Our Partners

Gunakan GSunni Mesin Pecari Aswaja, agar tidak tersesat di situs2 wahabi.. klik sini..

PCINU Maroko

get this widget here

Resources

Catwidget2

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget1

Pages

Catwidget4

?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts4\"><\/script>");

Catwidget3

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Rabu, 14 Desember 2011

Kita Tumbuhkan Kelas Menengah Baru dari NU

Sumber : nu online
01/11/2011 14:52
As’ad Said: Kita Tumbuhkan Kelas Menengah Baru dari NUNahdlatul Ulama dibentuk salah satunya berakar dari Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Kaum Pedagang) sehingga visi gerakan ekonomi harus terus dihidupkan untuk mensejahterakan masyarakat.

Dengan latar belakang pengikut yang sebagian besar berprofesi sebagai petani di pedesaan, upaya pengembangan ekonomi NU menjadi tantangan berat. Keberhasilannya juga akan menjadi kesejahteraan bagi Indonesia mengingat sebagian besar rakyat Indonesia berkultur NU.

Bagaimana strategi pengembangan ekonomi bagi warga NU, berikut wawancara Mukafi Niam dengan Wakil Ketua Umum PBNU H As’ad Said Ali beberapa waktu lalu. 

Bagaimana upaya pengembangan ekonomi NU?

Ini merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan warga NU. Titik tolaknya dari Nahdlatut Tujjar yang dikembangkan oleh para pedagang NU. Kedua dari koperasi Syirkah Muawanah. Dulu kan pedagang NU berkumpul disitu, sayang hasilnya tidak seperti yang diharapkan karena kita dibatasi Belanda, perdagangan hanya diperuntukkan bagi bangsa Timur.

Sekarang kan ekonomi sudah kapitasis murni, bahkan neolib. Pertanyaaanya, kita mau melawan atau berkolaborasi. Saya tidak melawan atau berkolaborasi, tetapi bagaimana memposisikan ekonomi kita, mau tak mau harus bergaul dengan mereka, tapi tak ikut konsep mereka. Mau tak mau kita harus bisa hidup dalam situasi seperti itu, tatapi bukan berarti membenarkan mereka, tapi tak juga menyalahkan secara frontal, tak ada gunanya. Karena itu kita harus memanfaatkan berkah kerjasama,

Seperti zaman Belanda kita bisa melakukan kebijakan non kooperasi atau bekerjasama, tetapi jika bekerjasama bukan berarti membenarkan mereka, seperti itulah dalam bidang ekonomi. Contoh yang kongkrit adalah supermarket. Ini kan konsep liberal, bagaimana mereka menerima produk kita yang merupakan produk darihome industri.

Apakah home industri masih bisa bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar?

Kalau kita bicara home industri kita tak ngomong kapasitas lagi, Taiwan bisa, Jepang bisa. Ini artinya akan muncul tenaga kelas menengah. Satu pabrik akan dihidupi banyak fihak, mereka tidak bisa semena-mena. Kita bisa hidup, mereka juga hidup. Karena itulah kita akan membangun home industri.

Kebijakan nasional kita dorong seperti itu, di NU juga harus mengarah ke situ juga. NU kan berbasis pertanian, peternakan dan perikanan laut, untuk ini semua kan perlu finance. Pendirian lembaga keuangan mikro ini sebenarnya untuk mendukung itu, untuk membantu membangun home industri yang berbasis pertanian.

Contohnya peternakan, Sekarang kita mengambil sapi dari Australia yang sekali angkut bisa 10 ribu sapi. Mereka bisa mendikte dengan memberikan kualitas yang lebih rendah, kenapa kita tidak membikin industri sapi sendiri. Semua masih tergantung dari luar, bibitnya dan lainnya. Kemarin saya ketemu anak NU yang bisa melakukan persilangan sapi, ya kita bikin dari awal, kita bikin yang berbasis pesantren.

Berarti harus difasilitasi dahulu keberadaan lembaga keuangannya untuk menopang home industri ini?

