Our Partners

Gunakan GSunni Mesin Pecari Aswaja, agar tidak tersesat di situs2 wahabi.. klik sini..

PCINU Maroko

get this widget here

Resources

Catwidget2

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget1

Pages

Catwidget4

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget3

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Rabu, 14 Desember 2011

LPBINU, Garda Depan Penanganan Bencana di NU

Sumber : NU Online
LPBINU, Garda Depan Penanganan Bencana di NU 
Bencana yang terjadi di Indonesia hampir setiap hari memenuhi media, jika tidak ditangani dengan baik, bencana alam bisa berubah menjadi bencana sosial yang menimbulkan akibat makin buruk. Apalagi ditambah dengan adanya perubahan iklim dan posisi Indonesia yang ada di ring of fire sehingga Indonesia memang sangat rawan terhadap bencana. Disinilah pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mencegah dan mengelola bencana agar tidak semakin membesar.

Untuk menangani bencana dan perubahan iklim ini, PBNU membentuk lembaga baru, Lembaga Penanganan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU) yang secara khusus akan bekerja menangani isu yang terkait dengan bencana dan perubahan iklim, bagaimana latar belakang, visi serta upaya yang akan dilakukan lembaga ini, berikut wawancara NU Online dengan Avianto Muhtadi, ketua LPBINU.
Apa maksud pendirian Lembaga Penanganan Bencana dan Perubahan Iklim ini?

Ada beberapa isu yang berkembang yang dampaknya sudah dapat dilihat langsung oleh mata, tak hanya dirasakan saja, misalnya bencana, juga faktor iklim yang dirasakan menganggu, baik dalam kehidupan atau penghidupan masyarakat.

Kita memahami bahwa Indonesia penduduknya muslim, sebagian besar tinggal di desa dan pengikut NU. Kita tahu bahwa secara geografis, Indonesia berada di ring of fire,lempeng yang sangar rentang gempa, gunung berapi, walaupun disitu ada berkahnya, yang dilalui lempeng ini subur, dan kalau memiliki laut, akan banyak sekali keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya.

Karena dua faktor tadi, tentu Indonesia sangat rawan terhadap bencana gempa. Di sisi lain, ada pula kerentanan fisik dan sosial, apakah itu konflik, kemiskinan, dan segala macam masalah yang bisa makin memperbesar intensitas, frekuensi, kualitas, kerugian dan kehancuran jika bencana itu terjadi.

Kita memahami bahwa penduduk yang makin banyak itu, tentu akan menggerus sumberdaya yang ada. Kalau daya dukung lingkungannya menurun, karena banyak terambil oleh penduduk, tentu saja sudah kebayang kekurangan lahan sehingga banyak masalah sosial.

Saya melihat NU memiliki potensi untuk mengurangi hal-hal tersebut, pertama NU gerakannya sendiri adalah gerakan moral, tentu yang berhubungan dengan nilai-nilai keislaman. Kedua, NU memiliki tokoh kharismatik yang bisa mempengaruhi kebijakan atau kultur di masyarakat, selanjutnya NU memiliki 14.000 jaringan pesantren dan NU anggotanya juga 60 juta dengan berbagai profesi. Inilah yang menyebabkan NU sangat potensial sebagai agen perubahan sosial budaya.

Apakah ini juga dilihat oleh NU sebagai isu yang berkembang saat ini, seperti perubahan iklim dan bencana?


Saya kaget, isu seperti ini kok tidak masuk dalam muktamar, walaupun dalam draftnya ada. Pemerintah sendiri sudah memasukkan isu lingkungan, perubahan iklim, bencana dan isu lain secara terintegrasi.

Bahkan pertemuan PBB tentang perubahan iklim yang berlangsung di Kopenhagen tahun lalu dan akan diteruskan di Meksiko adalah bagaimana negara memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim. Indonesia sudah meratifikasinya, sudah memiliki Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sudah memiliki Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), ini yang seharusnya ditangkap oleh NU, saya melihat yang lain belum, sehingga isu ini seharunys diambil oleh kita untuk memperbaiki demi kemasalahatan umat. Jangan NU jadi pemadam kebakaran saja, jangan sampai kebakarannya besar dan airnya terlalu kecil, apalagi kehabisan air.

