Our Partners

Gunakan GSunni Mesin Pecari Aswaja, agar tidak tersesat di situs2 wahabi.. klik sini..

PCINU Maroko

get this widget here

Resources

Catwidget2

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget1

Pages

Catwidget4

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget3

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Kamis, 22 Maret 2012

Pemahaman Toleransi Antar Umat Beragam

Pendahuluan
Fenomena maraknya pertikaian antar golongan di kalangan umat Islam nampaknya semakin hari terus berlanjut tiada hentinya, sehingga menimbulkan kecemasan dan ancaman bagi keutuhan umat muslim pada umumnya. Perbedaan pendapat dan pemahaman atas suatu masalah keagamaan telah mengakibatkan umat terpecah-belah menjadi beberapa golongan, baik berupa madzhab, firqah, aliran, organisasi (orpol atau ormas) dan sebutan lainnya.

Sepanjang perbedaan tersebut tidak sampai menimbulkan konflik atau pertikaian tajam yang mengarah kepada ancaman terkoyaknya persatuan dan kesatuan serta ukhuwah di kalangan umat Islam sendiri, kiranya tidak akan jadi permasalahan yang harus ditanggapi terlalu berlebihan. Namun bila hal itu telah dianggap membahayakan dan mengancam keutuhan persatuan muslim bahkan menjadi ancaman atas keutuhan NKRI, maka seluruh umat Islam diharapkan hendaknya mau melakukan introspeksi diri masing-masing (muhasabunnafsi) dan mampu mengendalikan diri agar tidak terjebak ke dalam perpecahan di intern umat Islam sendiri. Karena yang demikian itu hanyalah akan merugikan umat Islam sendiri dan sebaliknya hanya akan menguntungkan pihak lain yang tidak suka terhadap Islam. Makalah berikut akan mengulas pandangan Islam tentang toleransi. Ulasan ini dilakukan baik pada tingkat paradigma, doktrin, teori maupun praktik toleransi dalam kehidupan manusia.

Definisi Kata Toleransi
Menurut Perez Zagorin, dalam bukunya How the Idea of Religious Toleration Came to the West, terbitan Princeton University Press (2003), yang pendapatnya banyak dikutip oleh ensiklopedia dan dijadikan sebagai definisi umum dari makna Toleransi :

“Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.”

Sementara toleransi atau dengan kata lain (Arab: as-samahah) adalah sebuah konsep  untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Karena itu, toleransi merupakan konsep agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama, termasuk agama Islam.

Menurut ajaran Islam, toleransi bukan saja terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam semesta, binatang, dan lingkungan hidup.  Dengan makna toleransi yang luas semacam ini, maka toleransi antar-umat beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan serius. Apalagi toleransi beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi keyakinan manusia terhadap Allah. Ia begitu sensitif, primordial, dan mudah membakar konflik sehingga menyedot perhatian besar dari Islam.

Konsep Toleransi Dalam Islam
Dalam konteks toleransi antar-umat beragama, Islam memiliki konsep yang jelas. Tidak ada paksaan dalam agama , Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami”  adalah contoh populer dari toleransi dalam Islam. Selain ayat-ayat itu, banyak ayat lain yang tersebar di berbagai Surah. Juga sejumlah hadis dan praktik toleransi dalam sejarah Islam. Fakta-fakta historis itu menunjukkan bahwa masalah toleransi dalam Islam bukanlah konsep asing. Toleransi adalah bagian integral dari Islam itu sendiri yang detail-detailnya kemudian dirumuskan oleh para ulama dalam karya-karya tafsir mereka. Kemudian rumusan-rumusan ini disempurnakan oleh para ulama dengan pengayaan-pengayaan baru sehingga akhirnya menjadi praktik kesejarahan dalam masyarakat Islam.

Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah “damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian sering dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’ālamîn” (agama yang mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan. Dalam al-Qur’an Allah berfirman yang artinya, ““dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”  

Di bagian lain Allah mengingatkan, yang artinya: “Sesungguhnya ini adalah umatmu semua (wahai para rasul), yaitu umat yang tunggal, dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah olehmu sekalian akan Daku (saja)”.  Ayat ini menegaskan bahwa pada dasarnya umat manusia itu tunggal tapi kemudian mereka berpencar memilih keyakinannya masing-masing. Ini mengartikulasikan bahwa Islam memahami pilihan keyakinan mereka sekalipun Islam juga menjelaskan “sesungguhnya telah jelas antara yang benar dari yang bathil”.