Ya, lembaga keuangan ini bisa dimiliki siapa saja, bisa dimiliki NU, pesantren atau pribadi yang kaya. Yang penting NU ikut membangun sistemnya, manajemennya. Yang diperlukan sekarang pilot project, orang yang bisa bekerja, toh katanya pemerintah memberikan kesempatan yang luas untuk pembiayaan. Banyak contoh lain, buah-buahan, masak kita impor. Ini kan perlu ilmu pengetahuan. Ini kan konsolidasi di bidang ekonomi. Selama ini kan kita ikut orang luar saja.

Kedua, perlunya peningkatan produktifitas. petani hasilnya kurang karena rontok di sawah dan di giling pakai huller, kalau dihitung 20 persen yang hilang. Kenapa tidak digunakan sistem penggilingan yang dipanaskan, mengelupas sendiri, menirnya sedikit, baunya harum, kadar airnya rata sehingga awet, ini kan menguntungkan petani. Banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk membangun microfinance. Ini kan pada akhirnya jaringan NU semua.

Nantinya ada lembaga mikro keuangan, ada Syirkah Muawanah, ada BPR. Ini kan jaringan ekonomi sendiri yang membiayai sendiri. Kalau usahanya sudah besar ya ke bank, bukan kewajiban NU lagi, ini tugas pemerintah. Kita membikin lembaga keuangan yang besar kalau yang kita punya sudah besar.

Dan ini tak harus dimiliki oleh NU, struktural pengurus boleh, pesantren boleh, pribadi boleh sepanjang orang NU. Kalau di luar basis orang NU, ya kita harus bekerjasama dengan orang luar, ekonomi itu tak mengenal agama. Tidak menutup kemungkinan kerjasama dengan siapapun. Ini kalau dikaitkan dengan sistem pluralisme kan keberagaman. Kita tidak mengikuti yang Barat, ya Bhinneka Tunggal Ika melalui interaksi sosial, bukan dalam arti akidah. Itu kan sesuai dengan itu, kan kalau kita Bhinneka Tunggal Ika kan ukhuwah, satu dan bersaudara, cocok dengan ukhuwah wathoniah, melihat orang lain bagian dari kita, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.

Kita merasa saling tergantung dengan orang lain, persatuan kita bangun melalui konsep kerjasama ekonomi, bukan hanya melalui pertukaran etnik. Bagaimana yang kaya merasa tergantung yang miskin, yang miskin merasa tergantung dengan yang kaya. Misalnya saudara kita yang Tionghoa, mereka kan menginginkan keamananan usahanya. Kalau dia bisa menarik menjadikan orang NU temannya, ia akan mendapatkan perlindungan keamanan. Ini dilakukan dalam konteks pluralisme, ini menuntut perubahan mindset, intinya kemandirian yang dimulai dari perubahanmindset.

Pengajuan proposal tidak masalah, tapi yang menuju kemandirian. Kita tdak punya uang tapi terus bekerjasama, setelah itu, kita boleh ngomong untuk meraih presiden atau wakil presiden. Selama ini tak ada, ngak usah ngomong itu, sudah berpengalaman berkali kali dan gagal. Kita belum siap bertarung dalam kancah politik seperti itu. Bukan berarti kita tak bermain politik, tapi sampai dimana kita berhasil.

Banyak pesantren yang berhasil dalam pengembangan BPR, katakanlah seperti Sidogiri, tapi sisi lain, PBNU punya pengalaman dengan Nusumma yang kurang berhasil?

Ini kembali pada teknologi dan ilmu pengetahuan. Sidogiri memulai dengan pengetahuan dulu, bermodal 17.5 juta rupiah, tahun 1997, tapi dia mengirim orang ke BPR punya ICMI, jadi disana dimulai dari itu, yang  Nusumma dimulai langsung. Ini kan satu yang berbeda, Sidogiri yang didik pertama langsung banyak dan bikin sendiri. kalau Nusumma kan pegawai.