Nah, menurut saya, dengan kemampuan NU, dengan banyaknya orang NU yang pintar-pintar, jika NU memberi ruang dan koridor orang seperti ini, makin berdaya, tidak hanya sebagai lembaga, inilah alasan mengapa lembaga ini harus ada.

Sebenarnya NU sudah memiliki gerakan, tapi hanya parsial dan ini biasanya tidak berkesinambungan, ada laporan, biasanya bisa menjadi acuan atau kegiatan tentang hal ini di masa mendatang, dulu ada GNKL, KPBA dan lainnya.
Apa yang sudah dilakukan oleh lembaga itu bisa dikelola dan bisa di jadikan bank data, dan kita semua tahu. Jangan sampai kita kayak upacara tujuhbelas Agustusan yang tanpa persiapan saja, upacara itu harus dikemas dengan baik, tertata rapi, semuanya mengerti dan pada saat selesai upacara dapat diterapkan dalam kehidupan masing-masing bagaimana sikap kenegaraan, dan kewarganegaraan yang baik.

Demikian pula terhadap warga NU dalam tataran belajar keagamaan. Kita tahu merusak atau memanfaatkan SDA berlebihan bisa terjadi kerusakan yang tentu saja dilarang oleh agama, bukannya ilmu dipelajari untuk diterapkan.

Sebenarnya siapa yang paling bertanggung jawab dalam penanganan bencana?
Ada empat hal, pemerintahnya adil, ulamanya jujur, ketiga, orang kayanya dermawan, dan masyarakatnya juga tunduk dan mengerti, ini satu kesatuan, apapun permasalahnnya. Tentu NU melihatnya dari mana, karena ada dimana-mana, sebagai masyarakatnya, sebagai ormasnya, ulamanya. Kalau NU sebagai organisasi kemasyarakatan, ya NU itu besar, seperti yang saya katakan tadi, itu merupakan agen perubahan, semua hal yang dilakukan, oleh pemerintah, atau peraturan, sudah adabudgetnya. Mereka tidak bisa lentur seperti NU. NU memiliki potensi, karena yang menjadi korban warga NU, maka cepat sekali reaksinya, dan didasari motif agama untuk membantu sesama atau mendapatkan pahala.

Dan juga sebetulnya, yang juga harus hati-hati menjelaskannya, setiap bencana pasti ada timbal-baliknya, bahwa sesuatu yang ada, seperti Nabi Khidir, yang mendapat bencana merupakan daerah yang dipilih sebagai pengingat, jadi tidak bisa melihat dalam kacamata duniawi saja. Itu menurut saya untuk lebih menjawab, karena garapannya luas sekali.

Lembaga ini kan berawal dari CBDRDM NU, apa sebenarnya yang sudah dilakukan CBDRM NU?


Awalnya lebih pada memberikan suatu konsep Community Based Disaster Risk Management (CBDRM), penanggulangan bencana berbasis masyarakat yang konsep ini bukan berasal dari luar, tetapi menggali kearifan lokal dan tradisional sendiri, karena masyarakat sendiri yang tahu keadaan lingkungannya, topografi, geografi dan kebiasaan sehari-harinya. Kan agama dan norma berpadu menjadi satu, berartikulasi dan menjadi cara hidup bersama di daerah tersebut. Misalnya di Madura, itu berbeda karakternya dengan di Jember, walaupun sama-sama orang Maduranya,

Nah, berbasis itu, kita mengembangkan beberapa program, dari pengurangan risiko bencana, kita melakukan advokasi ke pemerintah, melakukan penanggulangan bencana, melalui proses pembelajaran, kita juga berkesempatan belajar, kursus, yang dilakukan lembaga donor maupun PBB, kita terbuka mata kepala kita, bahwa hal ini bisa dipecahkan dengan model komunitas, dan ini bisa dilakukan oleh NU dengan konsep rahmatan lil alamiin.
Yang menjadi masalah bencana tiga hal, kemanusiaannya, lingkungannya dan kebijakannya, karena itu, dalam mengurangi kerentanan yang menjadi faktor bencana, harus dilihat dari tiga hal, bagaimana adaptasi terhadap perubahan iklim, penghidupan, sampai sekarang hujan Januari-Februari, sekarang masih hujan.