Selanjutnya, di Surah Yunus Allah menandaskan lagi, yang artinya: “Katakan olehmu (ya Muhamad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawā atau common values) antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah!”  Ayat ini mengajak umat beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan persamaan dan menghindari perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan menghormati. Ayat ini juga mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tawhid, yaitu sikap tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan amat jelas menyuguhkan suatu konsep toleransi antar-umat beragama yang didasari oleh kepentingan yang sama, yaitu ‘menjauhi konflik’.

Toleransi Dalam Praktik Sejarah Islam
Sejarah Islam adalah sejarah toleransi. Perkembangan Islam ke wilayah-wilayah luar Jazirah Arabia yang begitu cepat menunjukkan bahwa Islam dapat diterima sebagai rahmatal lil’alamin (pengayom semua manusia dan alam semesta). Ekspansi-ekspansi Islam ke Siria, Mesir, Spanyol, Persia, Asia, dan ke seluruh dunia dilakukan melalui jalan damai. Islam tidak memaksakan agama kepada mereka (penduduk taklukan) sampai akhirnya mereka menemukan kebenaran Islam itu sendiri melalui interaksi intensif dan dialog. Kondisi ini berjalan merata hingga Islam mencapai wilayah yang sangat luas ke hampir seluruh dunia dengan amat singkat dan fantastik.

Memang perlu diakui bahwa perluasan wilayah Islam itu sering menimbulkan peperangan. Tapi peperangan itu dilakukan hanya sebagai pembelaan sehingga Islam tak mengalami kekalahan. Peperangan itu bukan karena memaksakan keyakinan kepada mereka tapi karena ekses-ekses politik sebagai konsekuensi logis dari sebuah pendudukan. Pemaksaan keyakinan agama adalah dilarang dalam Islam. Bahkan sekalipun Islam telah berkuasa, banyak agama lokal yang tetap dibolehkan hidup.
Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah.  Piagam ini adalah satu contoh mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhamad SAW di Madinah. Di antara butir-butir yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah.

Sikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan juga muncul dalam sejumlah Hadis dan praktik Nabi. Bahkan sikap ini dianggap sebagai bagian yang melibatkan Tuhan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan  dalam Syu’ab al-Imam, karya seorang pemikir abad ke-11, al-Baihaqi, dikatakan: Siapa yang membongkar aib orang lain di dunia ini, maka Allah (nanti) pasti akan membongkar aibnya di hari pembalasan”.

Di sini, saling tolong-menolong di antara sesama umat manusia muncul dari pemahaman bahwa umat manusia adalah satu badan, dan kehilangan sifat kemanusiaannya bila mereka menyakiti satu sama lain. Tolong-menolong, sebagai bagian dari inti toleransi, menajdi prinsip yang sangat kuat di dalam Ism.

    Demikianlah, sikap toleransi Islam terhadap agama-agama dan keyakinan-keyakinan lokal dalam sejarah kekuasaan Islam menunjukkan garis kontinum antara prinsip Syari’ah dengan praktiknya di lapangan. Meski praktik toleransi sering mengalami interupsi, namun secara doktrin tak ada dukungan teks Syari’ah. Ini berarti kekerasan yang terjadi atas nama Islam bukanlah otentisitas ajaran Islam itu sendiri. Bahkan bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa pemerintah-pemerintah Muslim membiarkan, bekerjasama, dan memakai orang-orang Kristen, Yahudi, Shabi’un, dan penyembah berhala dalam pemerintahan mereka atau sebagai pegawai dalam pemerintahan.

Penutup
 Toleransi dalam Islam adalah otentik. Artinya tidak asing lagi dan bahkan mengeksistensi sejak Islam itu ada. Karena sifatnya yang organik, maka toleransi di dalam Islam hanyalah persoalan implementasi dan komitmen untuk mempraktikkannya secara konsisten.

    Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian mu’amalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya.

    Syari’ah telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Karena pemaksaan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama kita adalah sikap a historis, yang tidak ada dasar dan contohnya di dalam sejarah Islam awal. Justru dengan sikap toleran yang amat indah inilah, sejarah peradaban Islam telah menghasilkan kegemilangan sehingga dicatat dalam tinta emas oleh sejarah peradaban dunia hingga hari ini dan insyaallah di masa depan.

Oleh Kusnadi: El-Ghezwa adalah mahasiswa s1Universitas Imam Nafi, Maroko.