Karena itulah, saya tahun 2007 membikin itu, saya bikin di Pati, jadi tiga BMT, yang paling bagus asetnya 2 M, yang terjelek 300 jutaan asetnya. Artinya saya ingin mengembangkan seperti itu. Bagaimana tenaga teman-teman yang mau memsupervisi di bawah, ini yang diperlukan. Kita kan baru proses dua kali, 120 orang. Saya tidak berpretensi semua jadi karena bakat entepreneuship harus ada. Kita tak boleh terlalu tergesa-gesa. Kita belajar dari Sidogiri, proses pembelajaran. Setiap pelatihan kita kirim ke sana. Kita mediasi BMT yang sudah ada untuk bisa kita bersinergi dengan lembaga keuangan yang sudah ada. Yang ada kita bina supaya kita carikan tempat. Kita akan melihat sejauh mana kelebihan dan kelemahannya.

Nusumma akan kita lihat, bisa diperbaiki apa tidak, bisa kita carikan kerjasama. Ngak harus kita miliki, saham mayoritas bisa orang lain, yang penting kita punya disitu, karena ada proses pembelajaran di situ. Syirkan Muawanah tak cukup, harus ada lembaga keuangan yang lebih besar.

Sektor keuangan mikro pesaingnya kan sangat besar, bagaimana bersaing dengan yang lain?

Saya yakin kalau mindset-nya sudah menuju kemandirian, dengan akhlak yang baik ala pesantren, kita punya keunggulan dari yang lain. Ini bisa kok, seperti Sidogiri kan asetnya sudah 47 M. buktinya mereka bisa. Ngak bisa dipandang sepele. Yang penting amanah dan memiliki kemampuan manjerial skill. Bukan mencari uang sebanyak-banyaknya, PNS juga enterpreneurship, asal kreatif. Saya ini menjadi pengurus di PBNU atau tidak, saya dari dulu sudah bergerak di situ, dan saya tidak pernah meminta menjadi wakil ketua umum.

Saya sudah memiliki program dengan KH Yusuf Cudhori, bikin pelatihan. Saya ke sana, membawa teman Tionghoa. Kita membikin madrasah sebagai bentuk kemandirian tidak dibawah Belanda, sekarang kemandiriannya dalam bidang ekonomi. Ini semua didorong oleh enterpreneuship. Pesantren harus punya SMK kejuruan, bukan ingin mendidik santri menjadi kuli, tetapi supaya daya tarik pesantren tidak hilang, karena pengaruh industrialisasi, masyarakat menjadi konsumtif. Orang jadi bertanya ngapain sekolah di pesantren yang tak mendapat duit. Disisi lain, dhak semua orang jadi kiai, dan pengembangan pengetahuan diniyah harus ditingkatkan juga.

Pada satu sisi kita perlu mengembangkan sisi pragmatisme untuk mengembangkan ekonomi ummat, tetapi satu sisi juga perlu mengembangkan sisi idealis dengan keilmuan kegamaan yang lebih luas.

Pengembangan sekolah dan rumah sakit bukan sektor ekonomi yang profitable, tetapi lebih pada sebuah misi sosial, kalau NU berhasil dalam ekonomi kan luar biasa?

Kita ingin mendidik dengan kultur NU, kalau mereka kaya, dia sadar NU-nya sehingga organisasi akan gampang cari duit. Ini persoalan kita, Malaysia, dari awal merdeka, membangun luar bandar. Kita menggunakan konsep trickle down effect. Pak Harto mengaitkan dengan KUD, sayangnya kurang berhasil.

Proses pengkaderan di IPNU sejauh ini belum ada konsep enterpreneurship?

Makanya, yang dikader di NU, lebih bagus dari awal, saya sampai mau membikin tempat pendidikan sendiri ditempat yang sederhana. Kalau mau belajar kemandirian harus di kampung supaya tahu keadaan kita masih seperti itu. Kalau di kota kan sudah konsumtif. Kita perlu pionir, tapi ke dalam masih perlu pembenahan. Teman-teman menginginkan perubahan, diawali perubahan mindset dulu, ngak cukup dengan ceramah, tapi perlu contoh-contoh sehingga suatu saat orang ikut. Yang di tengah yang bergerak, yang dibelakang yang meluruskan dan mendorong, kalau yang ditengah memprakarsai.

Saya berfikir sederhana, tak ikut teori Barat. Pembentukan teori kan melalui riset, dan kita kan ngak sama dengan mereka, ngak bisa copy paste. 

Comments :

0 komentar to “Kita Tumbuhkan Kelas Menengah Baru dari NU”