Terus bagaimana penyehatan lingkungan, saya melihat hal-hal penjelasan atau ilmu, ini semua menurut saya yang harus dilakukan semua fihak, cuma masalahnya, NU dan komunitas lain, pemerintah juga sudah memiliki UU, yang belum tergarap adalah perusahaan, mereka memiliki andil besar dalam perusakan lingkungan. Mereka memiliki konsep Corporate Social Responsibility (CSR), tetapi sejauh mana pengaruhnya, mereka juga memiliki amdal, tetapi sejauh mana pengaruhnya, kan ini bisa dibeli, jadi berapa nyata kesahihannya. Ini juga menjadi masalah. Makanya, NU harus ngapain, paling tidak mengapa NU harus melakukan itu.

Cuma paradigmanya, lembaga ini mungkin hanya dianggap tanggap darurat saja, padahal itu hanya untuk mengurangi dampak yang lebih luas, padahal sisi lain, kita harus membantu pemerintah, terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari.

NU kan menggunakan pendekatan pengurangan bencana berbasis komunitas, apa sih konsep ini?


Ya itu, kearifan lokal dan kearifan tradisional diangkat, jadi bottom up, memang adatop down, dengan memakai konsep pemerintah, tetapi masyarakat mengetahui, kembali ke NU, kan memiliki acuan keislaman, moral, aswaja.

Sasarannya di NU banyak, selain tokohnya, dia juga punya lembaga pendidikan, pesantren, madrasah, terus apa yang dilakukan, kita memiliki metodologi, pendek, menengah, panjang, nah kira-kira itu, sehingga tidak ganti pimpinan, ganti juga kebijakannya, seperti ganti ketua umum, ganti juga kebijakannya. Paling tidak ada kebijakan jangka panjang yang berkesinambungan.

Ini membuat kita bisa mengukur sejauh mana target dan indikator tercapai sehingga ketika ada yang tidak pas, kita bisa melakukan perbaikan. Nah, mengenai masalah penelitian, NU itu selama ini hanya mengandalkan Lakpesdam yang menjadi patokan dalam penelitian. Setiap lembaga sebenarnya harus punya penelitian yang berjalan, untuk mengukur sampai mana programnya berjalan dengan baik, karena itu menjadi acuan PBNU untuk kebijakan besarnya ke depan.

Sisi lain, yang kita lakukan dari upaya pencapaian pembangunan berkelanjutan, pendekatannya harus melibatkan aspek sosio budaya dan pelestarian lingkungan, tapi yang jelas, NU harus menciptakan SDM yang bertanggung jawab. Agama sudah mengajarkan semuanya, tinggal mengimplementasikannya, tinggal pakai untuk dagang, menghitung uang, terserah.

Sejauh mana hubungan antara lembaga NU dengan lembaga lain di lingkugnan NU, kan mereka juga punya konsen terhadap penanggulangan bencana?


Kalau soal bencana, saya sebetulnya punya dua opsi, tapi bagaimanapun harus ada keterkaitan manajemen dengan diatasnya. Kebetulan pak Abas Muin, yang membawahi LKK, LK dan LPBI, saya sudah sampaikan, tapi belum mendapatkan jawaban dari beliau. Pertama, PBNU sebagai core, namun, LPBINU menyiapkan siapa saja didalamnya yang diperlukan dalam mengurangai dampaknya, misalnya yang berhubungan dengan SAR, Ansor atau IPNU, untuk dapur umum kita bisa melibatkan Muslimat atau Fatayat, atau medis untuk LKK, LPK atau Pagar Nusa untuk ketabiban, macam-macam.