Kamis, 15 Maret 2012

Biografi Syekh Ahmad Bin Siddiq al-Ghumari al-Maghribi

Biografi singkat Syekh Ahmad Bin Siddiq Al-ghumari al-Maghribi At-Tonjawi
Ulama pakar Hadits dan Tasawwuf dari kota Tanger-Maroko
(1320 H- 1380 H)


Sangatlah pantas jika gelar “Negeri para ulama” itu disandang oleh Maroko. Terutama ulama-ulamanya yang menonjol dalam dunia tasawwuf. Lihat saja, berapa banyak aliran Tariqah yang berkembang di Negeri yang bermadzhab Maliki tulen ini, ada Tariqah Tijaniyah, Syadziliyah, Masyisyiyah, Siddiqiyah, Kattaniyyah, dsb. Dalam bidang hadits pun, Maroko adalah gudangnya ulama hadits.  Disini ada pakar hadits yang sangat terkenal, yaitu Muhammad Siddiq al-Ghumari. Bahkan karya-karya beliau sudah menjadi santapan para santri di Indonesia. 

Keluarga al-Ghumari ini selain dikenal sebagai ahli Hadits, mereka juga menonjol dalam bidang tasawwuf dan Fiqih.  Nah, disini saya akan mencoba membaca biografi singkat salah satu putra dari Muhammad Sidddiq Al-Ghumari, yaitu Ahmad ibn Siddiq al-Ghumari. 

Ahmad ibn Siddiq Al-ghumari At-Tonjawi lahir di desa Bani Sa’iid, wilayah Ghumarah, sebelah utara Maroko, pada hari Jum’at 27 Ramadlan 1320 H /1901 M. Setelah 2 bulan kelahiran beliau, ayahnya membawa beliau pulang ke kota Tonjah (Tanger). Ayah beliau merupakan salah seorang Babat kota Tanger atas perintah gurunya (1319 H). Kota Tanger adalah kota wisata pantai yang terletak dekat Jabal Thoriq, sebelah utara Maroko. Nasab beliau masih memiliki keturunan dengan Nabi Muhammad Saw. yaitu dari cucu Beliau, Hasan Bin Ali bin Abi Thalib.[1]

Ahmad Bin Siddiq al-Gumari merupakan anak sulung dari 7 orang bersaudara. Bukan hanya sulung dari sudut susunan keluarga, bahkan sulung dari sudut keilmuan sehingga adik-adiknya berguru dengan beliau. Ayah beliau, Muhammad Siddiq al Ghumari merupakan tokoh ulama’ yang menjadi rujukan para ulama’ Maroko. Dan ibunya, Al-Zahra’ binti Abdul Hafizh bin Ahmad ibn ‘Ajibah juga merupakan wanita sholehah yang taat beragama. Kakek beliau dari ibunya, Ibnu ‘Ajibah al-Hasani (W. 1224 H.) merupakan seorang ulama’ yang tidak asing lagi bagi masyarakat Maroko. Beliau adalah penulis kitab tafsir al-Quran yang berjudul “Bahrul Madid fi Tafsir al-Qur’an al-Majid” dan kitab tasawwuf yang berjudul “Iqozul Himam” yang merupakan syarah kitab al-Hikam karangan Imam al-‘Allamah al-Faqih as-sufi Ahmad ibn ‘Athoillah al-Sakandari.[2]
Setelah Beliau berusia lima tahun, ayahnya memasukkannya di pesantren Tahfizh, yang diasuh murid ayahnya sendiri, al-Arabi ibn Ahmad Budarah. Pada usia 9 tahun, yaitu tahun 1329 H/1909, beliau naik Haji bersama ayahnya. Kemudian setelah pulang dari Makkah, ayahnya menganjurkan beliau untuk belajar di Al-Azhar, Mesir. Saat itu usia Beliau masih 19 tahun.[3] Ketika di Mesir beliau mempelajari kitab-kitab hadits hingga 2 tahun tidak keluar rumah kecuali untuk sholat Jum’at.[4]  

Di mata para ulama, beliau merupakan ahli hadits yang mumpuni sehingga medapatkan gelar “al-Hafizh”[5], “al-Muhaddits”, dan “al-Imam”. Beliau termasuk orang yang sangat wara’ dan zuhud. Sebagaimana diungkapkan oleh Taqiyuddin al-Hilali (seorang tokoh Salafi):
إنه كان زاهدا في الدنيا ولو أراد أن يعيش كالملوك لفعل
(Ahmad ibn Siddiq al-Ghumari itu adalah orang yang benar-benar zuhud terhadap dunia walaupun sebenarnya beliau bisa hidup layaknya seorang raja). Ahmad ibn siddiq al-ghumari sangat membenci kepada orang islam yang meniru cara berpakain dan berperilaku layaknya orang kafir. Sehingga beliau mengarang kitab yang berjudul ”al-istinfar li ghazwi at-tasyabbuh bil kuffar”.[6]
 
