imam Al-Ghazali membagi ibadah puasa menjadi tiga kelas. Pertama, ibadah puasa ‘kelas ekonomi’. Yakni seorang hamba yang hanya berpuasa menahan haus, lapar dan syahwatnya saja. Kedua, ibadah puasa ‘kelas bisnis’. Yakni seorang hamba yang hanya berpuasa menahan haus, lapar dan syahwatnya ditambah mencegah anggota-anggota tubuh lainnya dari melakukan maksiat (shaum al-jawarih). Seperti maksiat mata, lisan, tangan, kaki dll. Ketiga, ibadah puasa ‘kelas ekskutif’. Yakni, seorang hamba berpuasa secara totalitas, bukan sekedar menahan haus, lapar dan syahwatnya serta mencegah anggota-anggota tubuh dari melakukan maksiat tetapi lebih jauh ia melarang dan menegasikan hatinya dari mengingat selain Allah Ta’ala. Di manakah kelas kita?

Di samping itu, ibadah puasa merupakan ibadah yang tidak enak. Berbeda dengan ibadah yang lain, seperti shalat, zakat, haji apalagi ibadah yang satu ini, nikah (jima’). Seorang teman—dengan keterbatasan ilmunya—nyeletuk tentang ketidakenakkan ibadah puasa, “Tuhan ini bagaimana! enak-enak tidur kok disuruh makan (sahur). Sedangkan saat perut keroncongan malah tidak boleh makan dan susah tidur.” Celetukan seorang teman tadi justru membenarkan eksistensi pahala besar yang tak terhingga yang dijanjikan oleh Allah melalui lisan Nabi-Nya (Hadis Qudsi), “Puasa itu milikku dan Aku yang membalasnya”. (HR. Al-Bukhari Muslim)
Adapun yang unik dalam meraih pahalanya adalah sebagaimana dituturkan oleh hadis riwayat Al-Bukhari dan Musim di atas bahwa secara spesial Allah akan mengganjar langsung pahala orang yang berpuasa. Jadi orang yang berpuasa bukan hanya meraih dua kebahagiaan tetapi tiga; Pertama, saat buka puasa. Kedua, kala bertemu Tuhannya. Ketiga, ketika diganjar langsung oleh Allah dengan ganjaran yang tidak diketahui seberapa besar ganjaran tersebut dan berbentuk apa.

Hadis Seputar Ramadan
Sepuluh tahun yang lalu (Ramadan 1423 H) KH. Ali Mustafa Ya’qub pernah menulis artikel di koran ini berjudul ‘Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadan’. Kini artikel tersebut telah menjelma sebuah buku dengan judul serupa.

Inti artikel supaya para penceramah di bulan suci Ramadan lebih berhati-hati ketika mencatut sebuah hadis. Karena tidak sedikit hadis seputar Ramadan yang beredar kualitasnya dha’if (lemah) dan sangat dha’if; munkar, matruk (semi palsu) bahkan maudhu’ (palsu).
Diantara hadis yang sangat dhaif dan tidak laik diceramahkan adalah hadis tentang keutamaan bulan Ramadan yang berbunyi, “Bulan Ramadan itu awalnya rahmat, pertengahannya maghfirah dan penghujungnya pembebasan dari neraka.” 

Sebab kedhaifan hadis di atas dapat dilihat dari dua segi. Pertama dari segi sanad (transmisi hadis). Kedua dari segi matan (kandungan makna). Dari segi sanad ditemukan dua perawi yang dhaif. Yaitu Sallam bin Sawwar dan Maslamah bin al-Shalt. Menurut kritikus hadis Ibnu ‘Adiy (w. 365 H) Sallam bin Sawwar itu munkarul hadis (hadisnya munkar/tidak boleh dijadikan hujjah). Sedangkan Maslamah bin al-Shalt adalah matruk (ditinggalkan/tertuduh sebagai pendusta karena prilaku kesehariannya dusta). Hadis matruk dalam segi kelemahannya berada tepat satu level di bawah hadis maudhu’ (hadis palsu). Oleh karenanya para kritikus hadis menyebut hadis matruk sebagai hadis semi palsu. (Lihat buku Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadan karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub MA, hal. 14)

Dari segi matan (kandungan makna) hadis di atas lemah sebab—menurut wakil direktur Dar El Hadith El Hassania, Maroko, Dr. Syekh Khalid Saaqiy—bulan Ramadan awal sampai akhirnya dipenuhi rahmat, maghfirah dan ‘Itqun min an-nar (pembebasan dari neraka). Bukan terkotak-kotak menjadi tiga bagian.
Oleh sebab itu, hadis di atas tidak dapat dijadikan dalil untuk masalah apa pun termasuk fadhail Ramadan (keutamaan bulan Ramadan). Dan tidak layak pula disebut-sebut dalam ceramah atau pengajian Ramadan. Apalagi menurut para kritikus hadis seperti Prof. Dr. Syekh Muhammad Mustafa Azami bahwa menyampaikan hadis dhaif tidak dibenarkan kecuali disertai penjelasan tentang kedhaifannya. (Lihat Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhaddisin, hal. 84)

Ingat! Rasulullah mengancam orang yang sengaja berdusta atas namanya, “Barangsiapa yang sengaja berdusta (membuat hadis palsu/semi palsu) atas namaku maka bersiap-siaplah menempati kursinya di neraka.” (HR. Al-Bukhari)

Kritik Sosial Halitosis
Dulu sewaktu penulis mondok di pesantren pernah menemukan teks hukum fiqih di ‘barebook/kitab gundul atau kitab kuning’ yang menyatakan makruh bersiwak atau gosok gigi bagi orang puasa setelah lengsernya matahari. 