Tapi jangan lupa LPBINU bukan pencari dana, harus ada dana taktis, kebetulan kita harus mencari dari luar, apakah hubungan dana dari LAZ, bisa dipakai, bukan untuk operasionalnya. Dan jangan lupa orang yang ada di lembaga harus merupakan orang yang memiliki hubungan baik dengan dunia luar sehingga mudah bekerjasama, tapi bagaimana silahkan, hanya sebagai koordinasi saja, atau menaungi.

Opsi kedua, kita tulun langsung ke lapangan, nanti dikoordinasi langsung saja di lapangan, tapi yang jelas, konsep untuk contingency planning, dalam managemen tanggap darurat kita sudah punya dan sudah biasa melakukan. Pertama kita harus mengidentifikasi kebutuhan, kedua, buat posko, ketiga, koordinasi, keempat, manajemen relawan, kelima, distribusi bantuan, audit, dll. Ini yang terjadi.

Satu lagi untuk menjawab yang lain, semua permasalahan yang dihadapi kita saat ini bisa dilakukan semua lembaga, tinggal bagaimana koordinasi dan core-nya, Misalnya isu lingkungan, itu bisa dilakukan semua lembaga, tinggal corenya dimana, bukan ini hanya urusan kami, misalnya bencana, urusan Muslimat saja, kita harus koordinasi, bukannya lebih baik kalau kita bareng-bareng, keterbukaan ini yang harus dilakukan di NU.

Lembaga ini juga punya bebeapa pilot project di beberapa daerah?


Namanya juga pilot, sebagai percontohan, yang dengan AusAID, ini sudah hampir selesai, tinggal satu tahun lagi, exist strategisnya. Jadi dari semua pilot project yang kita lakukan, harus ada dokumentasi, lesson learning dan best practice dan bad practice, ini kebanyakan kita tidak mau ngomongin kegagalan kita. Kedua, kalau ini memang baik, kita akan merevisi buku panduan.

Ketiga, pilot project yang sudah oke ini kan akan kita tinggal karena lambat laun, bantuan itu harus berkurang sehingga mereka bisa mandiri, ini akan kita coba ke pesantren lain, yang masuk dalam 17 propinsi yang rawan berdasarkan data BNPB dan BMKG, ini yang akan kita coba dalam lima tahun ke depan.

Sisi lain lagi, kita juga mulai menginisiasi perubahan iklim, kita akan mencoba lembaga yang melakukan perubahan iklim, kita bekerjasama, bahkan akan mengeluarkan buku tentang perubahan iklim baik adaptasi atau mitigasi yang sudah kita elaborasi dengan nilai-nilai keislaman aswaja, namun kalau sebagai buku saja tak akan cepat, nah buku ini kita harapkan bisa menjadi panduan, khutbah Jum’at, pelatihan, dan bisa disosialisasikan ke pesantren, juga dengan hal lain.

kita sendiri di LBPI juga memiliki lima bidang, pertama, bidang advokasi bencana, ada mitigasi, dibagi dua, struktural dan pembangunan fisik, RT/RW, tata ruang dan wilayah, satu lagi, mitigasi kultural, penyadaran di masyarakat, penguatan kelembagaan.

Tentang Pengawasan Risiko Bencana, itu kesiapsiagaan, kelau ada bencana sudah siapkan, ada bidang kedaruratan, ini yang menjadi core, departemen peralatan dan perlengkapan, untuk kebutuhan di lapangan, dan rehabilitasi, kita tak hanya memperbaiki suara, tapi juga air bersih, MCK dll.

Bidang ketiga, advokasi jejaring, menjadi koridor untuk memberikan informasi, website, advokasi kebijakan dan pengembangan masyarakat, advokasi tak hanya ke masyarakat saja, tapi juga ke pemerintah, tentu dengan cara yang baik-baik. Biasanya yang berhubungan dengan ini kan konflik tambang atau tanah. Kita tak hanya seperti NGO lain yang hanya kasih tunjuk, kita juga kasih solusi.