Menurut As-syarif Muhammad Hasan ibn Ali al-Kattani al-atsari , dalam tesisnya yang berjudul “Fiqh al-Ghumari” mengatakan : Ahmad siddiq al-ghumari merupakan satu-satunya keluarga Al-ghumari yang bermadzhab syafi’i. Beliau telah meningggalkan madzhab maliki dan berpindah ke madzhab syafi’i, barang kali hal itu dilakukan karena buah cintanya terhadap hadits dan atsar sahabat.[7]

Ahmad telah banyak memiliki murid, diantaranya adalah saudara-saudaranya sendiri seperti: Abdullah, Muhammad Zamzami, Abdul Hay, Abdul Aziz,  al-Hasan, dan Ibrahim. Abdullah bin Abdul qadir at-Talidi al-Idrisi a-Hasani ia sekarang menjadi Muhaddits yang memiliki sekolah khusus dalam bidang hadits di kota tanger. Sedangkan Muhammad al-Muntashir bin Muhammad az-Zamzami bin Muhammad bin Ja’far al-kattani ia telah belajar di univeritas Damaskus dan Ummul Qura’ serta menjadi penasehat raja Faisal (W 1419). 

Beliau memiliki lebih dari 100 guru yang terbagi menjadi dua. Pertama, beliau belajar dengan mereka secara dirayat. Kedua, beliau belajar hanya secara riwayat dan meminta ijazah dari mereka. Diantara guru-guru beliau adalah:

-          Ayahnya sendiri, Muhammad bin siddiq al-ghumari, beliau adalah guru Tariqah siddiqiyyah yang beraliran Syadiliyyah di kota tanger (W 1354 H).
-          Al-Imam al-Muhaddits al-Hafizh al-Faqih as-Sufi Muhammad bin Ja’far bin Idris al-kattani yang merupakan ulama besar dari kota Qurawiyyin, Fes-Maroko (W 1345 H). dll masih banyak lagi…
Ahmad bin Siddiq al-Ghumari mempunyai 250 karya tulis ada yang berupa kitab dan makalah-makalah yang tertulis dalam lembaran-lembaran kertas. Berikut ini diantara karya-karya Beliau :

1.    درء الضعف عن حديث ((من عشق فعف)) (Dalam bidang Hadits)
2.    هداية الرشد لتخريج أحاديث بداية ابن رشد (Dalam bidang hadits)
3.    البرهان الجلي في تحقيق انتساب الصوفية لعلي (Dalam bidang tasawwuf) dll. masih banyak lagi…

Beliau wafat pada hari Ahad, awal bulan Jumadi ats-tsaniyah tahun 1380 H/1960 M. setelah terbaring di atas kasur selama delapan bulan karena menderita penyakit jantung, yang sebelumnya juga pernah menimpanya.[8] Kemudian Jenazah beliau dimakamkan di Kairo, Mesir.
Untuk lebih jelasnya mengenai Biografi beliau silahkan baca disini :
http://dc408.4shared.com/doc/IYnHeyX1/preview.html 



[1] Abdullah ibn Al-Ghumari, Sabil at-taufiq fi tarjamati Abdullah ibn siddiq , cetakan pertama, Daarul Bayan, Cairo 1984 hal. 55
[2] Ibid, hal . 9
[3] Mustofa sibri, muqoddimah al-madawi, hal. 54
[4] Mahmud Sa’id , tasynif al-Asma’.
[5] Gelar tertinggi yang diberikan kepada ahli Ilmu hadits
[6] Fiqih al-ghumari, hal. 61
[7] As-syarif Muhammad Hasan ibn Ali al-Kattani al-atsari, Fiqh al-ghumari, hal 203. Daarul kutub , Beirut libanon, 2005.
[8] At-talidi, Hayatus syaikh, hal. 113

Cara dan Do'a Shalat Istikharah

Istikharah menurut Imam Nawawi dalam kitab al-adzkar sangat dianjurkan (sunnah) pada semua perkara yang memiliki beberapa alternatif. Rasulullah dalam sebuah hadits riwayat Jabir Ibn Abdillah ra bersabda:

اذا هم أحد كم بالأمر فليركع ركعتين ثم ليقل: أللهم… (رواه البخاري) 
Jika diantara kalian hendak melakukan perkara/urusan, maka rukuklah (shalatlah) dua rakaat : kemudian berdoa…(HR. Bukhori)

Redaksi dalam hadits tersebut menggunakan kata ‘al-amr’ yang berarti perkara atau urusan yang mengandung makna umum. Meski demikian berbagai perkara wajib tidak perlu di-istikharahi. Sebab kita tidak punya pilihan lain. Yakni yang wajib harus dilakukan dan yang haram harus ditinggalkan. Tidak perlu istikharah apakah akan mengerjakan shalat atau tidak misalnya. Demikian juga dengan mencuri, berzina dan sejenisnya.
Istikharah adalah upaya memohon kepada Allah swt agar memberikan pilihan terbaik kepada kita akan hal-hal yang memang kita punya hak untuk memilih antara mengerjakan dan meninggalkan. Seperti pekerjaan misalnya, kita diperbolehkan bekerja sebagai pedagang, petani, pengusaha dan sebagainya.
Shalat istikharah sangat mudah, yaitu shalat dua rakaat dengan niat istikharah:

أصلى سنة الإستخارة ركعتين لله تعالى
Aku berniat shalat istikharah dua raka’at karena Allah Ta’ala

Rakaat pertama setelah membaca surat al-Fatihah memabaca surat al-Kafirun. Dan rakaat kedua setelah al-Fatihah membaca surat al-Ikhlas. Kemudian setelah salam membaca do’a:

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ -وَيُسَمَّى حَاجَتَهُ- خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepadaMu dengan ilmu pengetahuanMu dan aku mohon kekuasaanMu (untuk mengatasi persoalanku) dengan kemahakuasaanMu. Aku mohon kepadaMu sesuatu dari anugerahMu Yang Maha Agung, sesungguhnya Engkau Mahakuasa, sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahuinya dan Engkau adalah Maha Mengetahui hal yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, dan akibatnya terhadap diriku sukseskanlah untuk ku, mudahkan jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagiku dalam agama, perekonomian dan akibatnya kepada diriku, maka singkirkan persoalan tersebut, dan jauhkan aku daripadanya, takdirkan kebaikan untuk ku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berilah kerelaanMu kepadaku.”

Setelah shalat istikharah, biasanya di dalam hati timbul rasa tenang dan mantap terhadap salah satu alternative yang ada. Bisa juga hasil istikharah diketahui lewat mimpi, dengan isyarat dan simbol-simbol tertentu. Kalau masih ragu, istikharah dapat diulang dua atau tiga kali.

Sumber: KH.MA. Sahal Mahfudh. Dialaog Problematika Umat. Surabaya: Khalista & LTN PBNU

Jumat, 09 Maret 2012

Sekilas Tentang Ad-Diba’i

Diantara hasil karya yang bercerita tentang hal-ihwal Kanjeng Nabi Muhammad saw secara sastrawi adalah Maulid al-Diba’. Istilah ini diambil dari nama pengarangnya yaitu Al-Imam Wajihuddin Abdur Rahman bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Yusuf bin Ahmad bin Umar ad-Diba`i Asy-Syaibani Al-Yamani Az-Zabidi Asy-Syafi`i.


Ad-Diba’I wafat di kota Zabid pada pagi hari Jumat tanggal 26 Rojab 944Mengenai profil Ad-Diba’I disebutkan dalam kitab Maulid al-Hafidz ibn al-Daiba’i, karya Sayyid ‘Alawi al-Maliki bahwa ia adalah:

هووجيه الدين عبدالرحمن بن علي بن محمد الشيباني اليمني الزبيدي الشافعي (المعروف بابن الديبع , والديبع بمعنى الأبيض بلغة السودان هولقب لجده الأعلى بن يوسف ) ولدفى المحرم سنة 866 ه وتوفي يوم الجمعة ثاني عشر من رجب الفرد سنة 944 ه. وكان صدوق اللسان حسن اللهجة حلوالحديث (مولد الحافظ ابن الديبع , ص 5)

“Dia adalah Wajihuddin ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaibani al-Yamani al-Zubaidi al-Syafi’I (yang dikenal dengan Ibn al-Daiba’i. al-Daiba’ menurut bahasa Sudan artinya putih. Itu julukan kakeknya yang agung Ibn Yusuf). Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 866 H dan wafat pada hari jum’at tanggal 12 Rajab tahun 944 H. (Jadi usia beliau kurang lebih 76 tahun). Beliau seorang yang jujur, lemah lembut tutur katanya dan indah bahasanya. (Maulid al-Hafidz ibn al-Daiba’, hal 5)