Sejatinya hukum fiqih di atas ‘terilhami’ oleh hadis sahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim, “Sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah ketimbang wangi misik/kasturi”. Kemudian pertanyaan yang muncul apakah benar demikian maksud dari hadis barusan? Yakni orang yang berpuasa dilarang (makruh) gosok gigi saat berpuasa?

Beberapa orang salah dalam menafsirkan hadis di atas sehingga mereka memelihara halitosis (bau mulut) dan enggan membersihkan gigi dan mulutnya. Padahal dengan menyikat gigi pun halitosis tidak akan hilang, tetapi hanya bisa mengurangi saja.

Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan di sini; Pertama, dari pemahaman hadis, sesungguhnya jika kita cermati, hadis di atas sama sekali tidak melarang orang puasa untuk bersiwak/gosok gigi. Bahkan sebaliknya terdapat beberapa hadis yang menganjurkan untuk bersiwak, seperti yang diriwayatkan oleh Amir bin Rabi’ah bahwa “Saya melihat Rasulullah berkali-kali bersiwak ketika beliau sedang berpuasa.” Dan seperti riwayat dari Ummul Mukminin, Aisyah dari Nabi Muhammad, adapun memakai siwak mensucikan mulut yang mana disenangi oleh Tuhan. (HR Bukhari). Menurut Ibnu Battol, pensyarah (penjelas) Sahih Al-Bukhari dari Cordoba, bau mulut orang puasa itu disebabkan oleh lamanya tidak mengkonsumsi makanan dan minuman. Dan kata-kata dalam hadis ‘lebih wangi di sisi Allah’ menunjukkan bahwa bau mulut orang berpuasa akan wangi nanti di alam akhirat. (lihat Syarh Sahih Al-Bukhari juz. 4, Hal. 12)
Ust. Ahmad Zaki menuturkan ada riwayat bahwa Rasul pernah meluruskan penafsiran yang salah dari salah satu sahabat tentang hadis di atas. Sejatinya bau mulut orang berpuasa akan diganti dengan bau minyak misik di surga jika berasal dari hati yang bersih dan hanya mengeluarkan perkataan yang baik (tidak meso/mengumpat, ngomongin orang, dll) saat berpuasa.

Kedua, dari sudut medis, menurut Dr. Samuel Oentoro, MS. dari Klinik Nutrifit yang diamini oleh Dr. Rosa dari Klinik Prorevital, Jakarta sebenarnya menyikat gigi tidak menghilangkan halitosis (bau mulut) orang puasa. Karena bau mulut orang yang berpuasa bukanlah berasal dari gigi atau mulut tetapi dari perutnya. Kosongnya lambung dari makanan dan menurunnya kadar air liur menimbulkan bau yang tidak sedap. Jadi siwak atau menyikat gigi hanyalah untuk membersihkan mulut dan menghilangkan bau untuk sementara waktu.
Ketiga, setelah membaca alasan dari sudut medis maka dari sudut sosial dan akhlak, kita dituntut untuk sering-sering menyikat gigi dan atau memakai larutan penyegar mulut supaya tidak mengganggu orang lain. Baik saat kita akan shalat berjamaah, berbisnis dengan orang lain dan aktifitas lainnya. Bukankah ibadah sosial lebih utama dari pada ibadah personal dan mengganggu orang adalah dosa? Jangan sampai ibadah kita kepada Allah (puasa) mengesampingkan ibadah kita yang bersifat horizontal. 

Sekali lagi, puasa di siang hari tidak melarang kita untuk menyikat gigi. Dan perlu dicatat bahwa interaksi kita bukan hanya dengan sesama muslim. Mereka akan sangat merasa terganggu dengan kehadiran halitosis orang yang berpuasa. Bukankah Islam sangat menganjurkan kebersihan, mewajibkan kesucian dan amat menyukai wewangian? Wallahu a’lam bis sowab [aiz]

*Penulis lahir di Jember, 25 Juni 1983
·  Wakil Ketua PPI Maroko 2011-2012
·  Rois Syuriah PCINU (Pengurus Cabang Istimewa NU) 2011-2013
·  Mahasiswa Pasca Sarjana Dar El Hadith El Hassania, Rabat-Maroko  2010-2013

Comments :

0 komentar to “Puasa, Hadis dan Halitosis”