Kita ada bidang riset dan pengembangan, informasi dan pengelolaan ilmu pengetahuan. Tempat lain ngetopnya knowledge centre,

Departemen lain, kajian dan penelitian, ini think thanknya lembaga ini, dan saya berharap semua punya ini, terakhir, kita ada bidang pengelolaan lingkungan dan perubahan iklim, isinya tentang perubahan iklim, mulai dari dampak dan, adaptasi, mitigasi, REDD, LULUK, kita juga ada konservasi dan pemberdayaan SDA, mulai darireduce, recycle, reuse, pengelolan B3, departemen tata kelola lingkungan dan energi inovatif.

Lalu bagaimana penguatan lingkungan dari pesantren dan masyarakat, dan bagaimana mereka juga bisa memanfaatkan energi alternatif, misalnya mikrohidro dan biogas. Dalam konteks sederhana, misalnya bagaimana pesantren membuang limbah manusianya, ini ke mana, misalnya bisa dikelola sendiri, tinggal hukumnya bagaimana, dosa apa tidak makruh apa tidak, jadi kotoran ini bisa menjadi api, ini bagaimana hukumnya.

Yang jelas, pernah saya sampaikan, lembaga di NU bukan lembaga pengganti di luar, misalnya kita menggantikan BNPB atau Ansor menggantikan tentara. Satu lagi, kita berani dilakukan audit, apapun unit kegiatan, per kegiatan, per unit, dan per tahun, insyaallah kita siap karena dari dulu kita sudah melakukan itu.

Kita berharap teman-teman tak hanya jago melakukan perencanaan, monev, tetapi juga mempertanggungjawabkan, semua itu.

Ada lima bidang, pekerjaannya, ini sangat luar biasa, mampu ngak melaksanakannya, atau sekedar mimpi?
Kalau mimpi untuk menjadi satu cita-cita ya, tetapi saya mencoba untuk tidak besar pasak daripada tiang, dan juga mengawang-awang, padahal sebetulnya belum ada pijakan. Nah, kita sudah ada pijakan, modal jaringan, modal sumberdaya lain yang kemarin, kedua, pemerintah sendiri baik sesuai dengan janji kampanyenya, dan UNFCC, sudah memasukkan perubahan iklim, pemerintah sangat membutuhkan kita, bahkan dalam pertemuan dengan PBNU sudah disebutkan kita akan bekerjasama, dan juga dengan depertemen dan lain.

Nah, dalam LSM kebencanaan, mereka sangat terperangah pada saat kita menyatukan perubahan iklim dan lingkungan, kita sudah memulai ini dengan dasar bahwa karena kita melakukan, kebetulan teman-teman di sini pernah belajar, ada yang antropolog, kemudian, konsep saya sendiri juga sekolah lingkungan, sebelum saya lempar ke luar, saya coba terapkan di NU dulu, insyaallah walaupun saya lama sekali bertafakkur, jangan-jangan lembaga ini banyak mudaratnya, namun saya ingat petuah dari Kiai Sahal dan Gus Mus, "Lakukan saja dulu, pasti ada manfaatnya," Kita siapkan konsep, kita siapkan perangkat pendukung, ya sudah kita lakukan.

Kami memahami lembaga ini tidak masuk AD/ART, tetapi isu ini sudah dirasakan dampaknya dan kita melakukan ini, dan ini yang kita coba bahwa NU insyaallah bisa, kita pelan-pelan, akan ketahuan kemana larinya, seperti lembaga atau departemen lain, dibutuhkan tetapi belum muncul, ini pemberdayaan umat yang efektif karena urusan sosialnya sangat tinggi, kita bisa melihat banyak UU dan peraturan pemerintah banyak yang bertabrakan, jadi tak hanya berbasis project saja, tapi untuk jamaah. (mkf)

Comments :

0 komentar to “LPBINU, Garda Depan Penanganan Bencana di NU”