Beliau dilahirkan pada 4 Muharram 866 H (8 Oktober 1461 M) dan wafat hari Juma’at 12 Rajab 944 H (15 Desember 1537 M). Beliau adalah seorang ulama hadits yang terkenal dan tiada bandingnya pada masa hayatnya. Beliau mengajar kitab Shahih Al-Bukhari lebih dari 100 kali khatam. Beliau mencapai derajat Hafiz dalam ilmu hadits, yaitu seorang yang menghafal lebih dari 100,000 hadits dengan sanadnya. Setiap hari beliau mengajar hadits dari masjid ke masjid.

Diantara guru-gurunya ialah Al-Imam Al-Hafiz As-Sakhawi, Al-Imam Ibnu Ziyad, Al-Imam Jamaluddin Muhammad bin Ismail, mufti Zabid, Al-Imam Al-Hafiz Tahir bin Husain Al-Ahdal dan lain – lain. Selain itu, beliau juga masyhur sebagai seorang muarrikh (ahli sejarah) yang teliti. Di antara kitab – kitab karangan beliau ialah:
Dalam bidang fiqih, beliau bermadzhab Syafi’i. oleh sebab itu, beliau termasuk golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, karena masih mengakui dan mengikuti salah satu madzhab empat. Banyak hal yang bisa dijadikan bukti bahwa beliau termasuk golongan Sunni. Antara lain, di dalam shalawat yang dikarang, beliau mengatakan:

يارب وارض عن الصحابة * يارب وارض عن السلالة * (مجموعة مولد وأدعية , ص 66)

“Ya Rabbi, ridlailah para sahabat Nabi SAW, Ya Rabbi ridlailah keturunan Nabi SAW.” (Majmu’ Mawalid wa Ad’iyah, hal 66).

Ibn Diba` termasuk ulama yang produktif dalam menulis. Hal ini terbukti beliau mempunyai banyak karangan baik dibidang hadis ataupun sejarah. Karyanya yang paling dikenal adalah syair-syair sanjungan (madah) atas Nabi Muhammad SAW. yang terkenal dengan sebutan Maulid Diba`i,

Diantara buah karyanya yang lain : Qurrotul `Uyun yang membahas tentang seputar Yaman, kitab Mi`roj, Taisiirul Usul, Bughyatul Mustafid dan beberapa bait syair. Beliau mengabdikan dirinya hinga akhir hayatnya sebagai pengajar dan pengarang kitab.

Boleh Bersuci Dengan Tissue

Oleh: KH. Sahal Mahfud
Ditulis dalam Dialog Probelmatika Umat (Khalista Surabaya)

Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan kebersihan. Telinga kita begitu akrab dengan an-nadhafatu minal iman, kebersihan merupakan sebagian dari iman. Atau at-thuhuru syartul iman, kesucian merupakan separoh dari keimanan. Namun demikian, seringkali realitas umat Islam kurang mencerminkan ajaran-ajaran semacam itu dalam kehidupan keseharian.Salah satu wujud perhatian Islam terhadap kebersihan dan kesucian itu adalah diwajibkannya istinja’ (bersuci) setelah buang air besar (taghawwuth) dan air kecil (baul). Shalat tidak sah tanpa istinja’ terlebih dahulu, selain wudhu kalau dalam keadaan hadats kecil, dan mandi jika dalam kondisi hadats besar.
Meski istinja’ pada hakikatnya menghilangkan najis yang keluar dari kemaluan dan anus, dalam praktiknya hal tersebut memiliki perbedaan. Yaitu alat yang digunakan tidak terbatas pada air, tetapi dapat pula dilaksanakan dengan batu, baik dalam kondisi tersedia air maupun tidak.
Berbeda dengan wudhu dan mandi, yang hanya dapat diganti dengan tayamum dalam kondisi-kondisi tertentu saja, misalnya karena tidak ditemukan air. Diperbolehkannya istinja’ dengan batu, mengandung hikmah yang besar dalam rangka menjamin kontinuitas pelaksanaan dan fungsi diciptakannya manusia, yakni beribadah kepada Allah SWT, dalam hal ini, shalat.
Seperti disebutkan di atas bahwa shalat tanpa istinja’ lebih dahulu tidak sah hukumnya. Dunia ini menurut para pakar, sebagian besar adalah lautan. Kurang lebih 85% dan sisanya daratan.
Jika kita amati, ternyata daratan yang hanya 15% itu kondisi perairannya berbeda-beda. Ada yang banyak, tetapi ada pula yang sedikit. Kalau istinja’ hanya dilakukan dengan air, tentu menimbulkan kesulitan bagi daerah-daerah yang sedikit air, seperti padang pasir di Timur Tengah atau daerah-daerah kering dan tandus.
Dengan diperkenankannya istinja’ dengan batu serta tayamum dengan debu, umat Islam tidak menemukan masalah dalam thaharah (kesucian), sehingga shalat dapat berjalan terus.
Kalau kata batu (hajar) diucapkan, pikiran kita tentu akan tertuju pada sosok benda keras yang kerap digunakan membuat pondasi bangunan atau membuat jalan. Dalam fikih, ternyata maknanya lebih luas. Sebab hajar dibedakan menjadi hajar hakiki dan hajar syar’i.
Adapun hajar hakiki adalah batu yang seperti kita kenal, sedangkan hajar syar’i mencakup semua benda padat yang suci serta dapat menghilangkan kotoran dan tidak termasuk kategori banda-benda muhtaram (dimuliakan atau berharga). Sebagai contoh, batu, kayu, tembok, keramik kasar, dan kulit hewan. Semua itu dinamakan hajar syar’i dan boleh untuk istinja’. Dengan demikian, hajar syar’i disamakan dengan hajar hakiki lewat metode analogi atau qiyas. Maksud qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak diketahui hukumnya dengan sesuatu yang hukukmnya jelas, karena ada persamaan antara keduanya dalam illat (alasan terjadinya hukum).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan besar dalam pola pikir dan pola sikap masyarakat. Gaya hidup mereka telah mengalami pergeseran-pergeseran sedemikian rupa, sehingga cenderung memilih sikap yang praktis dan mudah serta efisien, misalnya dalam masalah istinja’.
Pada tempat-tempat tertentu, seperti saat di pesawat atau tempat lain sudah tidak dipergunakan air sebagai alat bersuci, tetapi tissue. Banyak hotel yang tidak menyediakan air toiletnya, namun yang tersedia hanya tissue. Dengan asumsi tissue lebih praktis dan lebih nyaman, karena pakaian tetap kering.
Seperti diterangkan di atas bahwa istinja’ dapat dilakukan dengan air dan batu, baik hakiki maupun syar’i. Tissue bukan air, bukan pula hajar hakiki. Pertanyaannya apakah dapat untuk istinja’?
Merujuk dari beberapa literature madzhab Syafi’i, seperti al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, Syarqawi Syarh Tuhfatut Thullab, Bujairami Syarh Iqna’ dan lain-lain, tissue dapat digunakan untuk istinja’ dengan alasan bahwa tissue dianggap sebagai salah satu bentuk hajar syar’i. Yaitu benda benda padat (jamid), tidak najis, dan tidak muhtaram (dianggap mulia dan berharga), karena tidak terdapat tulisan di dalamnya. Jika terdapat tulisan dalam tissue (kertas) itu, maka tidak diperbolehkan menjadikannya sebagai alat istinja’ dengan alasan menghormati tulisan itu.
Satu hal yang harus diperhatikan adalah, kalau istinja’ memakai hajar hakiki atau syar’i disyaratkan tiga kali usapan, dan dapat membersihkan kotoran yang ada. Tidak boleh kurang. Kalau sudah diusap tiga kali dengan batu yang berbeda, ternyata belum bersih, harus ditambah hingga benar-benar bersih.

Sabtu, 03 Maret 2012

Santri NU VS Ustadz Wahabi



Suatu ketika Santri NU lagi khusyuk berdzikir tak henti-hentinya di serambi masjid, Ehh tau-taunya disamperin ama ustadz bergamis yang biasa mengisi pengajian wahabi d masjid itu,

ustadz itu memulai ancang-ancang untuk mencuci otak si santri,apa yang akan terjadi dengan si santri mungkinkah si santri akan terjebak perangkap Ustadz wahabi itu??
Ataukah Sebaliknya??
Mari kita simak baik-baik perbincangan yang satu ini . . .


1.Ustadz Wahabi: Hai, Anak muda apa km udah tau tahlilan itu dosa??

2.Santri NU: lah, kogh bs Ustadz? (santri NU tahu persis siapa yang lagi ngomong itu)

3.Ustadz Wahabi: karena itu gak pernah dilakukan Nabi dan Setiap yang gak  pernah dilakukan Nabi itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat masuk neraka dalilnyaكلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّار  jadi apa yg dilakukan kyai2,habib2, walisongo, kayak yasinan tahlilan, barzanji secara jamaah itu dosa & masuk neraka,!!

4.Santri NU : kogh gitu?? perkara itu kan kebiasaan baik yg dirintis walisongo,

5.Ustadz Wahabi: iya baik, tp Jelas g ada di zaman Nabi, jadi dengan dalil itu walisongo,kyai2, habib2 yg nglakuin, yasinan, tahlilan, barzanji, mereka pasti masuk neraka,!!! Krena perkara itu g ada di jaman Nabi,
(Mulai deh ustadz wahabi merasa dia udh pasti masuk surga)

6. Santri NU: Kogh simple amat ustadz bikin Hukumnya??

7.Ustadz wahabi : Km ini kogh g percaya, saya tunjukkin kitabnya nih, HR.  Muslim Nomer 867 (sambil nyodorin kitab Shohih muslim,dia membacakan hadis كلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّار dia mulai berlagak sombong merasa udah nguasai tuh kitab,mentang2 pakai gamis)

8. Santri NU: (Santri merasa org ini telah kelewatan krn udh menghina ulama2 yg dicintainya, dengan banyak berdoa dalam hatinya, agar terhindar dari segala fitnah itu Diapun mulai ngomong blak-blakan sambil membukakan sebuah hadis dari kitab shohih muslim milik ustadz itu)
Ustadz kan tau hadis Shohih Muslim nomer 1017,  ini hadisnya (santri menaruh kitab itu dipangkuan ustadz itu),saya bacakan isinya ustadz, (si santri begitu lancar akan hafalan hadis itu beserta kandungannya):
 مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَن عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْء
Siapa yang “memulai kebiasaan”  didalam Islam sebuah  “kebiasaan yg baik”, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang memulai dalam Islam, sebuah “kebiasaan yg buruk” maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.”

9. Santri NU: klo menurut saya arti lafadz , مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً barang siapa memulai kebiasaan di dalam islam sebuah kebiasaan baik, lah kebiasaan baik itu secara umum baik yasinan, tahlilan, barzanji, dan banyak lainnya,lah itu dasar dalil para ulama,

10. Ustadz Wahabi: Salah anak muda bukan begitu artinya, lafadz  مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً itu “barang siapa melakukan sunnah didalam islam sunnah nabi yg baik”, jd lafadz  سُنَّةً itu maksudnya "sunnah nabi".

11. Santri NU: Loh, kogh gitu ustadz, klo lafadz  سُنَّةً maksudnya "sunnah nabi" lalu kalimat selanjutnya dlm hadis itu ada lafadz سُنَّةً سَيِّئَةً apakah mungkin kita artikan sunnah nabi yg buruk,?? Hah,?? Ustadz, Sunnah nabi/kelakuan nabi apa ada yg buruk,??

12. Ustadz Wahabi: !@#$%^&*()_+=  
(dia Keblinger langsung nyelonog pergi sambil menelaah kembali tuh hadis untuk mencari celah kelemahan hadis tersebut)

Dari dialog di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwasannya lafadz سُنَّةً  penisbatannya bukanlah tertuju kepada sunnah nabi namun sunnah kebiasaan secara umum:
1. Jika سُنَّةً حَسَنَةً berarti kebiasaan baik  : Yasinan,tahlilan, Barzanji secara berjamaah
2. Jika سُنَّةً سَيِّئَةً  berarti kebiasaan buruk: Acara nikahan dengan meminum khomer, Memisau kepala oleh orang syiah

Yah begitulah ustadz-ustadz wahabi dalam keilmuannya kita tak perlu menyalahkan apalagi menghardik orang-orang yang mengikuti ustadz-ustadz itu karena kenyataanya mereka adalah korban ambisi Faham Ajaran Wahabi, yg mana penyebar faham itu sendiri kurang menelaah keilmuaannya,dan terbukti selalu kalah dalam setiap perdebatan yg digelar antara kelompok NU dan Wahabi.

kalo ustadz-ustadz wahabi gencar dengan hadits: كلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّار           
Kitapun sebagai warga NU harus lebih gencar dg hadits:  مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً
Luruskan Pemahaman, Lakukan Amalan, & Kokohkan Iman.

*Oleh: Santri NU Kota Fès,Maroko.

PCINU MAROKO

PCINU MAROKO

Followers